» » Melirik Indonesia dalam Bingkai Federasi

Melirik Indonesia dalam Bingkai Federasi

Penulis By on 19 June 2011 | No comments

Ketika masyarakat Indonesia yang bernaung dalam payung NKRI tak membuahkan kesejahteraan, ketika pemerintah pusat hanya mempertontonkan ketidakpedulian pada rakyat, dan ketika wakil rakyat hanya sibuk memperjuangkan kepentingan partai dan golongannya masing-masing, dan ketika daerah semakin jauh ditinggalkan Pusat, maka kajian dan konsep bernegara dalam payung negara kesatuan, perlu ditinjau kembali dan memikirkan pelbagai alternative konsep bernegara yang lebih subtantif pada upaya perwujudan nyata kesejahteraan rakyat. Salah satu opsi untuk itu adalah konsep negara federasi sebagaimana konsep bernegara sejumlah negara maju lainnya di dunia ini.

Pertanyaannya kemudian, apakah konsep federasi ini mengancam eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara? Kalaupun jawabannya ‘iya’, maka pertanyaan berikutnya adalah, mana lebih penting mempertahankan keutuhan NKRI tapi tidak tercipta kesejateraan atau rakyat semakin sejahtera dengan konsep federasi? Sebuah pilihan yang mungkin rumit kita pikirkan dalam sekejap, karena kecintaan kita akan sebuah negara yang bernama Republik Indonesia.


Tawaran Prof. Dr. Amin Rais di penghujung tahun 1999 tentang konsep negara federasi bagi Indonesia menarik untuk diperbincangkan kembali, seiring pola pikir masyarakat Indonesia yang semakin dinamis. Ini berarti system pemerintahan yang sentralistik dan semua kewenangan telah ‘diambil alih’ pemerintah pusat cenderung membuat jurang yang cukup lebar antara pusat dan daerah. Jakarta semakin maju, semakin egois, infrastruktur public-nya semakin lengkap, sementara daerah-daerah makin tertinggal, karena tidak adanya perimbangan antara pusat dan daerah.

Menariknya, terkadang kemiskinan dan ketertinggalan di daerah, pusat cenderung ‘mengkambing-hitamkan’ bila hal tersebut diakibatkan karena kepemimpinan di daerah yang koruptif plus masyarakatnya yang berpikir terlalu lokalistik, bahkan lebih ekstrim bila disebut ‘berwawasan sempit’. Boleh jadi ini hanyalah sebuah sindrom berlebihan dari pusat yang terlalu kenyang karena suplay daerah yang sangat besar. Kalaupun itu yang menjadi alasan pembenar bagi pusat, maka pertanyaannya, mana lebih koruptif pusat atau daerah?. Publiklah yang akan menilainya.

Otonomi Daerah Ternyata Bukan Panasea
Satu hal yang menjadi tawaran pemerintah pusat kepada daerah dalam hal menciptakan pemerataan dan kesejahteraan, adalah pemberlakuan system otonomi daerah, yang memberikan kewenangan yang ‘dinilai’ cukup luas bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Ternyata dalam perkembangannya, pun tidak memberikan hasil yang signifikan, dan banyak yang menilai justru menciptakan ‘raja-raja kecil’ di daerah. Kenapa hal itu terjadi? Karena kekuatan Kepala Daerah sebagai penyelenggara pemerintahan, tetap terikat dan diikat oleh system yang diciptakan oleh Pusat, sementara dalam mengatur internal daerah, pusat terkesan sangat kurang peduli dan lepas tangan, dan beban itu sepenuhnya diberikan kepada Kepala Daerah.

Contoh kongkrit. Ketika Kepala Daerah mengupayakan pembangunan infrastruktur pelayanan dasar di daerah, seperti pembangunan infrastruktur jalan raya, gedung sekolah, fasilitas kesehatan dan lain sebagainya, maka pusat sangat hati-hati (bila tak ingin disebut kurang merespon) mengeluarkan anggaran, akibatnya rakyatlah yang merasakan efek dari semua itu. Ketika rakyat menuntut percepatan, terkadang kepala daerah yang dinilai kurang respon mencermati dinamika yang terjadi pada masyarakatnya.

Ketidakpedulian pusat terhadap daerah sebenarnya bisa dikaji dalam bentuk kuantitatif. Seperti; seberapa banyak menteri telah menginjakkan kakinya di daerah-daerah saat ini? Apakah Presiden, telah mengunjungi semua kabupaten/kota di Indonesia? Kami yakin itu itu terjadi, paling banter di ibukota Provinsi. Padahal bila pejabat pusat turun dan mengenal dekat semua daerah-daerah tanpa terkecuali, maka yakinlah bila ‘denyut penderitaan’ masyarakat akan dirasakannya secara langsung. Media memang menjadi cara terdekat memantau kondisi daerah-daerah di seantero negeri, tetapi apa yang di tampilkan media tentu tidak secara utuh.

Itulah hal yang paling sederhana, dan menggambarkan bila otonomi daerah ternyata tidak menjadi obat (panasea) dalam upaya mewujudkan pemerataan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagaimana yang kita harapkan bersama ketika Otonomi di rumuskan sebagai cara jitu menciptakan kesejahteraan itu sendiri.

Bagaimana dengan Federasi?
Federasi adalah sebuah bentuk dan konsep bernegara dimana dalam pengertian modern, sebuah federasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana beberapa negara bagian bekerja sama dan membentuk negara kesatuan. Masing-masing negara bagian memiliki beberapa otonomi khusus dan pemerintahan pusat mengatur beberapa urusan yang dianggap nasional. Dalam sebuah federasi setiap negara bagian biasanya memiliki otonomi yang tinggi dan bisa mengatur pemerintahan dengan cukup bebas.

Ini berbeda dengan sebuah negara kesatuan, di mana biasanya hanya ada provinsi saja. Kelebihan sebuah negara kesatuan, ialah adanya keseragaman antar semua provinsi. Federasi mungkin multi-etnik, atau melingkup wilayah yang luas dari sebuah wilayah, meskipun keduanya bukan suatu keharusan. Federasi biasanya ditemukan dalam sebuah persetujuan awal antara beberapa negara bagian "sovereign". Bentuk pemerintahan atau struktur konstitusional ditemukan dalam federasi dikenal sebagai federalisme.

Terkadang, pemikiran banyak orang, bahwa Indonesia sulit untuk mewujudkan Negara federasi karena beberapa daerah-daerah di Indonesia sangat miskin, seperti NTT, Bengkulu dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, sehingga perlu ‘penyeragaman’ (kesatuan). Yang menjadi pertanyaan, apakah Timor-Timur ketika menjadi wilayah NKRI adalah daerah kaya? Kita tahu bersama bahwa suplay RI terhadap Tim-Tim saat itu sangat istimewa dibanding provinsi lainnya di Indonesia. Tetapi ketika wilayah ini menjadi negara tersendiri ‘Timor Leste juga mampu bertahan hingga saat ini, bahkan sejumlah fakta membuktikan bila Timor Leste hingga saat ini merasa bangga bisa sejajar dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Penulis berpendapat, apa yang pernah diusulkan Sultan Hamid II dari Kalimantan pada era pemerintahan Soekarno tentang negara federal dari RI, karena melihat Kalimantan akan jauh lebih makmur ketimbang Indonesia bila saat itu lahir sebagai Negara Berneo. Boleh jadi kegagalan Indonesia dengan system RIS di tahun 1950-an, hanya karena saat itu sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah. Lalu, boleh jadi separatis di Papua terus bergerak, karena mereka meyakini Papua jauh lebih makmur bila berdiri sendiri sebagai sebuah negara.

Lalu apakah kita masih tetap bertahan dengan konsep kesatuan di tengah kemiskinan kita? Nasionalisme kita memang telah mengalami pergeseran yang amat dahsyar, sebagai akibat kegagalan kita menciptakan kesejahteraan masyarakat di negara kita yang telah berusia lebih dari 60 tahun ini. Ada kekhawatiran, bila Indonesia yang puluhan tahun telah merdeka itu, akan ditinggal Timor Leste yang baru seumur jagung. Sungguh ironi.

Masihkah kita bertahan dengan hal seperti ini? Kalaupun kita tetap bertahan dalam bingkai NKRI, pemerintah pusat tak boleh lamban dalam menciptakan pemerataan pembangunan. Kami yakin, negeri ini sangat banyak memiliki uang dalam membangun negerinya. Sayangnya, hanya dikuasai pusat dan banyak digerogoti manusia-manusia bermental Gayus…(**)
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments