Dosen
saya bilang, fanatisme saya pada sosok Prabowo Subianto ‘sudah kelewat
batas’. Saya hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata itu, sambil
berkata, “Cita-cita sangat sederhana, saya ingin meraih gelar Doktor
karena Prabowo Subianto, karenanya mindset otak saya tentu diarahkan
pada sosok Pak Prabowo”. Cita-cita itu telah lama membenam dalam
pikiran, meski terkesan berlebihan, jika tak dimaknai lebih detail
tentang pernyataan itu.
Karena
itu jujur saya mengakui jika ‘energi’ saya terkuras untuk mengetahui
seluk beluk seorang sosok Prabowo Subianto, siapa sebenarnya beliau,
bagaimana sepak terjangnya, hingga fenomenanya di masyarakat, sehingga
kedepan ketika kelak magister saya rampung dan Tuhan memperkenankan saya
untuk sekolah ke jejang pendidikan Doktor (semoga terkabulkan), maka
saya telah memiliki bahan disertasi bertajuk ‘Fenomenologi Prabowo
Subianto’. Sederhana bukan?
Energi
yang saya maksudkan berbentuk ‘kegigihan’, tidak sekedar menuliskannya
di blog ini, tetapi mencoba menyelami Pak Prabowo dengan menggunakan
apa yang saya istilahkan dengan ‘Teori Obat Nyamuk’, sebuah
pengistilahan yang saya maknai sebagai proses belajar tentang sosok
Presiden masa depan Indonesia itu dari lingkaran luar hingga ke titik
utamanya, yakni pribadi Pak Prabowo itu sendiri. Makanya beberapa hari
belakangan ini, saya harus mengurangi jam tidur malam untuk mencari
informasi lebih mendalam tentang beliau, mulai dari sopir taksi, ojek,
pedagang warteg hingga orang-orang terdekat beliau ketika masih aktif di
militer. Rasanya capek juga, tetapi demi sebuah cita-cita, tantangan
itu seolah menjadi ‘madu’, meski saya tak tahu kapan ‘madu’ itu akan
datang di genggaman tangan saya.
Semalam,
saya sengaja keliling Jakarta Pusat dengan menggunakan taksi. Tentu
ongkosnya jauh lebih mahal ketika menggunakan ojek atau bajaj. Saya
hanya ingin mengetahui apakah sopir taksi mencermati fenomena seorang
Prabowo Subianto? Ada empat taksi yang saya kendarai hanya untuk
mengetahui ‘isi otak’ mereka tentang Presiden RI 2014. semuanya menjawab
satu kalimat pendek. “Prabowo Subianto”. Yang berbeda, ada seorang
diantaranya tak mengetahui partai asal Prabowo Subianto, karena salah
menjawabnya.
“Bang, kira-kira siapa presiden RI mendatang” Kata saya
“Ow, itu lho dari Hanura.” Kata Sopir taksi itu.
“Wiranto ya” saya menegaskannya lagi.
“Bukan Bang, Prabowo Subianto. Oh iya beliau kan Gerindra,” kata Sopir itu meralatnya.
“Ow, itu lho dari Hanura.” Kata Sopir taksi itu.
“Wiranto ya” saya menegaskannya lagi.
“Bukan Bang, Prabowo Subianto. Oh iya beliau kan Gerindra,” kata Sopir itu meralatnya.
Percakapan
sederhana itu mengasumsikan, jika sebenarnya ke populeran Prabowo
Subianto memang perlu diimbangi dengan kepopuleran Partai Gerindra
sebagi partai pengusungnya, dan saya juga sepakat dengan ‘hasil survey’
dari sejumlah lembaga survey jika partai ini harus lebih giat
bersosialisasi di masyarakat.
Seorang
sopir taksi lainnya berpendapat, ia dengan tegas menyebut nama Prabowo
Subianto, namun ia juga membawa pesan agar Pak Prabowo tidak seperti
dengan pemimpin-pemimpin yang popular lainnya, yang dikelilingi sejumlah
oknum yang banyak terlibat kasus-kasus korupsi. “Pak Prabowo akan jadi
Presiden, tapi beliau tidak boleh dikelilingi orang-orang bermasalah,”
begitu pesan Pak Sopir taksi itu.
Pernyataan
para sopir itu, tampaknya sedikit memberi gambaran jika Pak Prabowo
kini mengalami masa yang disebut sebagai sebuah ‘fenomena’. Dimana-mana
orang membicarakan peluangnya untuk menjadi Presiden. Bahkan seorang
kawan, mantan aktivis dari Kendari bilang pada saya, “seandainya Pak
Prabowo tidak mencalonkan diri sebagai Presiden, lalu siapa figure yang
layak sebagai Presiden RI di 2014, serta dianggap mampu membawa
Indonesia ke gerbang kemakmuran? Saya kira tak ada yang sebaik Prabowo
Subianto untuk saat ini,” katanya.
Belakangan
saya berkesempatan bertemu dengan sejumlah mantan anggota Kopassus anak
buah Pak Prabowo. Dua diantaranya adalah orang-orang dekat beliau. Baik
ketika Pak Prabowo di medan pertempuran maupun di kesatuan. Di Pasukan,
saya telah mengenal Letkol (Purn) Petrus Sunyoto, dan ajudan beliau
Kapten (Purn) Azaldin Gea. Keduanya adalah kopasssus-kopassus pilihan
Pak Prabowo yang begitu setia. Saking setianya, mereka rela memilih
pensiun dini untuk mengabdikan diri dan hidupnya buat seorang Prabowo
Subianto. Padahal dari segi umur, khususnya Bang Gea, masih terbilang
sangat muda, dan jika seadainya terus berkarir di dunia militer, tentu
ia akan mendapatkan pangkat yang lebih baik lagi. Sementara Pak Petrus,
meski tubuhnya telah di benam usia, tetapi beliau rela meninggalkan anak
dan istri tercintanya di Riau, hanya untuk menjalankan kepercayaan dan
amanah dari seorang Prabowo Subianto. Sebab mereka amat meyakini, jika Prabowo Subianto adalah pemimpin yang ditunggu Bangsa Indonesia untuk
hidup lebih baik.
Saya
banyak belajar pada kedua orang ini, tentang arti dari sebuah kesetian.
Kesetiaan dan sumpah seorang kesatria sejati. Saya pun bergumam dalam
hati dengan kalimat-kalimat pendek. “Pantas saja mengapa Kopassus begitu
menjadi kebanggaan militer Indonesia? Bukan saja mahir dalam medan
peperangan, tapi jiwa mereka penuh dengan kesetiaan. Mereka merasa tak
akan berarti apa-apa, jika satu diantara mereka mengalami sakit,
terpinggirkan, bahkan merasa terhianati. Korsa mereka begitu menjiwa di
batin mereka. Bahkan rahasia seorang kawan-pun adalah rahasia mereka
hingga mati.
Bang
Gea berkata, “Saya akan menuliskan apa yang saya alami selama menjadi
ajudan Pak Prabowo, jika umur saya telah mencapai 99 tahun, jadi tunggu
saja”. Pernyataan itu menggambarkan sesuatu yang tak mungkin terjadi
secara logika. Sebab jarang ‘orang Indonesia’ bisa mencapai usia
tersebut. Saya hanya bisa menyimak, bahwa ‘kehidupan’ Pak Prabowo cukup
menjadi cerita mereka, sebab suatu kelak, Rakyat Indonesia akan
mengetahui ‘siapa sebenarnya’ Prabowo Subianto, bagaimana komitmennya
kepada bangsa ini, siapa sebenarnya ‘yang berdosa’ dengan sejarah, dan
bagaimana kecintaan Jenderal Kopassus itu kepada rakyatnya.
Rasa-rasanya,
cerita tentang Pak Prabowo bagai buih dilautan. Ketika dekat hanya
sebagai percikan air biasa, namun jika di pandang jauh, ia menjelma
menjadi gulungan ombak, berwarna putih, dan di bawahnya jutaan kehidupan
hadir di dalamnya. Saya hanya bisa berharap, tulisan sederhana bisa
menggugah hati kita tentang makna sebuah kesetiaan. Semoga berkah dan
bermanfaat.
Jangalah takut akan kehidupan, berdamailah dengan kenyataan!
Selamat Malam.
Selamat Malam.