» » Aku Hilang, Sembab dan Tertawa Muram

Aku Hilang, Sembab dan Tertawa Muram

Penulis By on 21 November 2014 | No comments

ENTAHLAH, tak lagi bisa memberi judul yang tepat untuk rangkaian tulisan-tulisan berikutnya. Saya hanya memulainya, dan Anda-lah yang memberinya makna, sebab saya tak tahu makna apa yang kutitip dalam tulisan ini. Saya hanya melampiaskan banyak kata seperti melepas gundah yang tak tahu kemana ujung pangkalnya. Galau? Mungkin! Tetapi saya percaya, tulisan adalah meditasi jiwa, seperti saat remaja menuliskan lembar-lembar jiwanya dalam catatan buku diari. Setelah itu, lepas! ringan! Dan melepaskan nafas panjang,,,ahh…leganya….
      
Malam  ini, pukul 22.00 WIB,  kususur sendiri jalan-jalan ibukota dengan deru  mesin yang selalu membawaku kemana aku pergi. Jakarta benar-benar lengang, tak ada kemacetan, mulutpun tak terasa bersenandung beberapa lirik lagu romantisme. Sesekali memandang gedung-gedung yang mengerlipkan cahaya dimana-mana, sungguh indah! Sayang aku sendiri, tak ada orang-orang kucintai disampingku; istriku, anak-anakku dan ataupun sahabat-sahabat terdekatku; yang senantiasa memberi jiwa yang hangat dan ketenangan dalam bertutur. Benar-benar sendiri, seperti remaja yang tak jelas kemana ujung hidupnya.
     
Dalam deru mesin-mesin yang meluncur di jalan-jalan ibukota, jiwa dan pikiranku seolah beradu pendapat, mengapa aku ada di sini? Apa yang kamu cari? Sungguh kamu tak pernah puas dengan apa yang kamu raih? Melihatlah ke bawah dan jangan selalu memandang ke atas, sebab kamu tak pernah berhenti mencari. Jika kamu memandang ke atas, jangan engkau melihat kepongahan itu. Tetapi pandanglah, jika ada yang jauh lebih agung dan lebih besar dari kamu. Ya Pencipta-mu, Tuhan-mu.
      
Saya berhenti sejenak di pelataran Taman Suropati-Menteng. Taman yang selalu memberiku inspirasi sembari menghibur pendengaran lewat alunan-alunan lembut biola, musik idamanku. Tetapi saya seolah menikmatinya sendiri, padahal puluhan orang berdiam di sana. Hanya ada tawa yang muram, manakala waria itu bernyanyi sesuka hatinya. Tak ada kepuasan batin yang kuraih. Bergerak lagi mengikuti arah yang tak tahu entah kemana. Benar-benar sendiri!
   
Kali ini teringat wejangan seorang kawan di Kendari sana. Ia berkata “Abang seolah masih mencari sesuatu, tetapi tak tahu apa yang dicari” Katanya. Mungkin banyak benarnya. Sebab ukuran hidup manusia, saya harus jujur jika sebenarnya kehidupanku terbilang sangat normative; masih memiliki kedua orangtua yang senantiasa memberikan cintanya; memiliki istri dan anak-anak yang selalu meberikan kerinduannya; memiliki pekerjaan yang cukup sebagai sebuah keluarga; memiliki jenjang pendidikan yang terbilang tinggi untuk ukuran banyak orang. Tetapi terasa masih ada yang belum tercapai, terasa belum lengkap. Tetapi apa? Saya masih berusaha menemukannya, sebab jiwa terasa kosong di antara keramaian dan gegap ibukota yang penuh bunga-bunga kehidupan.
Apakah saya mahluk yang belum bisa bersyukur atas nikmat-Nya? Mungkin! Apa saya kurang dekat pada-Nya? Bisa jadi! sebab keegoisan jiwa masih mewarnai hidup ini. Enggan rasanya untuk duduk bertafakur, enggan rasa melakukan munajat, bahkan keluh lidah untuk mengucap kalimat-kalimat-Nya. Astagfirullahaladziem! Sungguh bodoh manusia sepertiku. Tetapi apapun itu, optimism jiwaku masih utuh. Pikiranku masih berusaha untuk membangun diri dan bersimpuh pada-Nya. Aku masih bisa tersenyum, sebab saya masih merasa, jika Malaikat-malaikat senantiasa membisiku untuk kembali ke jalan-Nya. Seperti doa anak-istriku, yang selalu memberiku sugesti kehidupan untuk menjadi seorang ayah yang dapat diteladani. Alhamdulillah, masih banyak yang mencintaiku, dan akupun harus memberi cinta itu setulus dan se utuh mungkin.
     
Malam ini, kududuk sendiri dalam keheningan di tepi kota yang hening, melukiskan apa yang ada dalam jiwa saat ini. Merangkai kata yang tak berarah. Tetapi apapun itu, saya telah menulis dan ini meditasiku. Aku tenang saat ini, dan memandang karakter huruf kupakai merangkai tulisan ini. Cambria. Seperti nama seseorang wanita. Apakah saya mencintai ‘Cambria’. Entalah, sebab ia hanya sebuah karakter huruf. Saya bukan pengagum karakter ‘time new roman’, sebab ia seolah memburuku sesuai namanya. Time, waktu!.
Apalah itu. Ini hanyalah tulisan, sekali lagi meditasiku! Dan aku tenang sekarang, saatnya untuk menikmati mimpi indah di jumat dinihari.
**
Jumat Dinihari, Jakarta 21 November 2014
Hahahaa..saya tertawa muram.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments