Dr. Hamzah, S.H., M.I.Kom, begitu nama lengkap dan gelar akademik yang disandang pria yang akrab disapa Hamzah Palalloi –khas Bugis karena sematan ‘Palalloi’, nama kecil almarhum ayahanda yang sengaja ia lekatkan sebagai pembeda dari nama privat pada umumnya.
Memperoleh gelar doktor di bidang ilmu komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta di 27 November 2016 silam di usianya yang ke 43 tahun, dan master ilmu komunikasi di Universitas Mercubuana Jakarta tahun 2012, buah hayalan dan mimpi panjang dari kehidupan sederhana yang ia jalani sejak kecil.
Paling tidak, lelaki kelahiran Pinrang (Sulawesi Selatan), 14 Juli 1973 terlahir dari ayah pekerja serabutan dan ibunda yang fokus mengurus rumah tangga, adalah residu cerita bila kesederhanaan bukanlah titik akhir menggapai mimpi di dunia pendidikan.
“Hanya rasa syukur dan keseriusan menggapai mimpi yang bisa menjawab takdir Tuhan pada manusia,” ujar pria yang menamatkan pendidikan Sarjana Hukumnya di Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) Baubau pada usia yang tak lagi belia, 35 tahun – atau tepatnya di tahun 2008. “itu berarti, sekolah tak punya batas usia,” imbuhnya.
Menapaki jengkal-jengkal kehidupannya sungguh hanya jalan cerita yang tak lazim dilukiskan sebagai romantika mengagumkan, terkecuali menikmati masa kecil di Pangkep-Sulawesi Selatan, kemudian mengikuti orangtuanya ke Kolaka-Sulawesi Tenggara di tahun 1991 hingga menamatkan SMA di sana. Tak banyak cerita indah, terkecuali bekerja sebagai ‘asisten kuli bangunan’ bersama ayahnya yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Itu dinikmatinya hingga ia menamatkan pendidikan di SMA.
Di usia remajanya tak langsung melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ia hanya bekerja sebagai sukarelawan di SMP Negeri Toari, dan terkadang menjadi staf ‘tidak tetap’ di kantor kecamatan Watubangga – Kolaka. Pilihan yang harus ia rengkuh di tengah keterbatasan, apalagi wilayah itu di masanya adalah kawasan pemukiman transmigrasi yang teentu minim sumber daya manusia.
“Tetapi itu pengalaman paling berharga yang pernah saya jalani, karena menjadi bekal menapaki hidup selanjutnya, bahkan sempat berkirim surat ke Presiden Soeharto di masa sebagai honorer untuk diangkat sebagai PNS, dijawab oleh Sekneg saat itu, tapi belum mujur,” ujar organisatoris dan juga dikenal sebagai seorang khaligrafer itu.
- Bekal Wartawan dan Menjadi PNS
Entah dari mana cerita ini bermula, di tahun 1995 ia berkenalan dengan seorang bernama Azhari, alumni STPDN Jatinangor (kini bernama lengkap Dr. Azhari, MA, Rektor Universitas 19 November Kolaka, sebuah kampus negeri di wilayah itu) yang kemudian mengajaknya bergabung menjadi seorang jurnalis pada surat kabar terbitan Makassar, “Sulawesi Pos” nama koran itu – milik rekan Azhari.
Perkenalannya dengan dunia media massa, memberi pengaruh kuat dalam diri Hamzah Palalloi. Beberapa media terbitan lokal mempercayakannya sebagai redaktur, bahkan menjadi pemimpin redaksi. Sayangnya media yang diikutinya terbilang kurang profesional, sebelum akhirnya ia diterima bekerja di surat kabar terbesar Sulawesi Tenggara sebagai wartawan Kendari Pos di tahun 1998.
Profesi ini dijalaninya hingga di tahun 2004, sampai ‘bekerja ganda’ sejak terpilih menjadi anggota Panwaslu Kota Baubau – Sulawesi Tenggara di Pemilu 2004. Tatkala ditugaskan sebagai koresponden di kota kecil itu di Pulau Buton di tahun 2000, ia menemukan pasangan hidupnya di sana dan menikah di tahun 2001.
Jadilah ia penduduk Kota Baubau dan menetap di sana. Dari wartawan, ia kemudian lulus PNS di tahun 2006 di kota itu. Sembari bekerja ia juga fokus menyelesaikan pendidikan sarjananya. Kota Baubau, benar-benar menjadi kota yang banyak menorehkan cerita kehidupannya.
Ke Jakarta dan jadi dosen di Kampus-kampus Ternama
Di sekitar tahun 2002 di Baubau, seorang ahli fengshui beretnis Cina bernama Hartono, iseng pernah meramalnya, saat itu ia ditemani Pak Amirul Tamim. Hartono bertutur kelak suatu hari Hamzah akan bekerja sebagai Pegawai Negeri, bahkan akan hidup lama di Jakarta dan akan terlibat banyak dalam kegiatan-kegiatan sosial.
“Saya berpikir, ramalan itu tak mungkin terjadi, sebab mau menjadi PNS sudah nyaman dengan profesi wartawannya, apalagi akan mentap di Jakarta, urusan apa di sana, apalagi saya hanya tamatan SMA?” tanya dia kepada Pak Amirul, yang dijawabnya jika ia menjadi walikota tak ada yang rumit jika punya niat dan cita-cita.
Beberapa tahun kemudian kenyataan berbicara lain, di tahun 2010 mimpi menetap di ibukota negara menjadi nyata, setelah mendapatkan tugas belajar ke S-2 di sana, yang kemudian dijalaninya hingga menyelesaikan pendidikan diktoral (S-3). Taburan-taburan mimpi benar-benar dituai. Bahkan sembari kuliah, ia juga ‘sambilan’ sebagai dosen ilmu komunikasi di beberapa kampus-kampus swasta ternama di Jakarta.
Tercatat kampus-kampus tempat ia mengajar di level S1 dan S2 , yakni di Universitas 17 Agustus 1945, Universitas Persada Indonesia (UPI-YAI), dan Universitas Sahid Jakarta. Pengalaman yang benar-benar menempanya. “Bahkan terlibat sebagai aktivis di organisasi massa berhaluan politik milik seorang calon Presiden RI, alhamdulillah (pengalaman) itu yang sangat hebat dalam diri saya, sebab bisa berkeliling Indonesia sebagai pembicara dan konsultan komunikasi “ ujar ayah dari 3 putra-putri itu.
Awal tahun 2017, setelah gelar doktor direngkuhnya, ia harus kembali ke daerahnya di Kota Baubau menjalani aktivitasnya sebagai PNS, dan memulai karir lagi sebagai kepala seksi pengolahan opini dan apirasi publik di dinas komunikasi dan informatika.
Rencana panjangnya, ia mengaku akan beralih menjadi dosen, agar ilmu pengetahuan yang diperolehnya bisa lebih bermanfaat. “mimpi saya sederhana, bisa berbagi, dan membahagiakan keluarga, itu saja. Mau jadi apa nantinya, itu takdir Allah,” pungkasnya. **
----------
- Catatan ini dibacakan dihadapan forum guru besar saat promosi sebagai doktor Ilmu Komunikasi di Universitas Sahid Jakarta, 27 November 2016.