“ Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 11 (1) UU No. 2 Tahun 2002”
“.........Mudah-mudahan Saya cepat dapat ‘Kombes’. Kalau udah (dapat) kita harus berbenah, sebab masuk Pangkat Jenderal, aroma politiknya sangat kental, karena disini Presiden yang menentukan, tapi ini juga harus punya banyak jaringan. Mana Presiden tahu kalau gak ada jaringan itu. Kalau tidak, kita mentok di Kombes saja. Dapat Jenderal, berarti benar-benar kejatuhan ‘bintang’ dan sangat luar biasa......”
Itulah pengakuan sekaligus menjadi prolog cerita seorang perwira Polisi dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) di daerah. Wajahnya ganteng, tegap dan mengaku pernah bertugas di link istana (negara). Tapi sang AKBP itu tak berharap banyak untuk bisa menembus level Jenderal nantinya. “Kecuali sudah Kombes, dapat tugas di Jakarta itu peluangnya sangat besar, apalagi kalau punya prestasi, bisa cepat..(dapat Jenderal)”
Prolog ini penggambaran bila memasuki level perwira tinggi di institusi kepolisian bukan perkara gampang, (mungkin bukan hanya institusi POLRI, TNI bisa jadi demikian). Apalagi membahas panjang masalah siapa Kapolri yang akan menggantikan Jenderal Pol. Bambang Hendarso Danuri (BHD).
Kondisi ini, bisa jadi lahir karena alur dramatisasi sebuah Undang-Undang. Undang-undang sudah mematok dan mendogma sekaligus mendoktrin. Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 11 (1) UU No. 2 Tahun 2002). Pelibatan institusi DPR, dalam konteks memilih calon Kapolri, membuat institusi penegak hukum ini dibaluti diorama poltik. Padahal dari sisi penugasan, Kapolri adalah pembantu Presiden, yang setara fungsinya dengan Menteri. Artinya, sebagai pembantu Presiden, maka posisi Kapolri idealnya tidak perlu melalui pertimbangan kalangan legislative.
Kenapa? DPR adalah lembaga politik, yang kecenderungan bekerjanya sangat dipengaruhi oleh partai dimana anggota DPR itu terusung. Independensi dan kemerdekaan berpikir anggota DPR tentu dipengaruhi partai dan siapa pimpinan partai itu. Apapun lembaga-lembaga bentukan DPR, se-independen dan seobjektif apapun DPR berpikir, kecenderungannya dipengaruhi dogma partai dan pimpinan partai. Pertanyaannya, layakkah UU tentang kepolisian ini direvisi? Mungkin saja, dan ini domain praktisi dan akademisi hukum yang akan membahasnya.
Dalam konteks komunikasi sosial, Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang didalamnya menuliskan pasal-pasal ‘pelibatan DPR’ pada penentuan Kapolri, seperti pada pasal 11 ayat 1,2,3,4 dan 5 posisi DPR sebenarnya ‘alat dengar’ saja. Saat pengajuan calon Kapolri dari Presiden untuk disetujui DPR, maka calon Presiden mengajukan alasan-alasan (ayat 2). Tetapi kemudian menjadi sangat ambivalen, ketika calon Kapolri diajukan, DPR hanya diberi waktu 20 hari bekerja sejak surat diterima DPR, dan bila 20 hari itu belum ada jawaban DPR, maka Presiden menganggap DPR telah menyetujui.
Idealnya, memang UU ini dibuat untuk mengatur dan menghindari otorisasi Presiden yang berlebihan dalam mengangkat Kapolri, namun komposisi keanggotaan DPR yang berasal dari ‘aneka rasa’ Partai Politik, membuat jabatan Kapolri ini juga bakal syarat dengan kepentingan politik. Maklum, bagi yang pragmatis, maka tawar-menawar tentu akan terjadi. Khususnya Calon dengan oknum anggota DPR. Padahal dalam UU juga disebutkan, kalau Kapolri harus patuh dan tunduk pada pemerintahan yang sah. Artinya, Kapolri mau tidak mau mengikuti doktrin seorang Presiden
Boleh jadi pula, pelibatan DPR dalam penentuan jabatan Kapolri khususnya Komisi III-DPR, dimaksudkan agar Presiden mendapatkan rambu-rambu yang baik dalam memilih Kapolri serta menjadi tempat para anggota Polri ‘curhat’ seperti yang dialami KomJen Susno Duadji, tetapi bukankah Presiden dikelilingi pemikir dan staf yang sangat ahli di bidangnya?? Bukankah Presiden dikelilingi Wantimpres, dan lain-lain. Apalagi Indonesia mengaku menganut sistem Presidensial. Apalagi?
Keberadaan Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2002 yang menstresing adanya pelibatan DPR, adalah bentuk jelimetnya tata perangkat Negara ini. Sangat banyak, sangat beragam, padahal tujuan hanya satu. Negara aman dan terayomi.
Yang pasti dua pekan terakhir ini, Bangsa Indonesia akan dipertontokan diorama-diorama politik Jenderal-jenderal kepolisian. Mungkin hanya dengan bahasa ‘No Comment’ atau “Ini kewenangan Presiden” menjadi ‘kalimat kampanye’ seorang calon Kapolri, untuk kemudian dinilai Presiden sebagai seorang yang layak didudukkan sebagai Kapolri. Apalagi media massa mem-follow-up-nya sebagai kemasan berita yang menarik.
Lalu siapa ‘The Next Kapolri’ pengganti Jenderal BHD, kita tunggu usulan Presiden. Yang pasti, hegemoni politik yang mewarnai penentuan Kapolri, akan terus turun hingga ke level bawah. Seperti di awal tulisan ini, seorang Kombes harus pintar mencari jaringan untuk naik level Jenderal. Termasuk untuk mendaftar menjadi anggota POLRI baik Bintara dan Perwira bukan cerita rahasia lagi, kal;au semuanya butuh tips and trick. Inilah Indonesia .
*) Hamzah Palalloi
Mahasiswa jurusan Media dan Komunikasi Politik
Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta