Menggelayut manja diantara kebisingan....
Berlalu bagai pedati tanpa peduli......
Mengais rezeki tanpa kenal waktu......
Mati atau Hidup, Siapa Peduli...
(Hamzah Palalloi, 4 September 2010)
Jakarta, kota yang tak pernah mati. Kota yang memanjakan pesona bagi penikmatnya, namun neraka bagi yang tak mampu bertahan. Kesenjangan berjalan bagai bumi dan langit. Menatap keatas, bintang berganti menara. Kebawah, kegalauan bertebaran. Semua bagai sandiwara tanpa sutradara, berjalan tanpa skenario. Tapi saya masih menemukan cinta. Cinta diantara pengamen dan manusia metromini. Sebuah sandiwara hidup yang layak dipedomani para penguasa negeri ini.
------------------------------------------
Pagi cerah di Sabtu siang 4 September 2010, saya berdiri dipojok Jalan Cikini Raya. Cikini, sebuah kota tua di pusat Jakarta, Namanya bagai bintang yang popularitasnya terhimpit gedung-gedung dan terkepung keruwetan jalanan. Yang paling tergiang di telinga Saya, Cikini kota bersejarah. Seorang Presiden Soekarno pun menyekolahkan putra-putrinya di kawasan ini, tepatnya di Perguruan Cikini, sebuah lembaga pendidikan tempat Megawati Soekarno Putri menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya.
Terhenyak sejenak, metromini 502 jurusan Kampung Melayu-Tanah Abang melintas. Saya bergerak cepat merebut satu diantara kursi-kursi reot metromini itu. Pikiran melayang jauh..akan kemana saya di bawah. Terserah, tujuan akhirnya kan Tanah Abang. Apa itu Tanah Abang saya tidak tahu. Orang-orang daerah hanya bercerita kalau Tanah Abang disingkat Tenabang, pusat grosiran murah dan banyak dihuni preman bengis. “Ya sudah, kalaupun ketemu preman dan pingin memeras, Saya harus melawan, sebab Saya bukan seorang penakut, lagi pula ini bulan Puasa, mungkin saja Preman-nya juga lagi puasa..” pikirku saat itu.
Ilustrasi : Pengamen ibukota di kawasan mantraman
Selang waktu kemudian, seorang lelaki kira-kira diatas 45 tahun naik ke, dengan pakaian dekil berwarna hitam, rambut gondrong berkaca mata minus ala seniman Jhoni Iskandar dengan tentengan gitar ‘mini’, melompat ke Metromini dan pas berdiri disampingku. Tentulah seorang pengemis Jalanan, layaknya penenteng gitar lainnya di jalanan ibukota. Tapi pengamen yang satu ini saya sebut sebagai ‘senior’, tentu karena usianya yang cukup tua dibanding pengamen jalanan lainnya. Bahkan Saya memvonis dia sebagai seniman, dengan melihat dandanannya yang awut-awutan karena ketidak-peduliannya dengan dirinya sendiri.
“Bang Supir dan Saudara-saudara sekalian, mohon maaf Saya mengganggu perjalanan Anda. Kepada saudara-saudara yang berpuasa, saya ucapkan selamat berpusa. Izinkan Saya mencari rezeki di metromini ini, layaknya Saudara-saudara juga” begitu kalimat Sang pengamen, yang menurutku santun dan masih beradab ala adat ketimuran kita.
Tiga lagu terlantur dibibirnya yang telah menghitam. Sama sepertiku, kelihatannya di perokok berat. Lagu pertama berbahasa Sunda, dan menurutku bertema Cinta. Lagu kedua berbahasa Minang yang menurutku bertema kehidupan, dan lagu terakhir, sebuah lagu popular milik Franky Sahilatua yang pernah berjaya di tahun 90-an. Saya tidak hafal bait-baitnya, yang terekam beberapa kata saja diantaranya, ….“berjalan-jalan di Trotoar, di Surabaya yang permai….”
Pengamen itu benar-benar menikmati lagu yang dibawakannya. Kadang matanya terpejam, apa ia malu atau mendalami Saya tidak paham. Tapi saya terhibur, kedua telapak Saya silih berganti menepuk paha diam-diam. Tapi mata tetap mawas melihat sekeliling. Ternyata penumpang juga terhibur. Sang Sopir pun dari balik kaca spion, mulutnya ikut bernyanyi-nyanyi kecil. Saya menangkap ada sinyal ‘kesenangan’ diantara sesaknya penumpang dan derik kursi reot metro mini.
Seperti ‘kebiasaan’ ketika menghadapi pengamen, Saya dan sejumlah penumpang memberinya recehan. Entah berapa ia peroleh, tapi Saya yakin, hiburannya tak sebanding dengan nilai uang yang diterimanya. “Terima kasih Abang sopir, dan saudara-saudara semua, selamat sampai ditujuan,” begitu ungkapan penutupnya. Sembari menggelayut manja diantara kebisingan, ia berlalu bagai pedati tanpa peduli, mengais rezeki tanpa kenal waktu, mati atau hidup, siapa peduli. Sang Sopir melambaikan tangan, namun matanya tetap lurus kedepan.
Saya membatin mencermati kehidupan antara sang pengamen dan Sopir Metromini. Nampaknya mereka telah membangun toleransi sejak lama. Sejak metromini mereka ada. Mereka seolah mitra dalam membangun kehidupan, tanpa kecemburuan, tanpa kedengkian. Sang sopir rela wilayah otoritasnya, menjadi wilayah otorita orang lain. Sangat berbeda dengan kehidupan antara kepala daerah di negeri ini yang disibukan dengan batas wilayah, bahkan harus ‘ribut’ hanya persoalan garis batas wilayah.
Sang Sopir dan pengamen tetap membangun toleransi dalam kehidupannya tanpa harus saling mengganggu. Tidak seperti umat kita yang banyak ribut karena persoalan-persoalan hilafiyah. Bahkan mereka rela saling toleran dalam mencari kehidupan, tidak seperti banyak petinggi negeri ini, yang telah melupakan rakyatnya karena kemewahan.
30 menit, metro mini sampai di kawasan Tenabang. Saya ingat kasus Tempo versus Tommy Winata. Saya pun membatin, inikah Tanah Abang yang konon rawan kriminalitas itu. Tak pusing, saya ingin banyak belajar tentang Jakarta, tak peduli harus kecopetan atau apa yang akan terjadi. Biarlah waktu berjalan sendiri.
Tanah Abang dalam sejarah
Memang, Tanah Abang kerap kukunjungi setiap saya ke kota Jakarta, tapi untuk mengatahui sejarah kota tua ini, baru kali ini tersugesti untuk mengetahui seluk beluk kesejarahannya. Dari sejumlah informan, kuperoleh banyak cerita, kalau nama Tanah Abang mulai disebut pada abad ke 17, yaitu pada waktu kota Batavia di serang oleh tentara Mataram.
Tahun 1628 tentara mataram mengepung Batavia dari seluruh penjuru dan menggunakan Tanah Abang sebagai pangkalan, yang merupakan tanah terbukti dan di sekitarnya banyak di genangan rawa. Dari tanahnya merah atau Abang dalam bahasa Jawa, maka lahirlah nama Tanah Abang yang berarti Tanah Merah. Saya kagum betapa panjang sejarah Tanah Abang ini.
Konon, wilayah Tanah Abang pada waktu itu merupakan daerah perkebunan teh, kacang, jahe, melati, sirih, dan lain-lain, yang sampai saat ini dijadikan nama suatu pemukiman di Jakarta Pusat.
Bangunan pusat grosir Tanah Abang dengan sejumlah pasar-pasar penyanggahnya yang kini terbangun megah, awal mulanya sangat sederhana, terdiri dari dinding bambu dan papan serta atap rumbia dari 229 papan dan 139 petak bambu. Itu sekelumit cerita kuperoleh di sana.
Seperti pengunjung Tenabang lainnya, Saya berbelanja sedikit keperluan untuk oleh-oleh mudik buat anak-istri di Sulawesi. Tapi sepanjang lama berjalan, diantara hiruk pikuk manusia, hati miris, menyaksikan panorama kehidupan disana. Pengemis, gelandangan, orang-orang cacat, preman hingga penipu menjadi tontonan ‘gratisku’. Jiwaku memelas dan berkata dalam hati “Inikah Indonesiaku?, tak adakah kehidupan layak buat mereka?”
Saya masih lugu dalam memandang realitas Jakarta. Tapi itulah kenyataan yang harus Saya hadapi. Saya hanya pun bertanya dalam hati. “Andai saja Pak Presiden SBY mau berjalan-jalan ke Tenabang tanpa pengawalan, seperti Saya layaknya, apakah Beliau masih punya rasa sama dengan Saya?. Ya!, kalaupun tidak bias memberi, cukuplah Beliau merasakan hal yang sama dengan apa yang Saya rasakan. Atau bila perlu, Pak SBY memberi perintah kepada Menteri-menterinya untuk sesekali berkutat dengan kepanasan dan kejengahan Tenabang. Saya yakin ini bisa dilakukan tanpa harus dikenali orang banyak. Saya teringat Presiden Iran Ahmadinejad, sosok Presiden sederhana yang pernah ada di alam modern ini. Mungkin saja, bila ia Presiden negeri ini, mungkin Beliau sudah sering ke Tenabang, tanpa dikenali di sana.
Bosan di Tenabang, saya temui seorang Polisi di sana. “Metromini 502 carinya di mana Pak?. “Sana” katanya dengan tunjukan tangan yang lurus. Polisi ini jujur, hanya beberapa menit metromini itu ketemukan. Seperti awalnya, Saya menikmati perjalanan menuju Cikini.
Tapi penghibur diperjalanan bukan lagi seorang pengamen. Kali ini ini seseorang ‘ahli pidato’ khas mubalik.. Sayangnya ia tak bersorban, sehingga dia tak layak disebut Ustadz. Hanya berkaos kumal dan bercelana pendek dekil. “Assalamu Alaikum…saudara-saudara, hidup ini sebuah misteri, hanya Allah yang tahu kapan berakhirnya. Saya mencari rezeki seperti saudara-saudara. Saya bukan pencopet dompet atau Ponsel Anda. Saya hanyalah manusia biasa yang berharap dari sedikit rezeki Anda. Saya hanya bisa berdoa, Ya Allah berikanlah kemudahan, berikanlah kemulyaan, berikanlah rezeki dan perlindungan kepada Saudara-saudara yang ada disini, semoga mereka selamat, keluarga mereka menanti…” begitu sedikit kutipan kalimat yang terekam di memori Saya.
Lelaki itupun berjalan, membuka kantong plastic dari sakunya, menebarkan kepada para penumpang, dengan berharap sekeping koin dari penumpang Tenabang-Cikini.
Sang Sopir tak bergeming, kalimat Kesimpulan Saya, “ow..ini sudah biasa di alam Jakarta”. Tapi Saya menangkap semua ini tidak akan berjalan dengan sendirinya tanpa ada ‘cinta’. Cinta karena keterpaksaan, ciinta karena tidak adanya kepedulian, Cinta karena ketimpangan.
Terima Kasih Ya Allah, Engkau menganugerahkan orang-orang ini, sebagai pelajaran ‘cintaku’ hari ini. (**)
Dipenghujung malam Cikini, 4 September 2010.