Simpatisan
dan rakyat pendukung H. Prabowo Subianto boleh berbangga saat ini,
dengan hasil survey sejumlah lembaga yang menempatkan Pak Prabowo
sebagai calon presiden yang paling popular, paling siap dan paling
dielukan sebagai presiden masa depan di republik ini. Itu sesuatu yang
wajar jika mendalami psikologi masyarakat Indonesia yang membutuhkan dan
merindukan figur tegas, cekatan dan dianggap mampu menyelesaikan
situasi yang membelit bangsa ini, diantaranya mengguritanya prilaku
koruptif, ketidakjelasan ideology bernegara, hingga persoalan lunturnya
semangat nasionalisme karena prilaku henodisme sejumlah elit serta
struktur sosial bermasyarakat yang cenderung liberalis dan jauh dari
symbol-simbol ‘ke-pancasila-an’.
Artinya,
figure H. Prabowo Subianto diasumsikan sebagai figure yang mendekati
harapan rakyat Indonesia untuk membenahi situasi tersebut di atas, ini
juga berarti Pak Prabowo diasumsikan memiliki figure yang selalu di
‘interaksi simbolik-kan’ dengan keaadan-keadaan tersebut. Sehingga Pak
Prabowo dalam sejumlah survey menjadi paling diunggulkan untuk menduduki
puncak kepemimpinan nasional di negeri ini.
Pertanyaannya
kemudian, apakah ‘melekatnya’ asumsi rakyat Indonesia itu bertahan
hingga Pemilu 2014 mendatang? Belum ada jaminan! Sebab ‘perang
pencitraan’ masih terus berjalan kurang lebih 1000 hari lagi. Dan Pak
Prabowo secara infrastruktur dan suprastruktur politik ‘masih lemah’
dibandingkan dengan figure-figure elit lainnya, seperti Aburizal Bakrie
dan Surya Paloh yang memiliki media pencitraan yang paling besar di
negeri ini, yakni keberadaan sejumlah tv nasional dan persurat-kabaran
yang tentunya sangat efektif menjadi ‘peluru’ dalam meninabobokkan
khalayak pemilih di Indonesia. Sementara Pak Prabowo bermain di ranah
teknologi informasi yang bergerak di level media jejaring sosial dan
hanya sesekali bercitra lewat iklan TV nasional.
Mengapa
media itu dianggap mampu meninabobokkan khalayak Indonesia? Secara
teoritis, media diaggap mampu menciptakan agenda setting terhadap figure
tertentu. Sebagai contoh kasus, lolosnya Partai Nasdem sebagai salah
satu peserta Pemilu 2014, tidak lain sebagai hasil dari ‘ulah’ media
yang dimiliki Surya Paloh yang tiap hari memborbardir khalayak dengan
iklan-iklan yang bertutur tentang partai ini. Tokoh-tokoh yang
sebelumnya tidak di kenal tiba-tiba muncul dan membekas di hati
khalayak. Karenanya banyak orang yang secara spontan ingin menjadi
pengurus partai dari jenjang pusat hingga daerah-daerah. Ini berarti
media mampu membentuk sikap opportunitas publik.
Mengapa
khlayak begitu mudah mengikuti? Sebab khalayak Indonesia tidak banyak
memiliki waktu untuk ‘mengkroschek’ kebenaran dari subjek yang ‘di jual’
media. Berdasarkan sifatnya, media selalu tampil sebagai ‘cermin
masyarakat’, yang sebenarnya media itu tidak lain hanya menyampaikan
sebuah ‘realitas buatan’ atau ‘realitas tangan kedua’ (reality second hand),
dengan kata lain, apa yang disajikan media adalah sebuah bentuk
‘permak’ dari ‘yang tidak sebenarnya’, karena melalui pengolahan di
tingkat redaksional. Media tahu bahwa publik itu memiliki sifat khas
yakni ‘kepala batu’ (osbinate theory), sehingga public
senantiasa dan secara kontinuitas harus ‘disiram’ dengan informasi
terkait dengan subjek yang dijualnya. Inilah yang disebut sebagai
pencitraan.
Jujur.
Proses ‘agenda setting’ inilah yang kemudian tidak banyak dimiliki oleh
infratruktur dan suprastruktur politik Pak Prabowo. Saat ini menurut
amatan penulis, infratruktur dan suprastruktur politik Pak Prabowo hanya
mengandalkan situasi khalayak Indonesia yang merasa ‘resah’ dengan
lemahnya system kepemimpinan nasional, yang kemudian
disambung-sambungkan melalui pembahasan secara internal para pendukung
Pak Prabowo melalui sistus jejaring sosial atau tulisan-tulisan melalui
website atau blog, yang jika dikaji secara mendalam sebenarnya hanya
bersifat ‘sementara waktu’, ‘tidak permanen’ dan dapat berubah
sewaktu-waktu. Jika itu terjadi, maka sangat dibutuhkan kerja keras
lagi, untuk mengambil dan merebut simpati khlayak.
Tidak
cukup banyak pilihan bagi Pak Prabowo dan partainya serta ormas-ormas
pendukungnya untuk tetap bertahan dalam posisi sebagai ‘yang terbaik’
sebagai Capres yang paling diunggulkan, jika saja tidak ada evealuasi
secara menyeluruh terhadap infrastruktur dan suprastruktur politik Pak
Prabowo. Mulai dari keberadaan partai pendukung, keberadaan ormas-ormas
pendukung, hingga tim khusus yang dibuat untuk memenangkan Pak Prabowo
pada Pilpres mendatang.
Dalam
pendekatan komunikasi politik, meningkatkatnya popularitas Pak Prabowo
semata diuntungkan oleh figure Pak Prabowo itu sendiri, yang selalu
dipersepsikan sebagai figure yang tegas, cakap, cerdas, ganteng, dan
dianggap mampu mengembalikan kejayaan berbangsa dan bernegara. Sehingga
idealnya, Pak Prabowo senantiasa harus turun ke lapangan memantau
langsung bagaimana kondisi Partai Gerindra hari ini, mulai dari pusat
hingga ke level terbawah. Pak Prabowo juga sebaiknya senantiasa memberi
semangat langsung pada ormas-ormas yang di bentuknya, dan tidak selalu
mendelegasikan pada orang-perorang tertentu. Bagaimanapun nafas
pergerakan para simpatisan Pak Prabowo semata di dasari kecintaan orang
pada figure Pak Prabowo..
Ilmu
Politik juga selalu mengajarkan, jika dalam dunia politik selalu saja
berhadap-hadapan antara loyalitas versus oportunitas. Loyalitas tidak
hanya terbentuk berdasarkan doktrin-doktrin tertentu, tetapi selalu
berbanding lurus dengan kepentingan. Semakin di dekatkan kepentingan
itu, maka semakin loyal-lah orang pada subjek itu. Sebaliknya,
oportunitas akan menghilang jika ada kedekatan antara figure dengan
person tersebut. Dalam pemahaman penulis, orang-orang oportunis tidak
selalu ‘harus dimatikan’, sebab ia bisa menjadi alat indikator untuk
mengecek dimana letak kelemahan-kelemahan sebuah infrastruktur dan
suprastruktur politik. Tetapi tidak berarti harus ‘memelihara’
subjek-subjek oprtunis tersebut.
Cara
bertahan yang paling efektif yang dimiliki Pak Prabowo saat ini tidak
terlepas dari cara Pak Prabowo dan insrastruktur politiknya, dalam
‘merawat ketokohannya’, ‘merawat kelembagaannya’, serta ‘membangun
konsesnsusnya’ dengan khalayak. Itu semua sangat ditentukan oleh Pak
Prabowo sendiri untuk secara continue mendekatkan dirinya dengan
khalayak. Bagaimana caranya? Pak Prabowo pasti lebih tahu!!
Sebuah catatan dari hasil survey yang meninabobokkan kita semua!