Sudah tiga pekan blog ini tak terisi tulisan terbaru. Ya, pas sepulang dari Jakarta, terus mampir sepekan di Kota Pangkep (Sulsel) dan kini telah bersama anak-istri di Baubau untuk Ramadhan bersama. Saya Cuma terkejut selama ‘masa off’ menulis ini ternyata blog ini cukup ramai dikunjungi pembaca. Berdosa rasanya bila tak menyampaikan sebait kalimat sebagai pembaharu di blog ini. Bisa juga kembali merefresh semangat menulis. Saya sadar ternyata menulis memang sebuah kebiasaan. Terbukti, baru tiga pekan istrahat, sulit rasanya memulai merangkai kalimat lagi, padahal semasa istrahat itu, cukup banyak peristiwa berlalu, sayang rasa malas dan jenuh datang menyapa.
Satu catatan perjalanan yang menurut saya penting yakni sehari sebelum puasa ketika masih berada di Pangkep. Saya bersama dua rekan sekelas di SMP 2 Pangkajene, Harun Th. Tandi dan Rusdi kuajak mengunjungi sekolah itu, bahkan menyempatkan diri melihat kelas dimana kami menimba ilmu selama kurun waktu 1986-1989. Ya, kelas III.6, letaknya di sudut, dan bentuknya tak banyak berubah. Terbayang 25 tahun silam, masa kanak-kanak yang ceria, yang nakal dan penuh persaingan ala ABG..banyak cerita di sana seolah hadir di benak waktu itu…saking indahnya masa itu, sulit melukiskannya dalam cerita bertutur..2 jam lamanya saya terdiam, mengenang dan terus mengenang…
Satu sosok yang tak bisa saya lupakan adalah Ibu Hasnah. Seorang guru IPA yang menjadi walikelas saya pada saat duduk di kelas II.6. Melihat kelas itu saya seolah ingin segera menemui ibu guru yang seolah telah menjelma menjadi ibu kandung saya sendiri. Teringat saat sakit tipes, beliaulah yang memudahkan saya untuk mengikuti ujian catur wulan susulan. Meski harus mengulang, tetapi masih bisa merebut posisi rangking 2 saat itu, saya kalah dari seorang rekan bernama Darwati Wahid, pesaing di kelas sejak kelas I hingga tamat.
Ibu Hasnah pula yang mengajak saya menginap di rumahnya ketika dimarahi orang tua. Beliau paham benar bagaimana psikologi seorang anak, sehingga Bu Hasnah bagi saya tak lebih layaknya ibu kandung. Cerita-cerita itu mendorong saya untuk menemuinya. Alhamdullah, kedua rekan saya Harun yang kini berprofesi sebagai seorang politisi local Pangkep, dan Rusdi seorang anggota POLRI mengajak untuk segera menemui beliau di kediamannya yang tak jauh dari sekolah.
Alhamdulillah, saya bertemu beliau di kediamannya saat masih berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. guratan wajahnya yang memang telah menua. Saya merasa ‘lain’ ketika beliau menyilahkan saya masuk ke dalam rumahnya dengan panggilan ‘pak’. Ketika ngobrol mengingatkan memori beliau puluhan tahun silam, lalu kemudian mengigat siapa saya, langsung beliau memanggil saya ‘Nak’. Sejuk dan dingin rasanya. Beliaupun tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Tampak dari wajah beliau yang langsung cerah dan bersamangat menanyakan kondisi saya saat ini. “Saya lagi sekolah di Jakarta Bu, sudah berkeluarga dan anak tiga,” kata saya pada Bu Hasnah.
Cerita kami berempat terus mengalir di ruang tamu beliau. Yang paling tergiang di memory saya dari pertemuan itu, beliau bilang “Nak, terus wujudkan mimpimu, banggakan kami dan orang tuamu..bersyukur kalian tamat di SMP 2 Pangkajene, sebab sekolah itu dari sejak kalian di sana hingga adik-adik kalian saat ini terus mencetak generasi yang berkualitas. Saya bangga punya anak-anak seperti kalian,” kata Bu Hasnah.
Saya terenyuh. Tak ada yang bisa kuberikan pada guru ini, terkecuali mencium kedua tangannya dan berkata “Terima kasih Bu..doakan saya”,,,
Terima kasih Bu Hasnah. Semoga Allah SWT meridhoi ibu bersama keluarga.Amin (**)