Rasanya
sulit mengurai kalimat-kalimat apa yang pas untuk menceritakan
aktivitas orang-orang itu. Saya tak kenal mereka siapa? dari mana
asalnya? apa pekerjaannya? sudah berkeluarga atau belum? sadarkah mereka
atau tidak?, tetapi saya yakin tujuannya satu, serupa dan sejenis;
mereka ingin memastikan Letjen (Purn) TNI. H. Prabowo Subianto adalah
Presiden RI di tahun 2014. Fenomena ini saya simpulkan, ketika
belakangan ini saya kerap berkunjung ke Sekretariat Dewan Pimpinan
Nasional (DPN) Gardu Prabowo, yang letaknya di Jalan Kendal No.5 Jakarta
Pusat. Setiap kali ke sana ada saja ‘wajah-wajah baru’ bermunculan.
Saya bertanya dalam hati, “kok begitu banyak orang datang ke
Gardu ini, silih berganti dan seolah-olah ada ‘pasar murah’. Padahal,
aktifitas para penggiat Gardu di mata saya biasa-biasa saja”.
Maaf, jika Anda orang kampung seperti saya (tapi bukan kampungan lho!),
maka menemui alamat ini tak susah, jika sulit mencari nama Jalan Kendal
No. 5, maka cukup sewa ojek atau bajaj dan pastikan Anda melewati
‘Stasiun Sudirman’. Tak lebih dari 200 meter dari stasiun kereta api
ini, di sanalah alamat Gardu itu.
Gardu
ini singkatan dari ‘Gerakan Rakyat Dukung (Gardu) Prabowo Subianto’,
sebuah organisasi yang berafiliasi dengan Partai Gerindra. Saya
menyebutnya dengan kata ‘afiliasi’ sebab secara internal, Gardu Prabowo
adalah sayap Partai Gerindra, dan secara eksternal adalah Organisasi
Massa (Ormas) yang keanggotaannya lebih terbuka dan bersifat umum. Siapa
saja boleh masuk ke sana, merek apapun Anda, sepanjang punya kesamaan
visi, menjadikan Pak Prabowo sebagai Presiden RI. (Lucu juga ya? Padahal Pak Prabowo belum tentu mengenal ‘kita-kita’..hehehe…)
Saya juga kadang geli dengan diri saya sendiri, kok
saya juga seperti mereka? Padahal dihitung-hitung, saya ke Jakarta
bukan maksud ‘mendekat’ ke Pak Prabowo, saya ke kota ini untuk
menyelesaikan pendidikan pascasarjana saya, sebuah cita-cita yang sejak
lama mendekam dalam otak sejak kecil, sejak bercanda dengan pacul dan
cangkul. Saya bilang sama orang tua saya yang petani di kampung, “Pak,
saya mau dapat gelar Doktor karena Prabowo Subianto, saya mau suatu saat
nanti disertasi saya soal Pak Prabowo, apalah judulnya tidak penting,
yang penting itu ada embel-embel Prabowo-nya. Tapi maaf, ini bukan
kesombongan akademik, ini cita-cita, siapa saja boleh bermimpi!” kataku.
(Kembali ke Lap..top!!)
Mengapa begitu banyak orang ke Pak Prabowo? Maksud saya, begitu banyak orang memberikan dukungan ke Pak Prabowo, tidak hanya lewat partai, sayap dan ormasnya, tetapi juga melalui situs-situs jejaring sosial. Ini fakta sosial. Pertanyaan itu terus saja menghinggapi pikiran saya saat ini. Apakah ini indikasi jika Pak Prabowo benar-benar akan terpilih.menjadi Presiden RI di 2014?, padahal realitas sosialnya, Pak Prabowo bisa menjadi Presiden jika Partai Gerindra tampil sebagai pemenang Pemilu nanti? Sehingga bisa mengusung Pak Prabowo secara ‘one party’ atau bersama-sama dengan partai lain mengusungnya.
Mengapa begitu banyak orang ke Pak Prabowo? Maksud saya, begitu banyak orang memberikan dukungan ke Pak Prabowo, tidak hanya lewat partai, sayap dan ormasnya, tetapi juga melalui situs-situs jejaring sosial. Ini fakta sosial. Pertanyaan itu terus saja menghinggapi pikiran saya saat ini. Apakah ini indikasi jika Pak Prabowo benar-benar akan terpilih.menjadi Presiden RI di 2014?, padahal realitas sosialnya, Pak Prabowo bisa menjadi Presiden jika Partai Gerindra tampil sebagai pemenang Pemilu nanti? Sehingga bisa mengusung Pak Prabowo secara ‘one party’ atau bersama-sama dengan partai lain mengusungnya.
Filing
Politik saya berkata, fenomenalnya seorang Prabowo Subianto akan
mempengaruhi elektabilitas partai Gerindra secara langsung. Saya amat
meyakini, jika partai ini juga akan ikut fenomenal pada waktunya
sepanjang mampu meyakinkan khalayak jika ‘Prabowo adalah Partai
Gerindra, dan Partai Gerindra adalah Prabowo’. Teorinya sederhana,
Gerindra harus mampu memilah mana ‘politik pencitraan’ dan mana
‘pencitraan politik’. Ada perbedaan mendasar pada keduanya, meskipun
keduanya berada pada dua kata yang sama.
‘Politik
pencitraan’ letaknya pada ‘komunikator’ atau sumber pesan. Sementara
‘Pencitraan Politik’ terletak pada ‘khalayak’, di sini ada kerja
‘managemen’ atau ‘produk’. Kenapa? Sebab khalayak itu adalah ‘kepala
batu’. “Susah dipengaruhi, sehingga butuh Politik Pencitraan dan
Pencitraan Politik” kata-kata yang saya timba dari Professor Anwar
Arifin, pakar komunikasi politik Indonesia.
Praktisnya,
Pak Prabowo bisa berposisi sebagai Komunikator, yang terus menerus
meyakinkan publik pemilih bahwa Partai Gerindra adalah partai yang
berkomitmen menciptakan kesejahteraan rakyat Indonesia, mengembalikan
kejayaan Indonesia, bersih dari praktek koruptif. Satu kalimat kuncinya;
“Jika Anda ingin Prabowo menjadi Presiden, maka Pilih Partai Gerindra,
sebab Pemilu kita terlebih dahulu memilih anggota legislative, baru
memilih Presiden. Jika tidak, maka jangan bermimpi Prabowo akan menjadi
Presiden”. Bila perlu, Pak Prabowo membuat ‘kontrak politik’ dengan
kader-kader Gerindra yang duduk di legislative sebagai yang kader yang
pro rakyat, sensitive, jujur dan anti korupsi. Tentu dengan segala
konsekwensinya.
Dengan
demikian, posisi ‘Pencitraan Politik’ letaknya pada Partai Gerindra
yang bermain di ranah ‘khalayak’, dengan terus menerus meyakinkan
publik, bahwa Partai Gerindra adalah sebuah Partai Politik yang tidak
sekedar mengusung Pak Prabowo sebagai Presiden, tetapi partai yang punya
kader-kader di legislative yang bersih, jujur, anti korupsi, bekerja
untuk rakyat, peduli dan sensitive pada rakyat, dan tetap menjadi
penyeimbang pemerintah dalam hal menyuarakan kepentingan yang bersifat
nasional.
(Waduh! Terlalu serius, Kembali ke lap..top)
Mengapa begitu banyak orang ke Pak Prabowo? Maksud saya, begitu banyak
orang memberikan dukungan ke Pak Prabowo. Saya melihatnya itu ada di
Gardu. Belakangan banyak orang datang ke sana. Ada yang bermata sipit,
ada yang berambut ikal berkulit gelap, ada yang bergaya selebriti,
putih, molek, cantik, tampan, hingga orang kampung bersendal jepit
seperti saya. Tentu dengan latar belakang profesi, suku, agama yang
berbeda pula. Bahkan saya juga temukan satu kawan yang bingung, ketika
ingin mengungkap identitasnya. “Bingung Bang, suku apa saya? Katanya
serius (Heheh.. )
Tetapi
ketika berkumpul, semua membaur menjadi satu seoah-olah tidak ada
pembeda. Mereka tampil pede dengan ciri khas bahasa daerah
masing-masing. Saya yang Bugis-Makassar, tetap saja suka dengan logat
‘Mi, Ji, Ki’ dan sebagainya. Begitu juga yang dari Sumatera dengan logat
Melayu-nya, Nias dengan suara tegasnya, Ambon dengan khas ‘katong’-nya,
Papua dengan logat ‘Makan Sudah-nya’, Bali dengan Bli-nya, Manado
dengan ‘Jo-nya’, dan lebih-lebih logat Jawa yang mendayu-dayu karena
‘medognya’, Betawi dengan ‘Lu, Gue-nya’, Madura dengan perulangan
katanya’, Sunda dengan ‘situ atuu-nya’, Lombok dengan ‘Side-nya’. Saya
kemudian membayang, bagaimana seandainya ada ‘Bangsa Bule’ di situ. Saya
pastikan ia akan kebingungan dengan gaya bahasa masing-masing. Pasti si
Bule itu akan bingung, Bahasa Indonesia yang benar itu yang mana ya?
Tapi
ada kebanggaan tersirat di sana. Jika pembauran dari semua perbedaan
itu, menggambarkan realitas sosial bahwa, merekalah ‘anak-anak ideologi’
Prabowo Subianto saat ini, anak-anak Ideologi Bangsa Indonesia. Itulah
kemudian mengapa mengapresiasi keheranan saya dengan satu kalimat
pendek, “Begitu Banyak Orang Ke Pak Prabowo”. (**)
Masihkah kita berbeda? Itu rahmat! Jayalah Indonesia Raya.