UNTUK bertahan hidup di Jakarta perlu kerja, bukan diam di tempat! Sebuah kalimat pelecut hidup dari seorang kawan, sepertinya melayang bagai cemeti menyentuh tubuh. Perih, pedih dan berbekas. Tetapi rasanya hati belum bergeming, masih saja diam dan melontarkan pikiran menerawang ke angkasa. Mau kemana saya. Mengajar? Kerja kuli? Jadi Satpam? Atau sekalian pulang kampung?. Jawaban-jawaban yang semakin lama-semakin mengkerdilkan kemampuan diri sendiri. Apalagi ‘pulang kampung’, mungkin ini adalah jawaban paling menyakitkan dalam pertarungan hidup bertahan di Ibukota, atau bisa jadi bentuk kekalahan terbesar diantara cita-cita menjadi seorang doktor. Padahal anak-istri ‘telah melepas’ dengan keikhlasan besar, berharap pulang dengan kemenangan. Bagi saya dan keluarga, studi ke Jakarta berarti bertarung dalam hidup serba terbatas.
Maret...April 2013, hingga entah sampai bulan keberapa pertarungan ini berakhir. Fase dimana saya hidup dalam suasana ‘musim gugur’, sebuah musim yang saya istilahkan sebagai ‘masa tersulit’ dalam kurun waktu kurang lebih tiga tahun berada di Ibukota. Belum pernah saya merasakan hal seperti ini. Menganggur, sewa kos-kosan akan berakhir, dompet juga tak lagi bersahabat. Padahal sebelumnya, ada-ada saja aktifitas yang bisa membuat saya betah dan hidup serba cukup di metropolitan ini. Saat ini saya kerap bertanya dalam diri sendiri, apakah ini fase yang harus saya lewati? Maybe yes, Maybe No !. apakah ini ujian atau memang ‘timeline’ pergerakan kehidupan saya? Sulit untuk menjawab. Sebab ini domain Sang Pencipta.
Apakah harus menunggu transfer gaji PNS dari istri di kampung? Ini juga jawaban terbodoh, sebab selama berangkat ke Jakarta tiga tahun silam, telah mengikrarkan satu sumpah dalam batin, bahwa gaji bulanan PNS adalah nafkah anak-istri yang tak boleh saya ganggu gugat. Hidup saya di Jakarta adalah domain pribadi saya, bukan domain anak-istri. Sebab meninggalkan mereka saja sudah ‘penderitaan’ apalagi harus mengurangi biaya hidup mereka di kampung halaman.
Maret...April 2013, hingga entah sampai bulan keberapa pertarungan ini berakhir. Fase dimana saya hidup dalam suasana ‘musim gugur’, sebuah musim yang saya istilahkan sebagai ‘masa tersulit’ dalam kurun waktu kurang lebih tiga tahun berada di Ibukota. Belum pernah saya merasakan hal seperti ini. Menganggur, sewa kos-kosan akan berakhir, dompet juga tak lagi bersahabat. Padahal sebelumnya, ada-ada saja aktifitas yang bisa membuat saya betah dan hidup serba cukup di metropolitan ini. Saat ini saya kerap bertanya dalam diri sendiri, apakah ini fase yang harus saya lewati? Maybe yes, Maybe No !. apakah ini ujian atau memang ‘timeline’ pergerakan kehidupan saya? Sulit untuk menjawab. Sebab ini domain Sang Pencipta.
Apakah harus menunggu transfer gaji PNS dari istri di kampung? Ini juga jawaban terbodoh, sebab selama berangkat ke Jakarta tiga tahun silam, telah mengikrarkan satu sumpah dalam batin, bahwa gaji bulanan PNS adalah nafkah anak-istri yang tak boleh saya ganggu gugat. Hidup saya di Jakarta adalah domain pribadi saya, bukan domain anak-istri. Sebab meninggalkan mereka saja sudah ‘penderitaan’ apalagi harus mengurangi biaya hidup mereka di kampung halaman.
‘Beban Sosial’
KETIKA sukses menyelesaikan perkuliahan dan merebut gelar master Ilmu Komunikasi, serta tambahan aktifitas di berbagai kegiatan organisasi kemasyarakatan di ibukota, dan kemudian ‘nama besar’ karena telah berkenalan akrab dengan seorang pesohor di Tanah Air, rasanya banyak orang tak percaya, jika saya harus masuk dalam siklus ‘hidup susah’. Sebab opini banyak orang, terutama di daerah, urusan finansial bukan lagi masalah, meski kenyataannya tidaklah seperti itu. Malah kemudian deretan status itu telah menjelma menjadi ‘beban sosial’ yang entah kapan waktu berakhirnya.
Andai saja saya tak bertahan dengan urusan ‘idialisme’, dan cenderung menyukai hal-hal pragmatis, maka kesulitan finansial akan teratasi. Tetapi apakah saya harus menggadai kehormatan untuk sebuah kepentingan pribadi? Apakah saya harus kalah dengan ‘musim gugur’ ini? Tentu saja saya harus menjawab. Tidak Mungkin. Saya tak boleh kalah! Tak apa-apa ‘menderita sesaat’, sebab saya masih punya keyakinan kuat jika Sang Pencipta akan memberikan pertolongan-Nya, menunggu jalan terbaik menemukan solusi kerja yang pas, entah dari mana. Sementara waktu, saya hanya bisa menulis, yang me-meditasi kepenatan syaraf otak yang bekerja mencari titik temu, dimana ‘jalan Tuhan’ yang akan Ia berikan pada saya. Sebab setumpuk surat telah melayang ke kampus-kampus, setumpuk harapan telah disandarkan ke beberapa orang. Tetapi hingga sekarang belum bertemu. Doa tampaknya menjadi jalan penenang di ‘musim gugur’ ini. Semoga saja cepat berlalu.! Hopefully
Cikini-Jakarta Jelang Isya, 29 April 2013
Baca Juga Tulisan berikut Ini:- Awal atau Akhir, Pergulatan Tanpa Tepi
- Jakarta, Saya Rindu
- Jakarta, Pilkada, Kondom dan Keluguan Benyamin
1 komentar:
sabaar, ikhlas, berusaha, bedo'a & berserah diri Pada Allah SWT... Pasti ada jalan melewati musim gugur itu Pak...