Ketika
saya berdiskusi dengan Prof. Dr. Anwar Arifin, seorang guru besar
bidang Komunikasi Politik seputar Jenderal Prabowo Subianto, saya amat
terkejut dengan pernyataan beliau yang bagi saya amat sederhana. “Ketika
Anda meyakini bahwa Pak Prabowo adalah Presiden RI masa datang, Anda
benar, karena sepertinya ini memang momentum Pak Prabowo,” kata Prof.
Anwar yang dikenal sebagai pencetus teori pers Pancasila itu, juga
dikenal sebagai mantan anggota DPR-RI dua periode, dan mantan anggota
Dewan Pers era tahun 1997.
“Momentum apa Prof?” saya bertanya lagi. Beliau menjawab singkat, “Momentum ‘O’. tetapi beliau tidak menjelaskan secara spesifik apa arti huruf ‘O’ dari momentum yang beliau ungkap. Prof Anwar bahkan mengulangnya sekali lagi. “Pak Prabowo itu Momentum ‘O’ silahkan di tulis” katanya. Saya tidak meminta kejelasan lagi, saya takut di cap sebagai mahasiswa yang tak pandai memaknai sebuah bentuk interaksionis simbolik, yang begitu akrab di telinga mahasiswa ilmu komunikasi. Saya hanya teringat tentang konsep ‘Notonegoro’ yang popular sebagai konsep kenegaraan ala Mpu Jayabaya yang kesohor itu. Sebuah konsep yang seolah ‘diplesetkan’ sebagai urut-urutan nama belakang Presiden RI. ‘No’ yang berarti ‘Soekarno’, ‘To’ yang berarti ‘Soeharto’. Atau bahkan ada yang lebih ekstrim bila nama-nama Presiden itu harus berakhir ‘No’ atau ‘To’. Jika tidak, maka hasilnya ‘goro-goro’ (dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai huru-hara).
Jika
memang seperti itu, apakah yang dimaksud momentum ‘O’ dari Prof. Anwar
sebagai pengkiasan dari huruf ‘O’ sebagai huruf akhir dari nama Prabowo
Subianto?. Lagi-lagi beliau tidak menjawabnya secara gamblang. Beliau
hanya tersenyum. Saya terus menduga, mungkin pemahaman ‘momentum O’ yang
dimaksudkan Prof. Anwar memang seperti itu, namun sebagai akademisi
beliau tidak menjawabnya untuk menghindari perbedaan pemahaman, yang
kadang dipersempit jika ‘O’ itu lebih dekat dengan etnis tertentu?
Padahal nama ‘O’ juga banyak dimiliki etnik-etnik lainnya di Indonesia,
dari Sabang sampai Marauke. Sebutlah ‘Baso’ sebagai nama khas dari
Bugis-Makassar, atau nama popular bintang Timnas U-23, ‘Tibo alias Titus
Bonai’ dari Papua.
Saya hanya mengingat dengan jelas satu kalimat yang kerap di sebut Prof Anwar. “Kalau politisi itu, boleh bohong, tidak boleh salah. Sementara akademisi, boleh salah tidak boleh bohong”.
Kalimat-kalimat ini seolah mengantarkan alur berfikir saya tentang
sosok Prabowo Subianto, bahwa Prof Anwar mungkin boleh salah dalam
berpendapat, tetapi ia tak ingin membohongi kata hatinya, bahwa yang
dimaksud dengan momentum ‘O’ itu adalah simbolisasi Notonegoro, yang
jika di kait-kaitkan sangat mengena pada nama Prabowo Subianto.
Saya
memang sengaja mengajak Prof. Anwar berdiskusi soal sosok Prabowo
Subianto sebagai bentuk izin saya sebagai mahasiswa beliau karena
pemikiran-pemikiran beliau dalam beberapa kajian ilmiahnya baik melalui
literatur maupun diskusi di kelas banyak saya ‘copy paste’ sebagai
pendekatan dalam menulis sosok Pak Prabowo Subianto di blog ini. Saya
amat bersyukur dengan Prof. Anwar ketika beliau memberi jawaban. “Anda
tak usah minta izin, sebab itu tugas Anda selaku mahasiswa, silahkan
gunakan logika secara akademik, tunjukkan kemampuan Anda. Dan yakinlah
Anda tidak keliru dalam menentukan pilihan kajian itu, apalagi Pak
Prabowo memang sosok pemimpin yang punya reputasi baik di negeri ini,”
jelas Prof. Anwar.
Di
sisi lain saya juga mencari pendekatan melalui teori momentum dengan
sebuah pertanyaan, apakah tahun 2014 mendatang adalah momentum Pak
Prabowo untuk tampil menjadi Presiden RI? Sebab ketika di tahun 2009
silam mencalonkan sebagai Calon Wakil Presiden RI mendampingi Ibu
Megawati Soekarno Putri, banyak pendapat public yang menyayangkan hal
itu, karena mereka berharap Pak Prabowo sebagai calon Presiden, bukan
sebagai Wapres. Sebab Prabowo-lah yang dianggap punya kans untuk
mengalahkan reputasi Pak SBY sebagai incumbent waktu itu.
Selanjutnya,
jika saja tahun 2014, Pak Prabowo tak sukses menjadi Presiden RI, maka
selesai sudah ‘permainan’ Pak Prabowo untuk menjadi pemimpin negeri ini,
sebab factor usia kerap menjadi pertimbangan khalayak dalam memilih
pemimpinnya. Terkait dengan hal ini, saya ingat ‘teori kekekalan
momentum’ dalam ilmu fisika yang mengatakan, istilah ‘momentum’
menujukkan besar tenaga untuk menghentikan benda yang bergerak. Dalam
sistem gerak lurus tanpa gesekan, sekali bergerak, benda akan tetap
bergerak, kecuali bila ada hambatan dari luar.
Apakah ini Momentumnya? Bergeraklah!