» » Gemuruh Nasionalisme di Jiwa Pak Prabowo

Gemuruh Nasionalisme di Jiwa Pak Prabowo

Penulis By on 27 May 2014 |

Saya tidak dalam ranah menyodorkan siapa yang terbaik dalam kontestasi Pilpres 2014 kali ini, apakah Pak Prabowo atau Pak Jokowi, sebab masing-masing individu (pemilih) punya cara berbeda dalam memandang keunggulan dan kelemahan dari kedua tokoh ini, meski saya sendiri memilih Pak Prabowo sebagai Capres pilihan dengan berbagai pertimbangan dan asumsi nalar sehat saya.  Sama ketika memilih pasangan Jokowi-Ahok pada Pilkada Jakarta setahun silam, tentu dengan berbagai pertimbangan yang matang pula. Bahkan (mungkin) sama dengan pikiran Pak Prabowo ketika mengkampanyekan Jokowi-Ahok untuk tampil memimpin Jakarta saat itu.

Namun bukan itu yang menjadi tema utama tulisan ini, tetapi ingin mengurai mengapa sosok Pak Prabowo Subianto begitu dihormati dan disanjung oleh simpatisannya? Mengapa Pak Prabowo begitu dipersepsikan sebagai sosok ‘solution maker’ bagi bangsa besar bernama Republik Indonesia ini? Tentu beragam jawaban bisa hadir di sana, tergantung dari sudut mana melihatnya.

Saya hanya ingin mengurai Pak Prabowo dari sisi ‘kecintaannya’ pada Indonesia. Bahwa ia adalah tokoh dengan semangat nasionalisme yang selalu bergemuruh dalam kehidupannya. Apapun aktivitas beliau, baik di ranah politik atau sosial kemasyarakatan umumnya, simbol-simbol nasionalisme itu selalu hadir, bahkan pada atribut yang melekat di tubuhnya, dari perkataan hingga sikapnya. Benar kata para bijak, untuk mengukur kedalaman jiwa seseorang, hanya bisa terlihat dari perkataan dan sikap yang ditunjukkannya.

Dipertengahan tahun 2012 silam, pertama kali berkunjung ke DPP Partai Gerindra sekedar ingin menyaksikan secara dekat tokoh ini, saya justru terpesona dengan atribut-atribut yang terpajang di kantor tersebut, hampir semua yang melekat di sana mengambarkan simbol-simbol nasionalisme, dari pajangan sejumlah foto para pahlawan nasional, hingga pernak-pernik merah putih yang menghiasinya. Bahkan kalimat-kalimat yang menjadi tema rapat, selalu diarahkan pada hal-hal yang berbau kebangsaan. Bahkan ketika Pak Prabowo memberi kata sambutan, ia memulai dengan ungkapan kalimat pendek. “Biarlah Partai Gerindra tidak menjadi partai besar, asal dihuni oleh orang-orang bersih dan memiliki tanggung jawab besar pada bangsa ini,” katanya.

Ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan, Pak Prabowo tak sekedar ikut bernyanyi, ia serta merta langsung memberi penghormatan kenegaraan, pandangannya lurus ke depan seolah membayang perjalanan bangsa ini dari waktu ke waktu. Pesona nasionalisme itu semakin menggemuruh tatkala lagu ‘Ibu Pertiwi Menangis’ dinyanyikan dengan hikmad, tampak air mata Pak Prabowo menetes perlahan.  Ia benar-benar larut dalam suasana kebangsaan itu. Meski saya bertanya-tanya, apa sebenarnya yang ada di benak Pak Prabowo tentang bangsa ini?

Nasionalisme Pak Prabowo memang tidak diragukan, meski ia menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, tidak berarti mengucilkan keberadaan partai lainnya, sebaliknya menganggap tokoh-tokoh partai lainnya adalah negarawan yang selalu memikirkan bangsa ini. Hal itu ditunjukkannya ketika Kampanye Partai Gerindra di Gelora Bung Karno-Senayan beberapa bulan lalu yang dihadiri petinggi PPP, Pak Prabowo ikut mengkampanyekan partai ini, sesuatu yang tak lazim, dan hanya mereka yang berpikir kebangsaan yang bisa melakukannya.

Kekaguman saya terhadap nasionalisme Pak Prabowo semakin menguat manakala ikut mengantar langsung Pak Prabowo dan Pak Hatta sebagai Capres-Cawapres di KPU, semangat kebangsaan itu benar-benar bergemuruh. Dilepas di masjid Sunda Kelapa-Menteng hingga kurang lebih 1 km menuju KPU, massa tak henti-hentinya menyanyikan lagu Indonesia Raya, Pak Prabowo pun memberi penghormatan kepada massanya, bahkan berkali-kali mengepalkan tangan sebagai simbol kejuangan. Boleh jadi, ini yang membuat Partai Gerindra, selalu menghadirkan Marching Band untuk menggelorakan semangat nasionalisme itu.

Tetapi satu hal yang selalu mengganjal dalam pikiran saya, adalah ketika muncul serentetan pertanyaan, yang selalu mengkait-kaitkan antara nasionalisme Pak Prabowo dengan kepergiannya ke Jordania, yang dianggap sejumlah kalangan, sebagai ‘kelunturan’ nasionalisme putra begawan ekonomi Indonesia ini, Bapak Soemitro Djojohadikosoemo. menjawab hal ini, mantan ajudan Pak Prabowo, Asaldin Gea menjelaskannya dengan simpel. “Kepergian Pak Prabowo ke Jordania, bukan karena hilangnya nasionalisme Bapak (Prabowo), itu hanya ungkapan kompetitor politik beliau, bahkan selama berdiam diri di luar negeri, Bapak selalu memantau perkembangan dalam negeri, bahkan mengingatkan pengikut-pengikutnya untuk tetap setia dengan NKRI dan kepemimpinan nasional saat itu,” jelas Asaldin Gea.

Sampah menjadi Emas

Cukup banyak cerita tentang kepergian Pak Prabowo ke Jordania pasca reformasi, bagi  seorang Asaldin Gea adalah cerita sedih di tengah kecintaan Pak Prabowo pada bangsanya. “Dulu Bapak berkata, mungkin hari ini  saya adalah sampah, tetapi kelak saya datang lagi (ke Indonesia) sebagai emas,” kata Bang Gea menuturkan peristiwa-peristiwa awal keberangkatan Pak Prabowo itu.

Makna ‘sampah’ bagi Bang Gea dipersepsikannya sebagai pihak yang ‘dipandang sebelah mata’ yang boleh jadi diartikan sebagai penghianatan (mungkin) dari orang-orang yang pernah dekat dengan Pak Prabowo. “Itu hanya asumsi pribadi saya. Tetapi Bapak ke Jordan sekedar menenangkan diri, dan memberi ruang pada tokoh-tokoh bangsa ini untuk melaksanakan agenda reformasi, tanpa harus merasa sungkan dengan Pak Prabowo jika masih berada di Jakarta,” ujarnya mengenang.
Sementara analogi ‘emas’ itu bagi Bang Gea terlihat manakala Pak Prabowo kembali ke Indonesia dan tiba di Lanud Halim Perdanakusuma dengan sambutan dari sejumlah tokoh dan elit yang ikut hadir menjemputnya, dan kemudian ia banyak diminta untuk menjadi kandidat calon Presiden, manakala Pemilu tiba waktunya.

Kembali ke soal nasionalisme. Jangan pernah meragukan Pak Prabowo soal ini, sebab ia memang terlahir dari jiwa nasionalisme yang selalu bergemuruh. Kakeknya, Margono Djojohadikoesomeo adalah adalah seorang pendiri Bank BNI, tokoh koperasi nasional, ayahnya Soemitro Djojohadikoesoemo adalah begawan ekonomi Indonesia dan juga mantan menteri era pemerintahan Bung Karno, bahkan nama Subianto yang melakat pada nama Pak Prabowo, adalah nama yang diambil dari pamannya, seorang pahlawan yang gugur di medan perang melawan Jepang di zaman pergerakan.

Bahkan Prabowo sejak kecil telah menanamkan jiwa nasionalisme pada kepribadiannya, ketika  ia mendapat tawaran kuliah di Amerika. Hal ini diungkap dalam memoar Pak Prabowo yang berkisah seperti ini. “Saya terharu ketika mendapatkan informasi bahwa Prabowo menolak kuliah George Washington University (GWU).  Jiwa nasionalisme membela tanah air telah terjejal di dada anak muda ini.  Prabowo   sebagai salah satu pelajar terbaik di American University in London, mendapat tawaran kuliah di  GWU  melalui secarik surat resmi bertanggal 26 Maret 1968.

Penolakan Prabowo menerima tawaran kuliah di perguruan tinggi terpandang tersebut bersebab karena ingin mengikuti pendidikan di Akademi Militer.  Prabowo memilih melanjutkan pendidikan di dalam negeri mengikuti jejak dua orang pamannya. Sejarah TNI mencatat Subianto  Paman Prabowo gugur  dalam pertempuran di Lengkong Tanggerang.

Saya mau masuk AKMIL Magelang” ucap Prabowo cilik.  Seperti dikutip dalam memoar Prabowo :   “ayah berikan saya nama Subianto. Seorang pejuang. Saya juga ingin menjadi seorang pejuang. Saya ingin membela negara saya. Jika perlu, darah saya untuk merah putih”.

**

Mungkin tulisan ini tidak bisa menggambarkan secara utuh nasionalisme yang bergemuruh dalam jiwa Pak Prabowo, sebab ini hanyalah pengalaman secuil dari penulis. Tetapi apapun itu, kita tak perlu terjebak dalam ranah ‘pro kontra’ yang akan menghabiskan energi bangsa ini. Apapun itu, Pak Prabowo adalah sosok anak bangsa yang tak perlu diragukan komitmennya dalam membangun bangsa ini, seperti ungkapan beliau pada penulis beberapa waktu silam saat berkunjung ke kediaman beliau di Bojong Koneng Bogor, “Jangankan pikiran saya, jiwa raga ini pun saya berikan untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa ini, kita harus mandiri dan bermartabat, sebab seungguhnya kita adalah bangsa yang besar”.

------------------------
Cikini Pagi Hari, 27 Mei 2014
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments