Mentari
mulai turun keperaduannya, senyap mulai terasa di kawasan hutan Situ
Lembang Jawa Barat. Gelap, dingin dan sunyi. Seorang Ibu paruh baya
menenteng keranjang berisi kayu bakar dan seonggok daun tampak dari
bilik kaca Jeep Commando yang melintasi kawasan itu. Semakin dekat,
semakin jelas nampak wajah letih perempuan itu. Sepertinya ia baru saja
‘mengais rezeki’ di kawasan hutan. Sepertinya ia baru saja mengarungi
kerasnya kehidupan dan rela bercanda dengan maut penghuni hutan Situ
Lembang. Tak banyak yang tahu aktivitas keseharian perempuan itu, tetapi
‘tentengannya’ memberi gambaran, bahwa ia harus bekerja keras sehari
penuh demi mempertahankan hidup keluarganya.
“Berhenti!,
suara tegas Kolonel Prabowo memecah kesunyian malam”. Sang Sopir Jeep
dengan sigap menepikan kendaraannya. Sementara Gea, Sang Ajudan matanya
mulai mawas dengan kondisi di sekitar hutan serta berpikir mengapa
atasannya itu tiba-tiba menghentikan kendaraannya.
“Gea, ambilkan tas kecil itu!” Perintah Kolonel Prabowo
“Siap!” Jawab sang ajudan sembari menyerahkan tas kecil yang memang telah berada ditangannya.
“Siap!” Jawab sang ajudan sembari menyerahkan tas kecil yang memang telah berada ditangannya.
Tak
lama kemudian, Kolonel Prabowo mendekati Ibu penenteng keranjang itu.
Tak banyak bicara, ia lalu menyerahkan segepok lembar uang padanya. Tak
terhitung berapa persis uang yang diserahkannya, sebab memang tidak
dihitungnya. “Terimalah Bu, dan saya antar Ibu sampai ke rumah,” ajak
Prabowo yang saat itu hanya mengenakan kemeja sipil serta bertopi ala
Koboy.
Ibu
itu hanya terdiam bisu, di pipinya tampak sebutir air mata terjatuh.
“Terima Kasih Pak, terima kasih banyak Pak , terima kasih Pak,” kata si
Ibu berulang, sembari berusaha meraih tangan Prabowo untuk di ciumnya.
Tapi Prabowo menarik tangannya, sebagai tanda jika ia tak ingin di
dewakan. Tak lama kemudian si Ibu tampak bersujud ke tanah, dan hanya
terdengar lirih ungkapan maha puji ke pada sang Pencipta. “Terima Kasih
Ya Allah” katanya.
Prabowo
kemudian berusaha membangunkan ibu tersebut sembari mengajaknya agar
ikut di kendaraannya. Berkali-kali Prabowo mengajaknya untuk diantar
pulang. Tetapi si Ibu menolak. “Terima Kasih banyak Pak, cukup pak,
rumah saya dekat di sekitar hutan ini,” kata si Ibu.
Mendengar
penolakan Ibu itu, Gea memandang wajah atasannya itu. Tampak ada
guratan kekecewaan di wajah Prabowo. Gea menangkankap wajah kekhawatiran
Pak Prabowo dengan si Ibu dalam perjalanan pulang kerumahnya. Tetapi si
Ibu kembali memecah kensunyian itu. “Benar Pak, rumah saya dekat dari
sini, saya hanya bisa berterima kasih Pak, semoga yang Bapak berikan
memberi keberkahan bagi saya,” kata Si Ibu.
“Kalau begitu, saya Pamit Bu!, hati-hati di jalan” pesan Prabowo.
Prabowo
masuk kedalam Jeep. Di susul Gea yang duduk berdekatan dengan sopir.
Mobil pun terus meluncur menuju Jakarta. Ketiganya terdiam beberapa
lamanya, sembari menikmati perjalanan malam di sekitar hutan itu.
Gea! Berapa hari si Ibu itu bisa makan dengan kayu bakar itu? Tanya Prabowo
Siap! “Jawab Gea.
Gea! Berapa hari si Ibu itu bisa makan dengan kayu bakar itu? Tanya Prabowo
Siap! “Jawab Gea.
Gea! Berapa hari si Ibu itu bisa makan dengan kayu bakar itu? Tanya Prabowo
Siap! “Jawab Gea.
Siap! “Jawab Gea.
Gea! Berapa hari si Ibu itu bisa makan dengan kayu bakar itu? Tanya Prabowo
Siap! “Jawab Gea.
Gea! Berapa hari si Ibu itu bisa makan dengan kayu bakar itu? Tanya Prabowo
Siap! “Jawab Gea.
Tiga
kali pertanyaan serupa dari Kolonel Prabowo pada ajudannya, namun sang
ajudannya hanya menjawab dengan kata singkat. “Siap!” tanpa ada tambahan
kata-kata lain dari Sang Ajudan. Hanya mendapat jawaban seperti itu,
tangan prabowo hanya menepuk-nepukkan tangannya di atas pahanya
berkali-kali. “Gimana Sih!” kata Prabowo sambil ‘mencericitkan’ bibirnya
tanda kekesalannya. Seteah itu tak ada lagi perbincangan di atas Jeep
hingga sampai ke Jakarta. Semuanya terdiam dalam benak masing-masing.
Mungkin memikirkan kondisi Ibu paruh baya yang baru di temuinya di
pinggir hutan Situ lembang. (**)
-------------------------------.
Demikian
sepenggal cerita dari Azaldin Gea pada saya baru-baru ini di sebuah
tempat di kawasan Menteng Jakarta Pusat. Sebagai penulis blog ini, tentu
saya ingin mengetahui lebih jauh, mengapa ketika di beri pertanyaan
oleh Prabowo Subianto, Gea hanya menjawabnya dengan kata “Siap”,
sementara ia bisa menjelaskan lebih detail.
“Untuk
apa Bang, Beliau (baca : Prabowo Subianto) pasti lebih tahu dari saya.
Beliau jauh lebih tahu dari pertanyaannya itu, sebab ia sudah Kolonel,
saya hanya prajurut kok!” kata Gea dengan tawa khasnya sembari mengenang
masa-masa lalunya.
Apakah
beliau tidak marah pada Anda? “Saya tahu persis, beliau tidak marah
pada saya maupun sopir, meski ada kata “gimana sih”. Saya paham benar,
bahwa beliau marah dengan kondisi kemiskinan Ibu itu. Beliau marah
mengapa negara membiarkan Ibu itu ‘terlelap’ dengan kemiskinannnya. Saat
itulah kemudian saya dalam hati dengan mantap berkata, Inilah Presiden
yang sebenarnya. Inilah Presiden masa depan itu” Kata Gea.
Satu
hal yang terekam dalam akhir cerita ini, bila sebenarnya Prabowo yang
saat itu masih berpangkat Kolonel, bersatus sebagai menantu Pak Harto,
mengalami pergulatan batin yang amat hebat. Prabowo marah dengan
kemiskinan ibu paruh baya itu, di satu sisi Pak Harto adalah Presiden di
republic ini. “Itulah mengapa, Pak Prabowo hanya bisa berkata dengan
kesal, “Gimana Sih” tandas Gea menegaskan ceritanya.
Jika
merangkai cerita masa lalu Prabowo, memang beliau terlahir dari talenta
yang amat kritis. Sebagaimana kritisnya Bapak Soemitro Djojohadikusumo
(dikenal sebagai Begawan Ekonomi Indonesia), ayah Pak Prabowo pada
Presiden Soeharto, meski keduanya berstatus sebagai ‘besan’. Karena ke
kritisan Pak Soemitro, konon Pak Harto sempat ‘curhat’ pada anaknya
Titiek Soeharto mengenai sikap mertuanya itu. “Mertuamu itu sudah Sepuh,
kok masih kritis begitu” kata Pak Harto pada Titiek, istri Prabowo kala
itu, dan cerita ini pun disampaikan pada Pak Soemitro.
Semoga cerita ini menjadi inspirasi Rakyat Indonesia, Merah Putih!!