Seorang
rekan umurnya masih amat muda, terkesan kritis dan punya komunikasi
verbal yang cukup baik. Kira-kira kalau di zaman Orde Baru paling banter
ia baru duduk di bangku SMP, tetapi ia sudah punya asumsi sederhana
jika dirinya tak akan memilih Pak Prabowo sebagai Presiden RI mendatang.
Alasannya singkat, ia banyak membaca literature yang berkisah tentang
‘pelanggaran’ Pak Prabowo pada saat menduduki pos penting kemiliteran di
negeri ini.
Saya
balik bertanya, pelanggaran apa itu? Sebab saya sendiri tidak tahu apa
jenis pelanggaran itu, tidak mengerti seluk beluk kejadian yang terjadi
seputar diri beliau. Padahal waktu itu saya udah masuk perguruan tinggi.
Mungkin karena saya hidupnya di daerah, dan pada umumnya orang-orang
daerah tidak terlalu memahami hiruk pikuk politik ibukota.
Yang saya tahu dan saya kenal, ‘gaya orde baru’ dalam kepemimpinannya
adalah “siapapun yang masuk dalam pakem orde baru, semuanya satu
perintah, satu komando, dari atas ke bawah harus ‘satu’, tidak boleh
beda. Jika beda itu berarti melawan negara”.
Dengan
kata lain, saya berasumsi bahwa apa yang terjadi di zaman Orde Baru
hingga memasuki babak reformasi di negeri ini adalah masuk dalam ranah
‘kewenangan negara’. Saya juga kemudian berfikir, bahwa sosok Prabowo
Subianto tidak pernah menjadi pucuk pimpinan tertinggi di ABRI. Ia belum
pernah menjabat sebagai Presiden, belum pernah sebagai Wapres, belum
pernah sebagai Panglima ABRI. Jabatan strategis yang dipegangnya
tertinggi adalah Panglima Kostrad dan Komandan Kopassus dengan pangkat
tertinggi Letnan Jenderal.
Saya
amat meyakini bahwa semua yang menyangkut hal ikhwal tentang
tugas-tugas kemiliteran, masih dibawah taktis Panglima ABRI dan
Presiden. Seorang prajurit tak akan ‘berani’ bertindak di luar
kewenangannya. Sebab prajurit sejati ditunjukkan dengan kesetiannya pada
negara, dan pemimpin tertinggi. Olehnya, apapun yang dilakukan Pak
Prabowo dalam jabatannya sebagai petinggi militer tentu adalah ‘pakem’
negara yang harus di bela kehormatan, kedaulatan dan
keberlangsungannya, siapapun pejabatnya. Maka jika salah orde baru
dibebankan kepada kepada seorang saja tentu ini juga bentuk
ketidak-adilan. Dalam konteks ini, saya berpendapat, kata ‘pelanggar
HAM’ yang diamanatkan kepada diri Pak Prabowo seorang merupakan satu
bentuk penganiayaan dan ketidak adilan pada pribadi beliau. Sebab jika
itu dianggap sebagai kesalahan, maka ‘salah negara’ tidak bisa dianggap
sebagai kesalahan orang perorang.
Tapi
yang menarik dari semua itu, ‘kesalahan negara’ yang sebenarnya menjadi
kesalahan semua elemen di negeri ini, seolah dibebankan di pundak Pak
Prabowo Subianto. Betapa beratnya. Lebih menarik lagi semua
kesalahan-kesalahan Negara itu dijadikan cerita bertutur dan seolah
dipelihara oleh para politisi, sebagai ajang ‘jegal’ langkah politik Pak
Prabowo. Sungguh pun begitu Pak Prabowo, seolah menikmatinya dan
meyakini suatu saat nanti akan muncul titik kebenaran yang
sebenar-benarnya. Adakah yang mampu menanggung beban berat itu? Siapa
berani?
-----------------------
-----------------------
Terlepas
dari cerita ‘masa lalu’ di atas, Indonesia kini telah memasuki periode
baru dalam system ketatanegaraannya, di mana semua orang berhak dan
bebas berpendapat, berkumpul dan berserikat. Kemerdekaan seseorang
begitu kuat, hingga hak-hak politiknya begitu dihormati. Satu hal yang
kadang menarik untuk dicermati, adalah ketika seseorang menguatkan hak
politiknya, maka pada waktu yang bersamaan ‘hak politik’ diperdebatkan,
bahkan seupaya mungkin ‘dipreteli’ dengan bumbu-bumbu kisah masa lalu
berupa pencarian dosa hingga ke akar-akarnya. Pertanyaannya, siapakah
tokoh yang besar di era orde baru tidak diwariskan dosa politik?
Kalaupun ‘risih’ dengan istilah orde baru, maka pertanyaan berikutnya
adalah, “siapakah tokoh bersih yang telah dihasilkan oleh reformasi?
Atau “apakah telah hadir tokoh dan pemimpin masa depan bangsa yang tidak
terlibat dalam dua orde baru dan reformasi?? Sungguh sebuah kenaifan.
Terlepas
dari pertanyaan itu? Saya justru ingin lebih focus membahas ‘fenomena’
Pak Prabowo Subianto sebagai Capres Masa Depan, yang punya cita-cita
luhur ‘membangun kembali Indonesia Raya, haluan baru menuju kemakmuran”.
Saya berfikir sederhana, seandainya semua calon pemimpin masa depan
ini, punya cara sama, serupa dan mengenal ‘Jati Diri Indonesia’
selayaknya Pak Prabowo, maka bangsa ini tak susah mencari pemimpin
mereka. Mengapa? Sebab siapapun pilihannya, jati diri bangsa itu akan
dengan mudah di kenali. Jati diri sebagai bangsa yang Pancasilais, jati
diri sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat.
Dalam
tulisan di buku ‘Membangun kembali Indonesia Raya” Pak Prabowo
mengungkapkan cara menjadikan negara yang berdaulat di segala sektor.
Berdaulat di dunia pangan dan energi, beradaulat di dunia maritime,
berdaulat di bidang kesehatan dan pendidikan, pemerintahan yang tegas
dan efektif, pengelolaan potensi atas kekuatan sendiri dan yang
terpenting adalah kekayaan alam untuk kemakmuran negeri.
Saya
tidak membahasnya begitu detail dan tuntas, namun saya menangkap jika
‘jurus-jurus’ Pak Prabowo lebih diarahkan pada membangun kekuatan dengan
‘kedaulatan’ sendiri, tanpa menengadahkan tangan pada kekuatan dunia
luar. Pak Prabowo sepertinya telah menangkap sebuah ‘cara’ membangun
Indonesia secara mandiri kuat dan kokoh, yang bisa ‘mensejajarkan’
Indonesia Raya dengan kekuatan dunia luar. Pak Prabowo seolah tahu cara
dan upaya ‘menggerakkan’ rakyatnya yang jumlahnya ratusan juta jiwa itu,
untuk bangkit ,mmeraih impian, serta mengubur kepahitan masa lalu.
Tetapi
satu hal yang menjadi pesan Pak Prabowo kepada anak negeri ini, “bahwa
siapapun Presidennya, negara ini tidak akan bangkit, jika rakyatnya
selalu berfikir negative” Pak Prabowo juga pernah berkata “"Saya tidak
terima negara saya dibilang kere, miskin dan pinjam-pinjam uang ke
negara lain. Saya tidak terima bangsa saya disebut negara kleptokrasi.
Untuk itu saya terjun ke politik. Saya ingin berusaha sebaik mungkin
untuk merubah nasib bangsa kita. Untuk merubah sistem yang salah dan
kembali ke Pancasila dan UUD 45."
Lalu Apakah Pilihan Kita Akan beralih Lagi? Selamat Tahun Baru Hijriah.