Tentu amat sulit menentukan objektifitas saya pada figure Dr. Buhari Matta dan Drs Mz. Amirul Tamim, M.Si dalam melihat realitas social dan realitas politik di panggung perhelatan Pilkada Sulawesi Tenggara Oktober mendatang, sebab kedua tokoh politisi Partai Persatuan Pembangunan Sulawesi Tenggara (Sultra) ini memiliki kedekatan emosional dengan pribadi saya. Tak perlu dijelaskan seperti apa, tetapi saya justru tertarik dengan fenomena bergabungnya kedua figure yang sarat prestasi saat memimpin daerah masing-masing. Pak Buhari sebagai Bupati Kolaka dan Pak Amirul sebagai Walikota Baubau, adalah dua kepala daerah yang ‘keseringan’ mendapat perhanggaan di level nasional. Tentu karena keduanya sukses melakukan pembangunan di daerahnya
Bicara soal rival politik Pak Nur Alam, memang menjadi fenomena politik tersendiri di Bumi Anoa ini, sebab kandidat-kandidat yang maju memiliki segudang pengalaman sebagai kepala daerah, semisal Ridwan Bae, mantan Bupati Muna dua periode dan juga Ali Mazi, mantan Gubernur Sultra periode lima tahun sebelumnya. Artinya, masyarakat Sultra amat beruntung mendapat calon-calon pemimpin yang punya pengalaman dalam membangun wilayahnya masing-masing, tentu dengan segala plus minusnya. Siapa terpilih? No Problem, yang pasti rakyat Sultra patut bersyukur dengan pilihan-pilihan cerdas itu.
Meski begitu, saya ingin fokus membahas pasangan BM-Amirul yang merupakan akronim Buhari Matta-Amirul Tamim, yang dikenal sebagai kepala daerah sarat prestasi. Sebagai penggiat ilmu komunikasi politik, saya ingin mendapat pembuktian, apakah prestasi mampu mengalahkan pergulatan politik? Tentu ini pertanyaan mendasar bagi saya, sebab selama ini politik di Indonesia umumnya terbangun dari ‘pencitraan belaka’ dan menomor-duakan prestasi.
Karenanya, tidak mengherankan jika politik di negeri ini selalu menghasilkan pemimpin hasil pencitraan, dan jarang berasal dari prestasi kandidatnya. Meski fenomena ini pelan-pelan mulai terkikis dengan gejala politik di DKI Jakarta, dimana seorang Joko Widodo (Jokowi), Walikota Solo yang berpasangan dengan Basuki Tjahya Purnama (Ahok), mantan Bupati Belitung Timur, berhasil ‘menggulingkan’ incumbent Fauzi Bowo di putaran pertama Pilkada DKI, 11Juli lalu. Selanjutnya menunggu putaran kedua yang dihelat 20 November mendatang. Lalu apakah fenomena ini juga akan terjadi pada Pilkada Gubernur Sulawesi Tenggara kali ini? Tentu rakyat Sultra-lah yang menentukannya.
Kendati demikian, saya tidak mengandai-andai jika pasangan BM-Amirul ini sama dengan pasangan Jokowi-Ahok di Jakarta, akan tetapi effek dan fenomena politik Jakarta akan menjadi ‘semangat’ baru dan pelecut bagi kandidat penantang incumbent Gubernur, jika Jokowi-Ahok benar-benar mampu merebut kursi panas DKI-1. Sebab Jakarta di sisi politik, begitu cepat menyebarkan virus dan model serta wajah berpolitik di Indonesia. Tentu ini tak lepas dari analisis framing yang selalu dibangun oleh media massa. Dengan kata lain, fenomena incumbent bukan lagi fenomena yang perlu ditakuti pasangan BM-Amirul dari power politik yang dimiliki incumbent Sultra saat ini, pasangan Nur Alam-Saleh Lasata (NUSA). Apalagi pada Pilgub sebelumnya pasangan ‘NUSA’ telah membuktikan kesuksesannya mengalahkan incumbent Gubernur saat itu, Ali Mazi, SH. Hal ini juga berarti, pasangan BM-Amirul tak perlu menunggu virus Jokowi-Ahok sampai ke Sultra untuk mengalahkan dominasi incumbent, sebab ‘kearifan local politik’ yang dilahirkan pasangan NUSA saat mengalahkan incumbent Ali Mazi
adalah pelajaran besar bagi pasangan BM-Amirul, juga pasangan kandidat lainnya. Namun, ‘NUSA’ tentu punya segudang taktik untuk mempertahankan posisinya, jika tidak ingin tergerus dengan fenomena Jokowi-Ahok di Jakarta atau jika tidak ingin disebut mendapat karma politik.
Lagi-lagi saya amat tertarik membahas fenomena politik BM-Amirul, sebab keduanya lebih kental disebut ‘kepala daerah berprestasi’, bukan ‘tokoh politik berprestasi’. Hal ini karena keduanya lebih dikenal sebagai sosok pembangun wilayah di daerahnya masing-masing dengan pengakuan penghargaan di berbagai level, baik regional maupun nasional. Pertanyaannya, apakah prestasi kedua tokoh ini sepadan dengan karir politiknya? Apakah prestasinya bisa mengantarkannya ke pintu kepemimpinan di Sulawesi Tenggara? Tentu amat sulit memprediksinya, sebab belum ada survey di Sultra yang mencari tokoh berprestasi. Lalu apakah pemilih di Sultra akan memberikan pilihannya dari prestasi seorang tokoh? Juga sulit menebaknya sebab juga belum ada survey, apakah mereka akan memilih karena prestasi atau karena politik?.
Yang pasti, ilmu komunikasi cukup bisa menjadi cara untuk mencari jawaban karir politik pasangan BM-Amirul, bagaimana komunikasi personalnya dibangun? bagaimana interaksi komunikasi kelompok dan organisasinya? Bagaimana penguasaan komunikasi media massa-nya? Dan bagimana mereka melintas dalam budaya yang beragam di Sulawesi Tenggara. Saya hanya berharap, figure BM-Amirul tetap membawa visi-misi pembangunan ril yang menyentuh langsung kemasyarakat Sultra, bukan visi-misi yang melahirkan program sekedar bermuara pada penguatan politik, seperti fatamorgana yang selalu lahir dari pantulan cahaya di jalanan, tampak dari kejauhan, tetapi setelah didekati ternyata hanya sebuah bayang semu.
**