Seorang Mahatma Gandi mengapologikan politik itu sebagai Politics without Principle. Hal ini secara bebas dapat diartikan bahwa perilaku politisi yang tidak mempunyai prinsip yang memegang teguh nilai-nilai kebaikan umum, kebenaran dan kejujuran sehingga mereka semakin memperkuat pandangan negatif orang awam bahwa politik itu kotor lantaran pemainnya yang berlumpur dosa dan bukan politiknya.
Bertolak dari pikiran Gandi, orang yang mempunyai prinsip, pejabat yang memegang teguh prinsip dengan nurani maka output yang dihasilkan seharusnya progres untuk kepentingan poltiik kebangsaan yang bermartabat. Belajar prinsip, etika, atau moral pejabat tidak perlu mahal dan jauh ke Yunani.di bagian terkecil bangsa ini penuh dengan ayat-ayat moralitas dan kebajikan.
Kutipan kalimat-kalimat di atas, baru kuketahui setelah menganjak usia dewasa. Sejak kecil, Saya kerap kali bermimpi dan bercita-cita jadi Menteri Negara..Saya tak pernah bermimpi menjadi seorang Presiden, entah karena apa, tapi logisnya sebagai orang yang berasal dari ’luar Jawa’ subliminal perception Saya memang mengatakan bila Saya tak bisa merebut itu. Memang, Habibie, Obama telah membantah mitos-mitos politik bahwa Presiden hanya milik kalangan tertentu, tapi Saya yakin hingga umur terkubur, kata Presiden itu hanya ada di alam luar sana. Mungkin Anda tidak!
Tapi sungguh disayangkan, jalan untuk menjadi seorang Menteri Negara sekalipun tidak segampang meminta mimpi dalam tidur. Iklim politik Indonesia yang terkoptasi pada lingkaran tertentu, dan Saya ’jauh panggang dari api’ cukup hanya menjadi sebuah mimpi, apalagi melihat latar belakang dengan sebuah pertanyaan ’Siapa Saya? Mengendorkan semangat meski juga semangat mimpi’ Tapi Saya percaya dengan sebait kalimat motivasi, ”Siapa yang menginginkan sesuatu dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan, maka energi positif itu akan mengarah kepadanya” begitu teori the secreet berpendapat.
Ibarat mimpi adalah anak panah, Saya berharap anak panah itu menghujam kepadaku, namun sebelum menembus dada dan jantung, akan kutangkap anak panah itu, lalu kugemgam erat, dan kuberkata..”Cita-cita tidak datang untuk membunuh, cita-cita adalah harapan, dipakai untuk kemaslahatan orang banyak, dan menjadi senjata tak kala rakyat terkekang dalam kemiskinannya..”
Puluhan tahun silam, Saya terlahir di atas tikar pandan di sebuah desa di Pinrang, Sulsel sana, dari seorang Ayah dan Ibu yang tak punya mata rantai kekayaan dunia. Mereka hidup bagai nomaden yang berpindah dari satu kampung-kekampung lainnya, Pinrang, Pangkep, Parepare, hingga Kolaka di Sulawesi Tenggara. Namun, hingga sekarang Saya tak pernah tahu apa mimpi orang tua pada Saya. Mungkin beliau takut bermimpi, sebab ia hanya seorang buruh harian yang mengais kehidupan dari kerja otot yang terperikan. Tapi ia hanya bisa tersenyum ketika mendengar kabar kalau, anaknya kini berada di Jakarta, memasuki sebuah gerbang kehidupan baru, mengais mimpi, meretas jalan panjang. Sang Ayah pun berkata ”Jangan ikutkan mimpimu, sebab mimpimu itu ibarat anak panah, berhati-hatilah!”.
Pesan Sang Ayah bagiku juga sebuah bongkahan batu yang harus kuangkat dengan jemari lemah milikku. Saya sadar, membuka jalan itu menunggu sebuah mujizat. Sebab perangkat menuju mimpi itu bagai tembok dari baja, yang menghalangi pandangan, kokoh berdenting. Tembok-tembok itu adalah ke-partai-an, jaringan istana, dollar, trick licik, dan kepopuleran.Saya belum punya itu semua!.
Tetapi bagiku, apa yang kualami hari ini, juga berangkat dari sebuah mimpi. Menjadi seorang Magister di ibukota negara yang kuretas hari ini, pun bagi sebagaian besar keluargaku masih sebuah tanda tanya. Mereka berkata dan bertanya. Benarkah? Apa tidak salah? Kenapa Kamu di sana? Saya mahfum dengan keheranan itu, sebab mereka tahu kelamnya masa silam. Bagi mereka, hidup damai, berkeluarga, punya anak, kerjaan yang menetap, sudah cukup. Pesan ini sungguh sebuah kemulyaan, ditengah filsafat berpolitik negeri ini yang kurang sehat.
Maaf! Saya masih meretas mimpi itu. Kini kuberada di depan gerbang kokoh dan berharap ada kunci untuk membukanya. Saya akan kembali, bila anak panah itu ada dalam genggaman. Kalaupun tak meraih mimpi itu, akan kuserahkan pada anak-anakku, dan Saya berkata, ”Ambillah anak panah ini Nak, lecutkan pada busur keadilanmu, jangan arahkan pada nyawa-nyawa yang tak berdosa. Lewat anak panahmu, simpanlah emas dipucuknya, arahkan pada rakyat miskin bangsamu, peluklah mereka dalam kehangatan kepemimpinanmu, tahtakan hatimu pada cita dan keluhuran negerimu. Bermimpilah Nak! Seperti mimpi Ayahmu. Rengkulah mimpimu bersama ibadahmu, dan sampaikan pesan Ayah pada bangsamu kelak, bila hari ini adalah hari baik bagi kita.
Jakarta, Ahad 19 Juni 2011
Bertolak dari pikiran Gandi, orang yang mempunyai prinsip, pejabat yang memegang teguh prinsip dengan nurani maka output yang dihasilkan seharusnya progres untuk kepentingan poltiik kebangsaan yang bermartabat. Belajar prinsip, etika, atau moral pejabat tidak perlu mahal dan jauh ke Yunani.di bagian terkecil bangsa ini penuh dengan ayat-ayat moralitas dan kebajikan.
Kutipan kalimat-kalimat di atas, baru kuketahui setelah menganjak usia dewasa. Sejak kecil, Saya kerap kali bermimpi dan bercita-cita jadi Menteri Negara..Saya tak pernah bermimpi menjadi seorang Presiden, entah karena apa, tapi logisnya sebagai orang yang berasal dari ’luar Jawa’ subliminal perception Saya memang mengatakan bila Saya tak bisa merebut itu. Memang, Habibie, Obama telah membantah mitos-mitos politik bahwa Presiden hanya milik kalangan tertentu, tapi Saya yakin hingga umur terkubur, kata Presiden itu hanya ada di alam luar sana. Mungkin Anda tidak!
Tapi sungguh disayangkan, jalan untuk menjadi seorang Menteri Negara sekalipun tidak segampang meminta mimpi dalam tidur. Iklim politik Indonesia yang terkoptasi pada lingkaran tertentu, dan Saya ’jauh panggang dari api’ cukup hanya menjadi sebuah mimpi, apalagi melihat latar belakang dengan sebuah pertanyaan ’Siapa Saya? Mengendorkan semangat meski juga semangat mimpi’ Tapi Saya percaya dengan sebait kalimat motivasi, ”Siapa yang menginginkan sesuatu dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan, maka energi positif itu akan mengarah kepadanya” begitu teori the secreet berpendapat.
Ibarat mimpi adalah anak panah, Saya berharap anak panah itu menghujam kepadaku, namun sebelum menembus dada dan jantung, akan kutangkap anak panah itu, lalu kugemgam erat, dan kuberkata..”Cita-cita tidak datang untuk membunuh, cita-cita adalah harapan, dipakai untuk kemaslahatan orang banyak, dan menjadi senjata tak kala rakyat terkekang dalam kemiskinannya..”
Puluhan tahun silam, Saya terlahir di atas tikar pandan di sebuah desa di Pinrang, Sulsel sana, dari seorang Ayah dan Ibu yang tak punya mata rantai kekayaan dunia. Mereka hidup bagai nomaden yang berpindah dari satu kampung-kekampung lainnya, Pinrang, Pangkep, Parepare, hingga Kolaka di Sulawesi Tenggara. Namun, hingga sekarang Saya tak pernah tahu apa mimpi orang tua pada Saya. Mungkin beliau takut bermimpi, sebab ia hanya seorang buruh harian yang mengais kehidupan dari kerja otot yang terperikan. Tapi ia hanya bisa tersenyum ketika mendengar kabar kalau, anaknya kini berada di Jakarta, memasuki sebuah gerbang kehidupan baru, mengais mimpi, meretas jalan panjang. Sang Ayah pun berkata ”Jangan ikutkan mimpimu, sebab mimpimu itu ibarat anak panah, berhati-hatilah!”.
Pesan Sang Ayah bagiku juga sebuah bongkahan batu yang harus kuangkat dengan jemari lemah milikku. Saya sadar, membuka jalan itu menunggu sebuah mujizat. Sebab perangkat menuju mimpi itu bagai tembok dari baja, yang menghalangi pandangan, kokoh berdenting. Tembok-tembok itu adalah ke-partai-an, jaringan istana, dollar, trick licik, dan kepopuleran.Saya belum punya itu semua!.
Tetapi bagiku, apa yang kualami hari ini, juga berangkat dari sebuah mimpi. Menjadi seorang Magister di ibukota negara yang kuretas hari ini, pun bagi sebagaian besar keluargaku masih sebuah tanda tanya. Mereka berkata dan bertanya. Benarkah? Apa tidak salah? Kenapa Kamu di sana? Saya mahfum dengan keheranan itu, sebab mereka tahu kelamnya masa silam. Bagi mereka, hidup damai, berkeluarga, punya anak, kerjaan yang menetap, sudah cukup. Pesan ini sungguh sebuah kemulyaan, ditengah filsafat berpolitik negeri ini yang kurang sehat.
Maaf! Saya masih meretas mimpi itu. Kini kuberada di depan gerbang kokoh dan berharap ada kunci untuk membukanya. Saya akan kembali, bila anak panah itu ada dalam genggaman. Kalaupun tak meraih mimpi itu, akan kuserahkan pada anak-anakku, dan Saya berkata, ”Ambillah anak panah ini Nak, lecutkan pada busur keadilanmu, jangan arahkan pada nyawa-nyawa yang tak berdosa. Lewat anak panahmu, simpanlah emas dipucuknya, arahkan pada rakyat miskin bangsamu, peluklah mereka dalam kehangatan kepemimpinanmu, tahtakan hatimu pada cita dan keluhuran negerimu. Bermimpilah Nak! Seperti mimpi Ayahmu. Rengkulah mimpimu bersama ibadahmu, dan sampaikan pesan Ayah pada bangsamu kelak, bila hari ini adalah hari baik bagi kita.
Jakarta, Ahad 19 Juni 2011