Pelan-pelan mulai ada kenyamanan menyoal Monarki Jogja versus Demokrasi Pak Beye. Setelah diinfokan oleh beberapa media, bila sebentar malam ada pertemuan khusus antara Pak Beye selaku Presiden, dan Sri Sultan HB-X selaku Gubernur, dan tentunya Raja Jogja. Apalagi pihak Istana mengabarkan bila pada Hari Guru nanti, Sri Sultan selaku Gubernur memperoleh Bintang Penghargaan di bidang pendidikan langsung dari Presiden. Ini kemajuan besar, untuk kembali ’merekatkan’ dan menghilangkan prasangka buruk publik pada kedua tokoh ini.
Namun Saya kembali tergelitik untuk merangkai banyak cerita di tengah panasnya ’Bola Api’ Monarki Jogja dan Demokrasi Pak Beye. Paling tidak kembali menelisik bagaimana peran Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat di awal republik ini terbentuk.. Sebab, sejak empat hari bergulir, yang banyak terpublish ke media, adalah pernyataan Sri Sultan HB-IX dan Paku Alam VIII yang rela bergabung dengan Republik Indonesia.
Lebih dari itu, sejarawan LIPI, Asvi Adam Warman mengungkap bahwa selain pernyataan berharga Raja Mataram tersebut, ternyata ketika Ibukota RI dipindahkan ke Jogjakarta, Sri Sultan HB-IX juga rela menghibahkan dana besar senilai 5 Juta Gulden kepada pemerintah RI saat itu, untuk membiayai tiga bulan pertama aparat pemerintah RI. Sungguh sebuah sumbangan besar Keraton Jogja yang patut dihargai hingga saat ini.
Tentu dana 5 juta Gulden itu bukan angka kecil. Bisa jadi nilainya trilyunan rupiah bila di konversi dengan waktu, bunga, dan kepedulian Keraton Ngayogyakarto. ”Boleh dikata, RI pada masa kelahirannya ibarat bidan yang merawat bayi RI, makanya kalau mau mencopot keistimewaan Yogyakarta, kembalikan dulu 5 juta gulden termasuk bunga-bunganya. Zaman dulu uang segitu banyak banget," papar Asvi detik.com. hari ini.
Menyoal dana 5 juta Gulden ini sungguh sangat menarik. Sebab dalam beberapa literatur menyebutkan bila Gulden (bahasa Belanda: gulden, bahasa Inggris: guilder) adalah mata uang Belanda selama beberapa abad, sebelum digantikan oleh euro pada 1 Januari 2002. Kata gulden berasal dari bahasa Belanda Kuno yang berarti 'emas'.
Nama ini mulanya digunakan untuk menyebut uang yang berbentuk kepingan emas, namun kemudian menjadi nama umum untuk kepingan perak atau logam dasar lainnya. Nama lain untuk gulden adalah florin. Satu setengah gulden juga disebut daalder (lihat thaler); sedangkan dua setengah gulden disebut rijksdaalder. Kata daalder atau thaler ini adalah asal mula dari kata dollar. Jadi bayangkan saja kalau 5 juta gepok dari kepingan emas, disumbangkan pada awal republik ini.
Berapa Kekayaan Sultan?
Ketika menyebut 5 juta Gulden, yang disumbangkan tanpa ’tedeng aling-aling’ kepada RI, dan memikirkan pembiayaan Keraton Jogja dan Abdi dalemnya, hingga petugas-petugas sekelas ’Mbah Marijan’ yang disebut-sebut sebagai ’Kuncen’ Merapi, bisa dibayangkan berapa banyak harta seorang Sri Sultan HB-IX, atau berapa besar aset Keraton.
Saya bgitu ingin jauh menelisik bagaimana kekayaan Sultan dan Keratonnya. Sykurlah, ternyata saya mendapat informasi penting yang menyebutkan Sultan HB IX tidak hanya meninggalkan nama harum, juga dua keraton -- satu di Yogyakarta dan satu di Bogor -- serta sejumlah aset dan perusahaan. Kalau dijumlah, semuanya bisa mencapai nilai beberapa milyar rupiah.
Bahkan, menurut sebuah sumber di Bank Dagang Nasional Indonesia, Sri Sultan termasuk salah satu dari 200 -- orang terkaya di negeri ini. Aset total bank itu pada tahun 1987 Rp 506 milyar lebih, dengan keuntungan Rp 1,8 milyar lebih. Sulit memang untuk menaksir berapa kekayaan Sri Sultan. Soalnya, menurut Christianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia, jarang kelihatan nama Sri Sultan Hamengku Buwono IX pribadi di atas akta perusahaan.
Setelah meneliti, Christianto cuma menemukan sekitar selusin perusahaan, dan di situ Sultan tidak muncul langsung secara mencolok. Namun, patut dicatat, sebagian akta itu belum keluar. Kesulitan lain adalah memisahkan kekayaan pribadi dan kekayaan keraton. "Ini tidak kelihatan secara yuridis," kata Christianto. Ia memperkirakan, kalau ditelusuri langsung, dengan melibatkan seluruh aset Keraton Yogyakarta, Almarhum Sultan Hamengku Buwono mungkin bisa masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana kekayaan Sr Sultan HB-X saat ini? Saya hanya meyakini, kalau kekayaan Sultan dan aset Keraton ini bisa membiayai Jogja seandainya Jogja kembali memisahkan diri dari republik. (Jangan ya?)
Dendam lama? Jangan Di Percaya.
Cerita-cerita seputar Monarki Jogja dan Demokrasi Pak Beye yang sudah merembet jauh di ubun-ubun orang Indonesia, khususnya warga Jogjakarta, ternyata konon Sri Sultan dan Pak Beye punya interest pribadi, yang terjadi bukan hanya ketika Sultan HB-X sudah menjadi Gubernur DIY, dan Pak Beye menjadi Presiden.
Katanya, ketika Pak Beye menjadi Dandim di Jogja, dan pada saat itu Sri Sultan HB-X belum menjadi Gubernur, sempat terjadi kless diantara keduanya. Konon saat itu, Pak Beye mengumpulkan beberapa pemuda di halaman rumah HB-X tanpa izin. Karena tanpa izin, HB-X akhirnya membubarkan kumpulan itu. Konon disanalah bermula dendam antara Pak Beye dan Sri Sultan HB-X. Itu cerita rekan Saya, seorang warga Jogja, kelahiran tahun 1962, berpendidikan, punya pengalaman, dan kini bermukim di Jakarta. Saya bilang pada rekan saya itu. ”Jangan Percaya cerita itu, meski Anda Orang Jogja...hahahaha” kataku tergelak pada kawanku itu.
Sunyinya Isu Korupsi
Ketika Monarki Jogja dan Demokrasi Pak Beye menjadi masalah hangat di negara ini, ternyata isu-isu besar seputar korupsi perlahan mengikis dan terasa sangat sunyi. Saya mencoba membahasnya, ketika Rabu siang ini (2/12) Saya menyempatkan diri berkunjung ke Kantor Kejaksaan Agung RI. Didepan gedung itu terdapat patung R. Suprapto, yang dikenal sebagai Bapak Kejaksaan Agung RI. (sayang saya tidak membawa kamera, sehingga tak bisa mengabadikannya).
Memandang Patung lusuh itu, saya tergerak melihat identitasnya, yang menyebutkan R. Suprapto wafat tanggal 2 Desember. Pas Hari ini. Saya pun membatin, patung R. Suprapto ini sama dengan Saya, seolah bergumam, kok isu korupsi belakangan ini begitu sunyi. ”Apakah masalah Monarki ini pengalihan isu, seperti ’trend’ yang banyak terjadi belakangan ini?” begitu Saya membatin.
Maklum, kasus seorang Gayus begitu sunyi, apalagi meembahas isu Kerakatau Stell, yang dijual murah dan melibatkan banyak pihak didalamnya. Sampai-sampai ada kalangan jurnalis diduga terlibat. Saya curiga dan bermegatif thinking, bahwa selain Gayus, masalah Krakatau Stell adalah masalah besar yang seharusnya diselesaikan, namun dibiarkan lenyap begitu saja. Ada apa?
Kata teman Saya begini, ”Kok Krakatau Stell itu hilang juga? Gayus jadi sunyi, dan yang luar biasa, kebocoran pipa Exxon yang 500 meter di bawah laut kok bisa selesai, sementara Porong ya di daratan tidak pernah selesai. Ada apa ya? Temanku bercanda, menjawab sendiri. ”Soalnya, Michelle Obama kak punya saham di Exxon, jadi Barrack bisa tegas buat perintahin si Exxon ngeberesin... trus juga kasus Gayus, kudunya kemarin tu ada gelar perkara kan? kenapa juga bisa dilewatin?
Wallahu Alam Bissawab....Hanya Tuhan Yang Tahu....
Jakarta Sore Hari, 2 Desember 2010