“Saudara Hamzah, saudara dinyatakan tidak layak diterima di program doktoral UI, dari sepuluh yang diwawancara, hanya tiga yang layak diterima, jadi kondisinya sudah begitu” begitu suara pak Nardi dari balik telepon gengamnya. Saya tidak tahu ia dimana, tapi lelaki seumuran 50-tahun itu seolah memberi tamparan keras di pipi saya. Terasa amat sakit. Pak Nardi juga seolah menjelma menjadi ‘juru bicara’ dari lima orang guru besar komunikasi Universitas Indonesia (UI) yang baru saja mewawancarai saya di Jumat 19 April, lalu. Padahal dari apa yang saya saksikan selama berada di kampus Salemba, Pak Nardi (Maaf) sepertinya seorang office boy (OB). Kesimpulan subjektif itu saya rasakan ketika menyaksikan beliau membersihkan ruangan, hingga melayani kebutuhan ‘makan-minum’ para guru besar dan dosen yang ada di pascasarsajana Komunikasi-UI tersebut. Tentu kerja beliau bukan mengurusi ‘hasil wawancara akhir’, apalagi pengumuman lulus resminya baru diumumkan 19 Mei mendatang.
Saya tak tahu apa niat Pak Nardi menelpon seperti itu, yang pasti sejak pagi pertama kali saya tiba di kampus UI dan berkenalan dengan beliau, Pak Nardi seolah menjelma menjadi ‘pembimbing’ saya. Beliau pula yang mengajarkan saya ‘etika’ ketika berhadapan dengan para guru besar, memperlihatkan ruang dimana saya akan menjalani ujian wawancara, termasuk menceritakan satu persatu karakter dosen-dosen yang ada di sana. Saya ‘mengikuti’ anjuran beliau, sebab saya menghormati siapapun orang itu, bagaimanapun status sosialnya. Hanya saya seolah ‘lupa’ memberi ‘tips’ dari penjelasan-penjelasan beliau, sebab ‘arah’ pembicaraannya memberi sinyal seperti itu. Bahkan ketika ia mempersilahkan saya masuk dalam ruangan, ia tiba-tiba menyodorkan saya sehelai kertas bertuliskan nomor handpone beliau. Saya terima dan membalasnya dengan memberi sms nomor hp-saya. Hitung-hitung kelak beliau dan saya bisa saling membantu, ketika Tuhan berkenan memberi saya peluang untuk kuliah di kampus ini.
Setelah usai mengikuti wawancara, saya masih menunggu teman-teman lainnya, sekedar berkenalan, berbagi tentang pengalaman itu, dari keseluruhan peserta, ternyata hanya saya yang berasal dari kampus swasta tanah air, lainnya dari UI, Unpad, Unair, IPB dan dua orang lulusan luar negeri. saya bangga bisa berteman dengan mereka. Tetapi yang menjadi ‘unik’ bagi saya, adalah Pak Nardi yang seolah taj ingin ketinggalan informasi dari kami seluruh peserta. Beliau terus melengket, bahkan kerap nimbrung dan menggurui. Kami diam dan tetap memberi takzim pada beliau. Mungkin juga rekan-rekan lain merasakan hal yang kurang ‘sreg’ dengan sikap beliau. Apalagi beberapa pernyataannya sepertinya kurang masuk akal, sebab beliau mengatakan ‘kami semua’ telah diterima. Logika ini dibantah kawan-kawan, yang punya banyak pengalaman tentang ujian masuk di UI.
Sejenak saya melupakan Pak Nardi, dan kampus UI. Saya melepaskan semua kepenatan berpikir hari itu. Namun ketika malam tiba, saya mengaktifkan ponsel, sebuah sms masuk dari Pak Nardi. “Telepon segera, penting!” saya menghormati sms itu dan menelpon langsung beliau. Ya ternyata Pak Nardi memberi penyampaian seperti apa yang saya ungkap di awal kalimat tulisan ini. Optimisme saya tiba-tiba ‘runtuh’, tulang sepertinya lemas semua, dan berpikir bahwa ‘sia-sia’ semua apa yang saya lakukan selama ini. Meski Pak Nardi seorang OB, tetapi saya tak boleh memandang enteng informasi beliau, sebab boleh saja benar apa yang beliau sampaikan. “Mungkin Pak nardi benar” pikirku.
---------------------------
Meski ada ‘kejengkelan’ terbetik dalam pikiran, tetapi penyampian pak Nardi membuat saya sadar, jika tidak mudah memang menggeluti ‘pertarungan ilmu’ di Universitas Indonesia. Saya juga mengoreksi diri, apa sebenarnya kelemahan akademik saya. Mulai dari persoalan kemampuan bahasa inggris yang masih standar, hingga penguasaan teoritik kelilmuan saya yang masih lemah. Distu pelajaran besar yang saya terima.
Penyampaian telepon Pak Nardi juga memberi saya pelajaran berarti, bahwa saya tidak boleh hanya terpaku menunggu satu keputusan, masih banyak peluang jika saya benar-benar ingin menggeluti dunia perkuliahan doktor komunikasi, mulai Unpad-bandung hingga Universitas Sahid Jakarta yang menawarkan untuk itu. Tetapi jujur, optimisme saya untuk masuk di UI begitu besar, meski harus dihantui pernyataan-pernyataan Pak Nardi. Tetapi apapun itu, saya patut berterima kasih pada beliau, bahwa ia telah mengingatkan saya untuk tetap optimis menghadapi kehidupan ini. Meski sebenarnya tak patut beliau lakukan pada kami....
Semoga saja penyampaian beliau berbeda dengan kenyataan di 19 Mei mendatang. Kami tetap bersemangat penuh optimisme, bahwa Tuhan-lah yang menentukan akhir dari segalanya...semoga!
----------------
Jakarta Jelang Azan Isya, 21 April....
Saya tak tahu apa niat Pak Nardi menelpon seperti itu, yang pasti sejak pagi pertama kali saya tiba di kampus UI dan berkenalan dengan beliau, Pak Nardi seolah menjelma menjadi ‘pembimbing’ saya. Beliau pula yang mengajarkan saya ‘etika’ ketika berhadapan dengan para guru besar, memperlihatkan ruang dimana saya akan menjalani ujian wawancara, termasuk menceritakan satu persatu karakter dosen-dosen yang ada di sana. Saya ‘mengikuti’ anjuran beliau, sebab saya menghormati siapapun orang itu, bagaimanapun status sosialnya. Hanya saya seolah ‘lupa’ memberi ‘tips’ dari penjelasan-penjelasan beliau, sebab ‘arah’ pembicaraannya memberi sinyal seperti itu. Bahkan ketika ia mempersilahkan saya masuk dalam ruangan, ia tiba-tiba menyodorkan saya sehelai kertas bertuliskan nomor handpone beliau. Saya terima dan membalasnya dengan memberi sms nomor hp-saya. Hitung-hitung kelak beliau dan saya bisa saling membantu, ketika Tuhan berkenan memberi saya peluang untuk kuliah di kampus ini.
Setelah usai mengikuti wawancara, saya masih menunggu teman-teman lainnya, sekedar berkenalan, berbagi tentang pengalaman itu, dari keseluruhan peserta, ternyata hanya saya yang berasal dari kampus swasta tanah air, lainnya dari UI, Unpad, Unair, IPB dan dua orang lulusan luar negeri. saya bangga bisa berteman dengan mereka. Tetapi yang menjadi ‘unik’ bagi saya, adalah Pak Nardi yang seolah taj ingin ketinggalan informasi dari kami seluruh peserta. Beliau terus melengket, bahkan kerap nimbrung dan menggurui. Kami diam dan tetap memberi takzim pada beliau. Mungkin juga rekan-rekan lain merasakan hal yang kurang ‘sreg’ dengan sikap beliau. Apalagi beberapa pernyataannya sepertinya kurang masuk akal, sebab beliau mengatakan ‘kami semua’ telah diterima. Logika ini dibantah kawan-kawan, yang punya banyak pengalaman tentang ujian masuk di UI.
Sejenak saya melupakan Pak Nardi, dan kampus UI. Saya melepaskan semua kepenatan berpikir hari itu. Namun ketika malam tiba, saya mengaktifkan ponsel, sebuah sms masuk dari Pak Nardi. “Telepon segera, penting!” saya menghormati sms itu dan menelpon langsung beliau. Ya ternyata Pak Nardi memberi penyampaian seperti apa yang saya ungkap di awal kalimat tulisan ini. Optimisme saya tiba-tiba ‘runtuh’, tulang sepertinya lemas semua, dan berpikir bahwa ‘sia-sia’ semua apa yang saya lakukan selama ini. Meski Pak Nardi seorang OB, tetapi saya tak boleh memandang enteng informasi beliau, sebab boleh saja benar apa yang beliau sampaikan. “Mungkin Pak nardi benar” pikirku.
---------------------------
Meski ada ‘kejengkelan’ terbetik dalam pikiran, tetapi penyampian pak Nardi membuat saya sadar, jika tidak mudah memang menggeluti ‘pertarungan ilmu’ di Universitas Indonesia. Saya juga mengoreksi diri, apa sebenarnya kelemahan akademik saya. Mulai dari persoalan kemampuan bahasa inggris yang masih standar, hingga penguasaan teoritik kelilmuan saya yang masih lemah. Distu pelajaran besar yang saya terima.
Penyampaian telepon Pak Nardi juga memberi saya pelajaran berarti, bahwa saya tidak boleh hanya terpaku menunggu satu keputusan, masih banyak peluang jika saya benar-benar ingin menggeluti dunia perkuliahan doktor komunikasi, mulai Unpad-bandung hingga Universitas Sahid Jakarta yang menawarkan untuk itu. Tetapi jujur, optimisme saya untuk masuk di UI begitu besar, meski harus dihantui pernyataan-pernyataan Pak Nardi. Tetapi apapun itu, saya patut berterima kasih pada beliau, bahwa ia telah mengingatkan saya untuk tetap optimis menghadapi kehidupan ini. Meski sebenarnya tak patut beliau lakukan pada kami....
Semoga saja penyampaian beliau berbeda dengan kenyataan di 19 Mei mendatang. Kami tetap bersemangat penuh optimisme, bahwa Tuhan-lah yang menentukan akhir dari segalanya...semoga!
----------------
Jakarta Jelang Azan Isya, 21 April....