» » » Nyanyian Sunyi Cinta Sang Jenderal

Nyanyian Sunyi Cinta Sang Jenderal

Penulis By on 04 December 2011 |

Mentari mulai turun keperaduannya, senyap mulai terasa di kawasan hutan Situ Lembang Jawa Barat. Gelap, dingin dan sunyi. Seorang Ibu  paruh baya menenteng keranjang berisi kayu bakar dan seonggok daun tampak dari bilik kaca Jeep Commando yang melintasi kawasan itu. Semakin dekat, semakin jelas nampak wajah letih perempuan itu. Sepertinya ia baru saja ‘mengais rezeki’ di kawasan hutan. Sepertinya ia baru saja mengarungi kerasnya kehidupan dan rela bercanda dengan maut penghuni hutan Situ Lembang. Tak banyak yang tahu aktivitas keseharian perempuan itu, tetapi ‘tentengannya’ memberi gambaran, bahwa ia harus bekerja keras sehari penuh demi mempertahankan hidup keluarganya.

“Berhenti!, suara tegas  Kolonel Prabowo memecah kesunyian malam”. Sang Sopir Jeep dengan sigap menepikan kendaraannya. Sementara Gea, Sang Ajudan matanya mulai mawas dengan kondisi di sekitar hutan serta berpikir mengapa atasannya itu tiba-tiba menghentikan kendaraannya.
“Gea, ambilkan tas kecil itu!” Perintah Kolonel Prabowo
“Siap!” Jawab sang ajudan sembari menyerahkan tas kecil yang memang telah berada ditangannya.
Tak lama kemudian, Kolonel Prabowo mendekati Ibu penenteng keranjang itu. Tak banyak bicara, ia lalu menyerahkan segepok lembar uang padanya. Tak terhitung berapa persis uang yang diserahkannya, sebab memang tidak dihitungnya. “Terimalah Bu, dan saya antar Ibu sampai ke rumah,” ajak Prabowo yang saat itu hanya mengenakan kemeja sipil serta bertopi ala Koboy.

Ibu itu hanya terdiam bisu, di pipinya tampak sebutir air mata terjatuh. “Terima Kasih Pak, terima kasih banyak Pak , terima kasih Pak,” kata si Ibu berulang, sembari berusaha meraih tangan Prabowo untuk di ciumnya. Tapi Prabowo menarik tangannya, sebagai tanda jika ia tak ingin di dewakan. Tak lama kemudian si Ibu tampak bersujud ke tanah, dan hanya terdengar lirih ungkapan maha puji ke pada sang Pencipta. “Terima Kasih Ya Allah” katanya.

Prabowo kemudian berusaha membangunkan ibu tersebut sembari mengajaknya agar ikut di kendaraannya. Berkali-kali Prabowo mengajaknya untuk diantar pulang. Tetapi si Ibu menolak. “Terima Kasih banyak Pak, cukup pak, rumah saya dekat di sekitar hutan ini,” kata si Ibu.

Mendengar penolakan Ibu itu, Gea memandang wajah atasannya itu. Tampak ada guratan kekecewaan di wajah Prabowo. Gea menangkankap wajah kekhawatiran Pak Prabowo dengan si Ibu dalam perjalanan pulang kerumahnya. Tetapi si Ibu kembali memecah kensunyian itu. “Benar Pak, rumah saya dekat dari sini, saya hanya bisa berterima kasih Pak, semoga yang Bapak berikan memberi keberkahan bagi saya,” kata Si Ibu.

“Kalau begitu, saya Pamit Bu!, hati-hati di jalan” pesan Prabowo.
Prabowo masuk kedalam Jeep. Di susul Gea yang duduk berdekatan dengan sopir. Mobil pun terus meluncur menuju  Jakarta. Ketiganya terdiam beberapa lamanya, sembari menikmati perjalanan malam di sekitar hutan itu.

Gea! Berapa hari si Ibu itu bisa makan dengan kayu bakar itu? Tanya Prabowo
Siap! “Jawab Gea.
Gea! Berapa hari si Ibu itu bisa makan dengan kayu bakar itu? Tanya Prabowo
Siap! “Jawab Gea.
Gea! Berapa hari si Ibu itu bisa makan dengan kayu bakar itu? Tanya Prabowo
Siap! “Jawab Gea.

Tiga kali pertanyaan serupa dari Kolonel Prabowo pada ajudannya, namun sang ajudannya hanya menjawab dengan kata singkat. “Siap!” tanpa ada tambahan kata-kata lain dari Sang Ajudan. Hanya mendapat jawaban seperti itu, tangan prabowo hanya menepuk-nepukkan tangannya di atas pahanya berkali-kali. “Gimana Sih!” kata Prabowo sambil ‘mencericitkan’ bibirnya tanda kekesalannya. Seteah itu tak ada lagi perbincangan di atas Jeep hingga sampai ke Jakarta. Semuanya terdiam dalam benak masing-masing. Mungkin memikirkan kondisi Ibu paruh baya yang baru di temuinya di pinggir hutan Situ lembang. (**)
-------------------------------.
Demikian sepenggal cerita dari Azaldin Gea pada saya baru-baru ini di sebuah tempat di kawasan Menteng Jakarta Pusat. Sebagai penulis blog ini, tentu saya ingin mengetahui lebih jauh, mengapa ketika di beri pertanyaan oleh Prabowo Subianto, Gea hanya menjawabnya dengan kata “Siap”, sementara ia bisa menjelaskan lebih detail.

“Untuk apa Bang, Beliau (baca : Prabowo Subianto) pasti lebih tahu dari saya. Beliau jauh lebih tahu dari pertanyaannya itu, sebab ia sudah Kolonel, saya hanya prajurut kok!” kata Gea dengan tawa khasnya sembari mengenang masa-masa lalunya.

Apakah beliau tidak marah pada Anda? “Saya tahu persis, beliau tidak marah pada saya maupun sopir, meski ada kata “gimana sih”. Saya paham benar, bahwa beliau marah dengan kondisi kemiskinan Ibu itu. Beliau marah mengapa negara membiarkan Ibu itu ‘terlelap’ dengan kemiskinannnya. Saat itulah kemudian saya dalam hati dengan mantap berkata, Inilah Presiden yang sebenarnya. Inilah Presiden masa depan itu” Kata Gea.

Satu hal yang terekam dalam akhir cerita ini, bila sebenarnya Prabowo yang saat itu masih berpangkat Kolonel, bersatus sebagai menantu Pak Harto, mengalami pergulatan batin yang amat hebat. Prabowo marah dengan kemiskinan ibu paruh baya itu, di satu sisi Pak Harto adalah Presiden di republic ini. “Itulah mengapa, Pak Prabowo hanya bisa berkata dengan kesal, “Gimana Sih” tandas Gea menegaskan ceritanya.

Jika merangkai cerita masa lalu Prabowo, memang beliau terlahir dari talenta yang amat kritis. Sebagaimana kritisnya Bapak Soemitro Djojohadikusumo (dikenal sebagai Begawan Ekonomi Indonesia), ayah Pak Prabowo pada Presiden Soeharto, meski keduanya berstatus sebagai ‘besan’. Karena ke kritisan Pak Soemitro, konon Pak Harto sempat ‘curhat’ pada anaknya Titiek Soeharto mengenai sikap mertuanya itu. “Mertuamu itu sudah Sepuh, kok masih kritis begitu” kata Pak Harto pada Titiek, istri Prabowo kala itu, dan cerita ini pun disampaikan pada Pak Soemitro.

Semoga cerita ini menjadi inspirasi Rakyat Indonesia, Merah Putih!!
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments