» » ‘Peluru Tajam’ Media TV Indonesia, Car Dog?

‘Peluru Tajam’ Media TV Indonesia, Car Dog?

Penulis By on 29 September 2014 | No comments

Saya tak bermaksud membangun permusuhan dengan institusi media di Indonesia. Terutama stasiun televise-televisi terbesar di Tanah Air, Sebab saya paham bagaimana kekuatan media televise ketika ingin memporak-porandakan ‘targetnya’. Pasti habis!. Sama ketika di era Pilpres kemarin, tv ini sungguh luar biasa. Ia menjadi media referensi politik yang sukses ‘memaksa’ pikiran khalayaknya, menjadi pemilih  cerdas dalam perspektif dukung mendukung pasangan Pilpres.

Kecerdasan, kepiawaian, kekuatan pemberitaan yang elegan TV Indonesia tak lahir begitu saja. Media ini dalam amatan saya telah memenuhi ‘standar-standar’ teori-teori komunikasi massa ala Dennis Mc Quail. Baik dari pendekatan teori ‘struktur organisasi’ yang sukses diawaki oleh kaum profesional, konten dan konteks yang focus pada news, serta bagaimana kesuksesannya mempengaruhi audience dengan pesan-pesan pemberitaan yang penuh dengan agenda setting dan agenda framing. Bahkan ‘priming’ sekalipun media ini memilikinya.

Saya angkat jempol, meski mungkin ini baru rabaan saya, sebab saya tak dilengkapi data kuantitatif untuk memenuhi asumsi ini terhadap televisi. Semata unsur subjektifitas yang lahir dari amatan melalui tontotan yang ditayangkan setiap waktu. Baik sifatnya yang ‘hard news’, ‘soft news’ hingga ‘running teks’.
Saya pun mencoba menghubung-hubungkan media ini dalam kajian-kajian ekonomi politik media ala Vincent Mosco yakni komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Luar biasa! TV News Indonesia saya klaim sebagai televisi sehat  yang tak mungkin tumbang hanya dengan kekuatan ekonomi politik biasa. Justru sebaliknya, mengakui jika ia akan sejajar dengan televisi-televisi terbesar di dunia, seperti CNN, Al-jazerah dll.

Karenanya kemudian, saya mahfum mengapa kemudian TV News tumbuh dan besar tidak hanya sebagai kekuatan industry media belaka, tetapi sebagai kekuatan yang akan mempengaruhi segala dimensi di negeri ini, baik politik, ekonomi dan lain sebagainya. Yang paling digandrungi dibahas di publik tanah air tentu politik, apalagi tahun 2014 ini memang di kenal sebagai tahun politik.

Cuma saya berpikir, usai Pilpres, TV berita (News) akan melemah di seputaran ini, dan mencoba mengalihkan perhatian publik di sektor lain, agar pikiran publik tidak hanya terkuras di ruang-ruang politik. Ternyata tidak, ia tetap focus di sector ini. Mungkin ini yang disebut ‘mengawal’. Mengawal kemenangan Jokowi-JK sebagai presiden dan wapres terpilih. Mahfum! Heheh.

Hanya sedikit tergelitik, dari candaan si Budi, pemuda tanggung, seorang mahasiswa S1 di sebuah kampus swasta di Jakarta. Ia nyeletuk pada saya. “Bang, berita televise itu kok, Jokowi-jokowi melulu. Apa gak ada yang lain lagi.”. saya balik bertanya, “Apa kamu terganggu?”. Ia tak tegas menjawab, “tidak juga sih, saya kan pendukung Pak Jokowi, Cuma merasa aneh saja, pilpres sudah lewat, harusnya berita-berita sudah diarahkan menghimpun anak bangsa yang pecah-pecah karena politik.” katanya.

Saya diam saja, tetapi saya angkat jempol buat Budi, sebab sepakat dengan pikirannya. Tensi pemberitaan politik harus diturunkan mengingat pesta sudah usai. Apalagi anak bangsa ini terbagai dua kubu pemikiran, pembela Jokowi-JK dan pembela Prabowo-Hatta. Yang saya ‘tangkap’, bahwa hingga saat ini emosional para pendukung pasangan Pilpres masih sangat kental. Termasuk saya sendiri, meski berusaha untuk selalu realistis dengan keadaan.

**
Tak berakhir sampai disitu. 6 September 2014 lalu, bertempat di Hotel Sahid Jakarta, digelar diskusi RUU Pilkada yang dihadiri beberapa tokoh penting di Tanah Air. Salah satunya adalah Prof. Amin Rais. Saya terkesima bukan soal pilihan kepala daerah antara ‘langsung’ dan ‘tak langsung’. Saya justru tertarik dengan pandangannya tentang media.

Pak Amin berkata : “jika dulu media-media kita berfungsi sebagai watch dog,  anjing penjaga yang selalu menyalak ketika melihat ketidak-benaran, sekarang berubah menjadi car dog, kendaraan politik orang-orang bermodal. Bahayanya, kata Pak Amin, pemodal itu justru banyak berasal dari ‘orang luar’.

Saya kemudian menghubungkan pernyataan ini dengan kondisi media di Indonesia. Terutama TV News yang selalu konsisten mengawal pemberitaan-pemberitaan politiknya.  Apakah TV News masih termasuk ‘watch dog’ atau ‘car dog’? saya belum paham. Setahu saya dua TV berita di Indonesia yakni MetroTV dan TV One  dimiliki oleh Bapak Surya Paloh dan Abu Rizal Bakri. Keduanya orang Indonesia Asli. Jadi saya belum mencurigai ada pihak asing yang memainkan di keduanya.

Hanya yang menjadi kegelisahan saya adalah TV News dalam ranah kualitatif dengan pendekatan rasa, seolah menjelma menjadi peluru tajam yang secara eksplosif (mungkin) selalu menampilkan pemberitaan-pemberitaan yang (seolah-olah) efeknya membuat kotak pemisah bagi anak bangsa ini, dengan alasan demokrasi. Saya menyebut seolah-olah, sebab belum menemukan penelitian ilmiah mengenai efek berita TV News ini.

Memang terlalu tendensius jika saya hanya mengarahkan kegelisahan ini pada TV news belaka. Sebab tentu cukup banyak media TV di Indonesia. Namun media tv lain cenderung masih cover both side dan bervarian dalam menampilkan informasi-informasinya. 

Saya sangat berharap media selalu setia menjaga harapan anak bangsa, untuk tumbuh menjadi bangsa yang penuh kedamaian. Media yang masih mengutamakan harga diri bangsa ketimbang dukungan politik belaka.

Terkait hal ini, saya teringat cerita dari Pak Habibie, mantan Presiden RI pada sebuah acara di sebuah hotel elit kawasan SCBD Jakarta, yang melounching acara yang menampilkan Tanri Abeng sebagai tokoh utamanya di Metro TV. Pak Habibie terkesan dengan cerita Pak Tenri Abeng yang kehilangan koper di Italia. Dan Pak Tenri Abeng melaporkan kepada wartawan atas kehilangan itu. Namun wartawan Italia itu berkata; “Harga diri bangsa kami (Italia) jauh lebih berharga dari harga koper bapak dan segala isinya”. Hebat!.

-----------------------
Cikini Malam Hari, 28 September 2014
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments