» » » Kesalahan Negara’ di Pundak Prabowo. Ada yang Berani?

Kesalahan Negara’ di Pundak Prabowo. Ada yang Berani?

Penulis By on 27 November 2011 |


Seorang rekan umurnya masih amat muda, terkesan kritis dan punya komunikasi verbal yang cukup baik. Kira-kira kalau di zaman Orde Baru paling banter ia baru duduk di bangku SMP, tetapi ia sudah punya asumsi sederhana jika dirinya tak akan memilih Pak Prabowo sebagai Presiden RI mendatang. Alasannya singkat, ia banyak membaca literature yang berkisah tentang ‘pelanggaran’ Pak Prabowo pada saat menduduki pos penting kemiliteran di negeri ini.

Saya balik bertanya, pelanggaran apa itu? Sebab saya sendiri tidak tahu apa jenis pelanggaran itu, tidak mengerti seluk beluk kejadian yang terjadi seputar diri beliau. Padahal waktu itu saya udah masuk perguruan tinggi. Mungkin karena saya hidupnya di daerah, dan pada umumnya orang-orang daerah tidak terlalu memahami hiruk pikuk politik ibukota.  Yang saya tahu dan saya kenal, ‘gaya orde baru’ dalam kepemimpinannya adalah “siapapun yang masuk dalam pakem orde baru, semuanya satu perintah, satu komando, dari atas ke bawah harus ‘satu’, tidak boleh beda. Jika beda itu berarti melawan negara”.


Dengan kata lain, saya berasumsi bahwa apa yang terjadi di zaman Orde Baru hingga memasuki babak reformasi di negeri ini adalah masuk dalam ranah ‘kewenangan negara’. Saya juga kemudian berfikir, bahwa sosok Prabowo Subianto tidak pernah menjadi pucuk pimpinan tertinggi di ABRI. Ia belum pernah menjabat sebagai Presiden, belum pernah sebagai Wapres, belum pernah sebagai Panglima ABRI. Jabatan strategis yang dipegangnya tertinggi adalah Panglima Kostrad dan Komandan Kopassus dengan pangkat tertinggi Letnan Jenderal.

Saya amat meyakini bahwa semua yang menyangkut hal ikhwal tentang tugas-tugas kemiliteran, masih dibawah taktis Panglima ABRI dan Presiden. Seorang prajurit tak akan ‘berani’ bertindak di luar kewenangannya. Sebab prajurit sejati ditunjukkan dengan kesetiannya pada negara, dan pemimpin tertinggi. Olehnya, apapun yang dilakukan Pak Prabowo dalam jabatannya sebagai petinggi militer tentu adalah ‘pakem’ negara  yang harus di bela kehormatan, kedaulatan dan keberlangsungannya, siapapun pejabatnya. Maka jika salah orde baru dibebankan kepada kepada seorang saja tentu ini juga bentuk ketidak-adilan. Dalam konteks ini, saya berpendapat, kata ‘pelanggar HAM’ yang diamanatkan kepada diri Pak Prabowo seorang merupakan satu bentuk penganiayaan dan ketidak adilan pada pribadi beliau. Sebab jika itu dianggap sebagai kesalahan, maka ‘salah negara’ tidak bisa dianggap sebagai kesalahan orang perorang.

Tapi yang menarik dari semua itu, ‘kesalahan negara’ yang sebenarnya menjadi kesalahan semua elemen di negeri ini, seolah dibebankan di pundak Pak Prabowo Subianto. Betapa beratnya. Lebih menarik lagi semua kesalahan-kesalahan Negara itu dijadikan cerita bertutur dan seolah dipelihara oleh para politisi, sebagai ajang ‘jegal’ langkah politik Pak Prabowo. Sungguh pun begitu Pak Prabowo, seolah menikmatinya dan meyakini suatu saat nanti akan muncul titik kebenaran yang sebenar-benarnya. Adakah yang mampu menanggung beban berat itu? Siapa berani?
-----------------------

Terlepas dari cerita ‘masa lalu’ di atas, Indonesia kini telah memasuki periode baru dalam system ketatanegaraannya, di mana semua orang berhak dan bebas berpendapat, berkumpul dan berserikat. Kemerdekaan seseorang begitu kuat, hingga hak-hak politiknya begitu dihormati. Satu hal yang kadang menarik untuk dicermati, adalah ketika seseorang menguatkan hak politiknya, maka pada waktu yang bersamaan  ‘hak politik’ diperdebatkan, bahkan seupaya mungkin ‘dipreteli’ dengan bumbu-bumbu kisah masa lalu berupa pencarian dosa hingga ke akar-akarnya. Pertanyaannya, siapakah tokoh yang besar di era orde baru tidak diwariskan dosa politik? Kalaupun ‘risih’ dengan istilah orde baru, maka pertanyaan berikutnya adalah, “siapakah tokoh bersih yang telah dihasilkan oleh reformasi? Atau “apakah telah hadir tokoh dan pemimpin masa depan bangsa yang tidak terlibat dalam dua orde baru dan reformasi??  Sungguh sebuah kenaifan.

Terlepas dari pertanyaan itu? Saya justru ingin lebih focus membahas ‘fenomena’ Pak Prabowo Subianto sebagai Capres Masa Depan, yang punya cita-cita luhur ‘membangun kembali Indonesia Raya, haluan baru menuju kemakmuran”. Saya berfikir sederhana, seandainya semua calon pemimpin masa depan ini, punya cara sama, serupa dan mengenal ‘Jati Diri Indonesia’ selayaknya Pak Prabowo, maka bangsa ini tak susah mencari pemimpin mereka. Mengapa? Sebab siapapun pilihannya, jati diri bangsa itu akan dengan mudah di kenali. Jati diri sebagai bangsa yang Pancasilais, jati diri sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat.

Dalam tulisan di buku ‘Membangun kembali Indonesia Raya” Pak Prabowo mengungkapkan cara menjadikan negara yang berdaulat di segala sektor. Berdaulat di dunia pangan dan energi, beradaulat di dunia maritime, berdaulat di bidang kesehatan dan pendidikan, pemerintahan yang tegas dan efektif, pengelolaan potensi atas kekuatan sendiri dan yang terpenting adalah kekayaan alam untuk kemakmuran negeri.

Saya tidak membahasnya begitu detail dan tuntas, namun saya menangkap jika ‘jurus-jurus’ Pak Prabowo lebih diarahkan pada membangun kekuatan dengan ‘kedaulatan’ sendiri, tanpa menengadahkan tangan pada kekuatan dunia luar. Pak Prabowo sepertinya telah menangkap sebuah ‘cara’ membangun Indonesia secara mandiri kuat dan kokoh, yang bisa ‘mensejajarkan’ Indonesia Raya dengan kekuatan dunia luar. Pak Prabowo seolah tahu cara dan upaya ‘menggerakkan’ rakyatnya yang jumlahnya ratusan juta jiwa itu, untuk bangkit ,mmeraih impian, serta mengubur kepahitan masa lalu.

Tetapi satu hal yang menjadi pesan Pak Prabowo kepada anak negeri ini, “bahwa siapapun Presidennya, negara ini tidak akan bangkit, jika rakyatnya selalu berfikir  negative” Pak Prabowo juga pernah berkata “"Saya tidak terima negara saya dibilang kere, miskin dan pinjam-pinjam uang ke negara lain. Saya tidak terima bangsa saya disebut negara kleptokrasi. Untuk itu saya terjun ke politik. Saya ingin berusaha sebaik mungkin untuk merubah nasib bangsa kita. Untuk merubah sistem yang salah dan kembali ke Pancasila dan UUD 45."

Lalu Apakah Pilihan Kita Akan beralih Lagi? Selamat Tahun Baru Hijriah.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments