» » Media Independent? ‘Kentut Busuk’ Kaum Liberal

Media Independent? ‘Kentut Busuk’ Kaum Liberal

Penulis By on 29 September 2014 | No comments

Di daerah-daerah, kebanggan menjadi seorang jurnalis begitu terasa. Setidaknya ada status sosial melekat pada diri seseorang, jika ia mendapat label jurnalis. Setidaknya ia ditakuti, disegani bahkan menjadi kawan ‘baik’ dari mereka yang memiliki kepentingan terhadap media. Atau paling tidak karena melekat pameo yang mengatakan ‘siapa menguasai informasi, maka ia menguasai dunia’. Ini yang banyak disitir kaum media, agar ia tetap berada dalam ranah salah satu pilar besar demokrasi. Itu juga  yang saya pernah rasakan ketika menjadi jurnalis selama beberapa tahun di daerah. Bangga tentunya.

Kebanggaan itu lahir, karena kekuatan UU No. 40 tentang Pers yang intinya menekankan tentang adanya kebebasan mencari informasi, kekuatan posisi awak media yang diormati keberadaannya, tetapi tetap menjunjung martabat bangsa sebagai tanggung jawab moral sebagai anak negeri. “Hemm..mungkin ini yang masih masuk sebagai kategori pers Pancasila, bukan pers liberal” pikirku.

Karenanya, kawan-kawan jurnalis di daerah, selalu merasa bangga jika ia disebut sebagai pekerja independen, bebas dari kepentingan siapapun. karenanya hati dan perasaannya memberontak manakala ia disebut ‘tidak independen’ dalam pemberitaannya. Toh jika pihak media ingin beropini, maka kesempatan itu terbuka lebar di ruang ‘tajuk rencana’ sebagai sikap media terhadap lingkungannya setiap waktu, sesuai durasi penerbitan atau penayangan media itu.

“Itu dulu. Sekarang tidak lagi” pikirku. Semakin tersedianya fasilitas teknologi penunjang media, besarnya kesempatan pemodal atau kaum capital merogoh koceknya dalam mendirikan industry media, serta pressure kaum partisan terhadap media, maka jangan berharap media-media di negeri ini, akan bertahan dalam posisi  sebagai ‘pers Pancasila’, namun yang pasti sadar atau tidak akan bergeser pada ruang besar bernama ‘pers liberal’, sebuah iklim pers yang bebas, merdeka dan menjadi kelompok kepentingan tersendiri. Iklim ini baru terasa beberapa tahun baru dengan berdirinya televisi-televisi gaya liberal dengan kekuatan ‘konten news’ sebagai pamungkasnya.

Apakah ia masih ‘independen’ jika masuk dalam ruang pers liberal? Saya mengistilahkannya dengan sebutan ‘kentut busuk’ belaka. Kenapa? Independen tidak akan memberikan keuntungan finansial bagi media itu. Bukan hanya itu posisi independen media bagi kaum liberal bakal menjadi ‘kematian’ atas target pasar yang sudah dirancangnya sejak awal. Apakah pasar itu dalam arti yang sebenarnya, maupun pasar di sector lain seperti politik dan social, budaya yang menjadi audiens-nya.

Terkait ini, maka akan menjadi pembenaran atas teori dari Shoemaker and Rase (2001) yang tegas menyatakan jika “di dunia tidak ada media independen, ia selalu bergantung pada ideology pemiliknya”. Maka jangan heran, jika kemudian raksasa pemodal media-media di Indonesia saat ini benar-benar menjadikan ‘media-nya’ sebagai kekuatan untuk merebut keuntungan di pelbagai sector. Yang paling parah, di sector politik, ketakutan banyak orang, jangan sampai media diarahkan untuk menyiarkan sesuatu sebagai ‘cara  halal-haram’ untuk merebut kekuasaan. Anda setuju?

Di Amerika, media telah dianggap sebagai sebuah cara untuk merebut budaya bangsa lain. Ini yang disebut oleh Herbert Schiller dalam Mc Quail (2010) sebagai ‘imperialisme kultural’. Schiller berangkat dari asumsi bahwa dominasi teknologi komunikasi dan arus informasi oleh Negara-negara barat terutama Amerika Serikat adalah bagian dari logika pembentukan system kapitalisme dunia.

Lebih jelas lagi Herbert Schiller menguraikan bahwa konsep imperalisme kultural adalah keseluruhan proses dimana masyarakat digiring ke dalam system dunia modern dan strata yang didominasi oleh elit, dimingi-imingi, dipaksa dan kadang-kadang disuap untuk menjadikan pranata-pranata social serasi atau bahkan mendukung nilai dan struktur pada pusat sistemnya (yakni Amerika). Parahnya lagi, imperialism budaya ini diarahkan untuk menciptakan publik sasarannya menjadi manusia konsumensarisme. Waduh!

                                                                                     **
Sebagai orang ‘Indonesia Asli’, ada rasa pemberontakan manakala keberadaan media-media Indonesia benar-benar kemudinya dipegang kekuatan Amerika, yang akan menjadikan Indonesia sebagai pasar, dijadikan public konsumensaris, yang ujung-ujungnya ‘ketergantungan’ pada mereka. Inilah penjajahan modern yang akan membenam bangsa Indonesia, dimana mereka selalu mengemasnya dalam kata dan lipstick ‘demokrasi’.

Pertanyaannya, apakah media besar di Indonesia sudah dalam bayang-bayang kepemilikan kekuatan asing? Secara kelembagaan dan kepemilikan tentu tidak. Tetapi pengaruh dari simpul-simpul kekuasaan itu pasti! Apalagi media dalam teornya memang tak pernah lepas dari ‘demand and pressure’. Permintaan dan tekanan dari orang-orang berkepentingan.

Hemm…bagi jurnalis yang selalu membanggakan logika ‘independen’ tampaknya harus membuktikan dirinya bebas dari segala kepentingan itu. Jika tidak, atau selalu berteduh di payung yang bernama demokrasi dan kebebasan, maka boleh jadi suatu saat nanti, merekalah sebagai ‘penjual’ harga diri bangsa ini di masa depan.

Sebebas-bebasnya media mempublikasikan dinamika bangsa ini, tentu jauh lebih baik jika punya saringan sebagai media yang memiliki tanggung jawab pada harga diri bangsanya sendiri. Bangsa yang bermartabat. Bukan bangsa saling memfitnah dan mencaci-maki, apalagi menjadi biang provokasi untuk saling membunuh di antara anak negeri sendiri. Jangan pernah mengikuti logika demokrasi liberal, jika bangsa ini punya logika sendiri untuk menata bangsanya menjadi lebih baik. Bangsa ini bukan bangsa sekuler yang menempatkan kebebasan di atas segalanya. Bangsa ini punya Pancasila, yang menempatkan agama di puncak azas bernegara.

Seperti kata Bung Karno, di 1 Juni 1945 saat melahirkan konsep Pancasila-nya. Beliau berkata “Kalau kita memilih demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup…”.

Anda masih menghormati Bung Karno?
-------------------------------

Cikini Malam Hari, 29 September 2014




Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments