1.Etika Teleologis
Etika Aristoteles adalah etika teleologis, yakni etika yang mengukur benar/salahnya tindakan manusia dari menunjang tidaknya tindakan tersebut ke arah pencapaian tujuan (telos) akhir yang ditetapkan sebagai tujuan hidup manusia. Setiap tindakan menurut Aristoteles diarahkan pada suatu tujuan, yakni pada yang baik (agathos). Yang baik adalah apa yang secara kodrati menjadi arah tujuan akhir (causa finalis) adanya sesuatu. Pertanyaan pokok suatu teori moral (sebagaimana juga dimengerti oleh Sokrates dan Plato) adalah manakah yang baik yang menjadi tujuan akhir hidup manusia dengan segala kegiatannya. Yang baik yang menjadi tujuan akhir hidup manusia menurut dia adalah kebahagiaan atau kesejahteraan (eudaimonia). Itulah sebabnya teori etikanya sering disebut sebagai teori etika Eudaimonisme.
Aristoteles sadar bahwa ada banyak pendapat tentang apa yang membahagiakan: ada yang menganggap itu kenikmatan, kekayaan, kekuasaan. Masalahnya sekarang adalah bukannya apa yang senyatanya dicari manusia sebagai yang dianggap membahagiakan, melainkan apa yang semestinya menjadi tujuan hidup manusia. Adakah manusia punya tujuan yang paling pokok untuk mana tujuan-tujuan yang lain diarahkan? Kalau ini diketahui, maka, menurut Aristoteles, inilah yang menjadi tujuan akhir setiap tindakan manusia dan yang akan memberi kebahagiaan sejati untuknya.
2. Etika pengembangan diri sesuai dengan kodratnya
Etika Aristoteles merupakan etika pengembangan diri, karena kebahagiaan (eudaimonia) yang menjadi tujuan hidup manusia tercapai kalau manusia mengembangkan dirinya secara penuh sesuai dengan kodratnya. Kodrat di sini dimaksudkan dalam arti metafisis, yakni apa yang menjadi hakikat keberadaan manusia. Untuk mengenal apa yang menjadi kodrat atau hakikat keberadaan sesuatu, Aristoteles melihat fungsi operasional (ergon) yang khas pada pengada tersebut. Finalitas atau keterarahan pada tujuan akhir suatu pengada bagi Aristoteles merupakan suatu gagasan yang sentral untuk etikanya, karena menurut dia kodrat setiap pengada mengarah pada tujuan akhirnya. Kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia baru tercapai kalau manusia hidup sesuai dengan ergon-nya yang khas. Untuk menetapkan apa itu kebahagiaan bagi manusia perlulah ia mengerti apa yang menjadi tujuan akhir kodrat keberadaannya sebagai manusia.
Mengikuti Plato, Aristoteles melihat manusia terdiri dari badan dan jiwa. Kendati lain dengan Plato, gurunya, yang memandang badan manusia sebagai penjara jiwa, Aristoteles, yang menekankan kesatuan jiwa-badan manusia sebagai kesatuan forma (dhat) dan materi (wujud), tetap mengikuti Plato dalam berpendapat bahwa hakikat manusia terletak dalam jiwanya. Jiwa menurut dia terdiri dari dua unsur, yakni yang rasional dan yang takrasional. Unsur yang rasional dapat ada lepas dari badan; dan ini masih dibedakan lagi menjadi aspek jiwa rasional yang dia sebut sebagai akal budi teoretis (theoretike dianoia) dan akal budi praktis (to praktikon dianoetikon). Unsur yang takrasional sangat erat berkaitan dengan badan, dan dia bagikan menjadi bagian yang berkaitan dengan dorongan untuk mencari makan, bertumbuh dan berreproduksi dan bagian yang menyangkut dorongan-dorongan spontan. Dorongan-dorongan spontan ini masih dia bagikan lagi menjadi tiga golongan: (a) dorongan nafsu kedagingan (epithumia), (b) emosi/impulses (thumos), dan (c) keinginan yang bisa sesuai dengan penentuan akal budi (boulesis).
Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, jiwa manusia mempunyai aspek vegetatif seperti halnya tumbuh-tumbuhan, dan mempunyai aspek sensitif seperti halnya binatang. Yang khas untuk manusia adalah aspek rasional dari kejiwaannya. Kalau yang menjadi kekhasan manusia adalah aspek rasional kejiwaannya, maka ergon manusia mesti bersangkutan dengan aspek ini. Manusia mencapai kebahagiaannya yang sejati kalau ia mengembangkan apa yang paling luhur dalam dirinya, yakni akal budinya. Unsur pertama dan utama kebahagiaan dalam pandangan Aristoteles adalah kebijaksanaan. Hidup yang sempurna baginya adalah hidup teoretis (kontemplasi kebenaran-kebenaran abadi). Kebahagiaan yang sejati itu bersifat “final”, “cukup-diri”, dan merupakan tujuan akhir tindakan.[1]
Bahwa untuk Aristoteles kegiatan intelektual merupakan kegiatan yang membahagiakan, misalnya kita ketahui dari apa yang dia nyatakan pada Etika Nikomakea X,7 (1178a5): “apa yang sesuai dengan setiap hal adalah apa yang secara alami paling baik dan paling menyenangkan untuknya; maka, untuk manusia, hidup sesuai dengan akalbudi adalah yang paling baik dan paling menyenangkan, karena lebih dari apa pun yang lain, akalbudilah yang secara khas menandai manusia. Oleh karena itu hidup yang mengembangkan akalbudi adalah hidup yang paling membahagiakan untuk manusia.”[2]
Unsur kedua yang ada dalam kebahagiaan menurut Aristoteles adalah hidup berkeutamaan. “Namun dalam derajat yang kedua, hidup sesuai dengan jenis keutamaan lain itu membahagiakan, karena aktivitas selaras dengan ini memang sesuai dengan kodrat kemanusiaan. Tindakan yang adil dan berani, dan tindakan-tindakan berkeutamaan yang lain, kita lakukan dalam hubungan satu sama lain, kita melaksanakan kewajiban kita masing-masing berkaitan dengan kontrak, pelayanan dan semua cara bertindak serta dalam hubungan dengan hal-hal yang harus kita tanggung.” [EN X,8 (1178a10)][3] Unsur ketiga dalam kebahagiaan adalah kenikmatan atau rasa senang. Bagi Aristoteles kenikmatan atau rasa senang merupakan buah hasil hidup berkeutamaan. Orang baik juga senang hidupnya.
Selain ketiga unsur dalam batin, menurut Aristoteles kebahagiaan juga mengandung unsur lain seperti adanya sahabat (orang yang tidak punya sahabat hidupnya tidak bahagia), adanya kesehatan (orang yang sakit-sakitan tidak bahagia), adanya kekayaan (orang yang hidup kekurangan tidak bahagia), adanya nasib baik atau keberuntungan.
3. Etika Keutamaan
Etika Aristoteles, lain dengan etika yang biasa disebut sebagai etika kewajiban (seperti etika Kant misalnya), adalah etika keutamaan. Hidup baik adalah hidup sesuai dengan keutamaan yang masih ia bedakan menjadi keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Dari segi moral, suatu tindakan secara objektif dinilai berkeutamaan (virtuous) oleh Aristoteles kalau itu merupakan kegiatan yang diatur oleh akal budi sesuai dengan prinsip kebijaksanaan jalan tengah/“the rule of the just middle” (mesotes), yakni menghindarkan ekstrem terlalu banyak di satu pihak dan ekstrem terlalu kurang di lain pihak. Keutamaan keberanian misalnya terletak antara kenekadan di satu pihak dan menjadi pengecut di lain pihak.
Keutamaan secara subjektif mengalir dari disposisi pribadi yang sesuai dengan penentuan akal budi atau kebiasaan (hexis) berbuat baik. Bagi Aristoteles suatu tindakan baik yang belum mengalir secara alami, tetapi masih melalui suatu pergulatan batin melawan berbagai macam godaan, adalah suatu tanda bahwa si pelaku sesungguhnya belum memiliki keutamaan moral; dorongan-dorongan takrasionalnya belum berhasil dikendalikan oleh akal budi. Tindakan yang berkeutamaan menurut Aristoteles juga merupakan tindakan yang didorong oleh suatu intensi/maksud yang murni. Kalau dirumuskan secara singkat dan padat, tindakan berkeutamaan bagi Aristoteles adalah tindakan yang sudah diperhitungkan secara nalar mengikuti prinsip kebijaksanaan jalan tengah dan dimotivasikan oleh suatu maksud yang murni serta keluar dari suatu disposisi yang tepat dan tetap atau kebiasaan berbuat baik sebagai hasil praktek yang sudah berulang kali.
Karena perhitungan nalar merupakan suatu hal yang sentral dalam pengertian Aristoteles tentang keutamaan moral, induk keutamaan baginya adalah kebijaksaan praktis (phronesis). Kebijaksanaan praktis mengandaikan suatu pengetahuan kebenaran berkenaan dengan nilai intrinsik tindakan yang akan dilakukan dan berkenaan dengan sarana yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah disadari sebagai baik. Kebijaksanaan praktis itu dimiliki oleh orang-orang yang hidup berkeutamaan (Jawa: wong utomo). Kalau kita mau tahu mana tindakan yang secara moral tepat kita bisa bertanya pada atau belajar dari orang yang hidup berkeutamaan.
Beberapa kritik atas etika Aristoteles
1.Bersifat egoistik
Eudaimonisme Aristoteles sebagai etika pengembangan diri dapat dikatakan masih bersifat egoistik. Perspektif kegiatan masih berpusat pada kebahagiaan diri sendiri. Seperti ditulis oleh Jacques Maritain: “Lepas dari semua [yang baik yang terkandung di dalamnya], ajaran moral Aristoteles pada akhirnya meninggaokan kita terkurung dalam cinta diri. Adalah kebaikanku yang aku cintai dan kehendaki dalam mencintai dan menghendaki Kebahagiaan sebagai Kebaikan tertinggi yang amat dicintai. Itu berarti Kebaikan yang dilihat secara subjektif, Kebaikan sebagai suatu kesempurnaan diri dan suatu gema di dalam diri, atau sebagai suatu kepenuhan hidup manusia. … Adalah mustahil bagi etika Aristoteles untuk lepas dari dekapan diri, dari sejenis egoisme transendental. Dakan perspektif moral Kebahagiaan sebagai Kebaikan tertinggi, aku tidak dapat membebaskan diriku; aku tidak pernah dapat membebaskan diri dari cinta diri yang egoistik. Padahal, akhirnya justru pembebasan macam itu yang [sesungguhnya] kita dambakan.”“[4]
Karena Aristoteles menyamakan kebaikan yang tertinggi (the supreme good) dengan kebahagiaan, dan kebahagiaan ini dimengerti sesuai dengan apa yang cocok dan diingini oleh subjek pelaku, maka etika Aristoteles tidak bisa menerangkan bahwa nilai kebaikan lebih tinggi dari pada nilai kebahagiaan. Kebahagiaan sesungguhnya lebih sebagai anugerah kebaikan dari pada kebaikan itu sendiri. Demi cita-cita mengejar yang baik, orang tidak pertama-tama mengejar kebahagiaan, melainkan mengerjakan apa yang memang disadari sebagai tindakan yang baik.
Sebagaimana dicatat oleh Dr. Magnis-Suseno, kebahagiaan dan pengembangan diri sejati baru tercapai justru kalau orang bisa “melepaskan diri.” Manusia justru tidak berkembang dan tidak akan bahagia kalau perkembangan dirinya sendiri atau kebahagiaannya menjadi obsesi pemikiran dan perhatiannya. “Perkembangan kita semakin terjadi semakin kita merelakan diri, termasuk perkem-bangan diri, demi tanggung jawab kita. Kita akan berkembang apabila kita menomorduakan kita demi manusia-manusia yang dipercayakan kepada kita atau yang berada bersama kita di perjalanan, demi tugas yang dibebankan kepada kita, pokoknya demi apa yang bernilai pada dirinya sendiri dan bukan hanya bernilai sebagai sarana bagi perkembangan atau kepentingan kita sendiri. Orang yang selalu mencari diri sendiri tidak akan menemukan diri, sedangkan orang yang melupakan diri semi suatu tugas, demi orang lain, demi cita-citanya dialah yang akan menemukan diri.”[5]
2. Etika yang manusiawi dan duniawi
Lain dengan Plato, yang berpendapat bahwa Yang Baik sebagai tujuan hidup moral merupakan sesuatu yang bersifat transenden atau adiduniawi, Aristoteles memandangnya sebagai sesuatu yang bersifat imanen atau duniawi. Eudaimonia atau kebahagiaan sebagai tujuan hidup moral, bagi Aristoteles, merupakan sesuatu yang dapat dicapai di dunia ini, karena merupakan sesuatu yang immanen dalam kegiatan manusia sendiri. Tujuan ganda, yakni kontemplasi kebenaran abadi dan keutamaan moral baginya merupakan pencapaian sesuatu yang paling baik pada manusia. Betul bahwa dia menganggap kegiatan kontemplasi kebenaran abadi sebagai kegiatan yang bersifat ilahi dan hanya mampu dilakukan oleh kelompok tertentu, namun tetap ini sesuatu yang bisa dicapai oleh manusia dari kekuatannya sendiri. Keutamaan moral merupakan pemenuhan keluhuran dan keunggulan jiwa manusia. Kontemplasi dalam pemikiran Aristoteles tidak berarti pertemuan atau persatuan dengan sesuatu di luar atau di atas manusia, melainkan pemenuhan bakat/kemampuan manusia yang paling tinggi, kemampuannya untuk melakukan kegiatan yang sifatnya mencukupi pada dirinya sendiri (self-sufficient).
3. Etika yang elitis dan aristokratis
Dalam etika Aristoteles, dan kiranya berlaku juga pada etika Yunani pada umumnya, manusia terutama dilihat sebagai makhluk berakalbudi yang dapat dikuasai oleh dorongan-dorongannya yang takrasional. Masalah pokok etika lalu menjadi usaha untuk mengendalikan dorongan-dorongan tersebut dan bagaimana mendidik dan meningkatkan kegiatan intelektual manusia. Kegiatan kontemplasi filosofis atas kebenaran abadi (kegiatan spekulatif) dijunjung tinggi sebagai kegiatan yang perlu dituju dalam dirinya sendiri dan tindakan yang self-sufficient. Ini jelas merupakan bias pandangannya yang bersifat elitis dan aristokratis dan tidak dapat dinyatakan sebagai tujuan hidup yang berlaku untuk setiap manusia di mana saja dan kapan saja. Kegiatan kontemplasi yang mengandaikan suatu self-sufficiency bisa terjadi hanya kalau ada orang lain yang berkerja untuk mereka, sehingga mereka tidak direpotkan oleh keharusan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Dalam konteks ini tidak mengherankan bahwa Aristoteles membenarkan adanya perbudakan (dengan alasan bahwa ada orang yang dari kodratnya dilahirkan menjadi budak dan ada yang jadi tuan).
2. Etika Hukum Kodrat Thomas Aquinas
2.1. Latar belakang sejarah faham hukum kodrat
Thomas Aquinas, filsof dan teolog besar Abad Pertengahan, bukanlah orang pertama yang merumuskan ajaran tentang hukum kodrat. Gagasan hukum kodrat sebagai “ketetapan ilahi yang tidak tertulis dan tak tergagalkan” sudah termuat misalnya dalam drama tragedi Sophocles yang berjudul Antigone. Atas dsar gagasan itu maka Antigone berani menentang ketetapan raja Creon yang melarang dia untuk mengadakan upacara penguburan jenasah kakak lelakinya yang oleh Creon dianggap sebagai pengkianat negara.
Perumusan sistematis pertama atas ajaran hukum kodrat dilakukan oleh mashab Stoa dengan semboyan mereka yang terkenal yakni “hidup sesuai dengan kodrat.” Ajaran mashab Stoa dipopulerkan oleh Cicero. Dalam perkembangan kemudian, para ahli hukum Romawi, melalui St. Isidorus dari Sevilla sampai para ahli hukum kanonik dan teolog abad pertengahan, mencoba untuk merumuskan, masing-masing dengan pandangan mereka yang berbeda, apa yang menjadi inti hukum kodrat. Di antara para ahli hukum, istilah hukum kodrat sering dikaitkan dengan hak kodrati. Ulpianus membuat pembedaan antara hukum kodrat (lex naturalis) yang berlaku untuk binatang dan hukum manusia (jus gentium) untuk manusia, serta hukum sipil (lex civilis) yang khusus untuk warganegara Roma. Kalau Gratianus merumuskan hukum kodrat sebagai “apa yang yang terkandung dalam hukum dan Injil” (quod in lege et Evangelico continetur), Alexander dari Hales dan St. Albertus Agung memandang hukum kodrat sebagai keutamaan yang dibiasakan (habitus). Singkat kata, pada abad pertengahan, di kala St. Thomas bermaksud merumuskan gagasan pokok ajaran hukum kodrat, gagasan tersebut masih cukup kabur dan menunggu usaha perumusan.
Dalam sejarah umat manusia, merupakan jasa Thomas Aquinas bahwa ia berhasil merumuskan secara saksama ajaran hukum kodrat untuk mengembangkan suatu teori etika yang termasuk paling besar pengaruhnya dalam filsafat Barat dan dalam teologi moral Kristiani. Aquinas berhasil untuk menggabungkan keyakinan etika teonom (bahwa manusia menemukan aturan hidupnya dalam kepatuhan terhadap kehendak Allah) dengan eudaimonisme Aristoteles yang menunjukkan bahwa hidup yang baik membawa manusia kepada kebahagiaan. Teori hukum kodrat kemudian menjadi etika resmi Gereja Katolik. Tidak sedikit para ahli hukum yang melihat teori hukum kodrat sebagai dasar yang kokoh untuk membela dan memperjuangkan nilai hak asasi manusia. Hukum kodrat (natural law) adalah dasar adanya hak kodrati (natural right). Hukum manusiawi hanya mengikat kalau itu merupakan ungkapan benar hukum kodrat.
2.2. Teori hukum kodrat Aquinas dan Eudaimonisme Aristoteles
Teori etika hukum kodrat Thomas Aquinas erat berkaitan dengan teori etika eudaimonisme Aristoteles. Dalam arti tertentu dapat dikatakan bahwa Aquinas mengambil alih struktur dasar eudaimonisme Aristoteles. Sebagaimana Aristoteles, Aquinas juga memandang pengembangan diri manusia dengan “hidup sesuai dengan kodratnya” sebagai sarana utama mencapai kebahagiaan. Pokok perbedaan antara keduanya adalah bahwa Aquinas memasukkan unsur dasariah Allah Pencipta sebagai Dasar dan Sumber adanya manusia dan seluruh alam semesta, unsur “habitus” dan hatinurani sebagai unsur-unsur yang hakiki dalam hidup moral.
Teori etika hukum kodrat Aquinas mengatasi eudaimonisme Aristoteles dalam dua hal: (1) Aquinas menghubungkan pengertian ‘kodrat manusia’ dengan kehendak Allah sang Pencipta. Kodrat manusia, yang berkat akalbudinya bisa ambilbagian dalam kebijaksanaan Allah, bila diikuti maka akan membawa ke tujuan akhir manusia diciptakan. Orang yang hidup sesuai dengan kodrat kemanu-siaannya tidak hanya bijaksana, melainkan sekaligus juga memenuhi kehendak Allah. Di sini panggilan hidup manusia untuk mengembangkan diri secara penuh mendapat bobot yang lebih besar, yakni bahwa dengan itu manusia juga memenuhi rencana Penciptanya. (2) Menurut Aquinas, Yang Baik tidak bisa disamakan begitu saja dengan kebahagiaan dan baginya kebahagiaan, sebagai tujuan akhir manusia, tidak terletak dalam dunia ini melainkan baru tercapai apabila manusia, sesudah kematiannya, diperkenankan memandang wajah Allah (visio beatifica). Oleh karena itu kebahagiaan di dunia–yang menurut Aristoteles pun paling-paling dapat didekati tetapi tidak dapat tercapai sungguh-sungguh–hanya bernilai relatif, yakni sejauh mengantar manusia kepada Allah. Dengan ini teori etika hukum kodrat membuka kemungkinan untuk memahami bahwa suatu hidup dengan merelakan kepentingan sendiri, dengan berkurban demi sesama bisa merupakan hidup yang berhasil.
2.3. Pokok-pokok ajaran etika hukum kodrat
Ajaran etika hukum kodrat Thomas Aquinas bisa ditemukan dalam bagian I-II (Prima Secundae) bukunya Summa Theologica dan dalam bagian III bukunya Summa Contra Gentiles. Dalam I-II ST q. 90-97 pembicaraan tentang hukum kodrat termasuk dalam bab pembicaraan tentang hukum yang ia definisikan sebagai pengaturan akalbudi yang ditujukan untuk menjamin kesejahteraan umum dan dimaklumkan oleh pihak yang berwenang serta punya perhatian terhadap masyarakat. Ia membedakan 3 macam hukum: (1) hukum abadi (lex aeterna); (2) hukum kodrat (lex naturalis); (3) hukum positif atau hukum manusia (lex humana).
Lex Aeterna tidak lain adalah Kebijaksanaan Allah sendiri yang menciptakan manusia karena Ia menghendaki agar manusia itu ada; kehendak penciptaan itu menjadi dasar hakekat atau kodrat semua ciptaan: manusia dan ciptaannya seluruhnya berkodrat sebagaimana mereka ada, karena itulah yang dikehendaki oleh Pencipta. Jadi Kebijaksanaan Allah sebagai yang menciptakan adalah hukum yang menentukan bahwa kita ini ada dan bagaimana kita ini ada.
Lex Naturalis adalah kodrat atau hakekat segala ciptaan sejauh menjadi aturan atau norma bagi cara manusia mewujudkan kehidupannya. Setiap manusia, sebagai makhluk yang berakalbudi, mempunyai pengetahuan kodrati tentang kodratnya sendiri dan dorongan-dorongan kodrati yang ditanamkan oleh Allah Penciptanya. Kodrat manusia adalah hukum yang digoreskan dalam hati dan budi setiap insan. Kewajiban ontologis manusia untuk melakukan yang baik dan menghindarkan yang jahat datang dari keterarahan ontologis kodrat manusia. Manusia sebagaimana semua makhluk lainnya secara niscaya terarah pada Yang Baik, yakni Allah sendiri, sebagai asal mula dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Hukum kodrat ada dan berfungsi dalam keterarahan dinamis manusia pada tujuan semestinya.
Karena segala sesuatu yang ada diatur dan diukur oleh kebijaksanaan ilahi dalam hukum abadi, dalam arti tertentu semua ciptaan ambil bagian dalam hukum abadi. Berkat cap hukum abadi segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah punya kecenderungan kodrati ke arah tujuan mereka yang semestinya. Kekhususan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan berkehendak bebas adalah bahwa ia ambil bagian secara khas dalam hukum abadi. Ia bisa mengetahui Yang Baik sebagai tujuan segenap ciptaan dan bisa menghayati kebebasan (eksistensial)nya untuk mengarahkan diri dan yang lain ke arah tujuan yang terakhir. Manusia dapat memilih mana di antara nilai-nilai yang ada di dunia ini yang membawa ke tujuannya yang terakhir. Manusia dapat menentukan sendiri bagaimana ia semestinya bertindak. Karena kebebasan ini manusia dapat pula bertindak melawan kodratnya sendiri. Hukum kodrat bagi manusia merupakan norma yang wajib ditaati, karena di situ lah kehendak sang Pencipta bisa dibaca. Karena kodrat setiap makhluk merupakan perwujudan kebijaksanaan sang Pencipta, maka kodrat mencerminkan kehendak Allah Sang Pencipta. Hidup sesuai dengan kodrat berarti hidup sesuai dengan kehendak Allah.
Lex Humana adalah sebutan bagi segala macam hukum, peraturan, adat-istiadat dsb. yang ditentukan oleh manusia sendiri untuk menata kehidupan bersama. Hukum positif atau hukum manusia ini hanyalah syah dan punya daya mengikat bagi warga masyarakat apabila sesuai dengan hukum kodrat. Hubungan antara hukum positif dengan hukum kodrat merupakan masalah penting dalam filsafat hukum.
Hukum kodrat mencerminkan keluhuran pribadi manusia, karena dalam faham ini manusia dipandang sebagai bisa mengetahui tata moral; ia bisa tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Pengertian teologis ‘dosa asal’ tidak dianggap sebagai yang merusak sepenuhnya seluruh kodrat ciptaan. Dalam terang akalbudi kodratinya, manusia dapat menangkap tatasusunan ontologis dari kodratnya yang menegaskan suatu kewajiban moral yang bersifat batin dan pribadi. Teori hukum kodrat juga mengungkapkan suatu kepercayaan yang mendalam terhadap kodrat manusia. Berbeda dengan Immanuel Kant yang menganggap kecenderungan-kecenderungan kodrati manusia pada dasarnya bertentangan dengan akal, Thomas Aquinas menganggap kecenderungan-kecenderungan kodrati manusia pada dasarnya baik. Ia tidak mengingkari bahwa kecenderungan-kecenderungan itu perlu dikendalikan dan diarahkan oleh akalbudi. Namun kecenderungan-kecenderungan kodrati itu merupakan bagian hakiki dari hidup moral dan bukan sekedar hal yang perlu ditekan. Kecende-rungan kodrati memberi dorongan pertama dan bahan pertimbangan akalbudi. Perincian umum pertama hukum kodrat diungkapkan melalui dorongan-dorongan dasar kodrat manusia.
Thomas Aquinas, mengikuti Aristoteles, membedakan tiga tingkat dorongan-dorongan dasar kodrati manusia: (1) sebagai makhluk yang ada manusia cenderung untuk mempertahankan kebe-radaannya; (2) sebagai makhluk yang termasuk jenis binatang, manusia cenderung untuk mencari makan dan membuat keturunan; (3) sebagai makhluk berakalbudi, manusia cenderung untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbudaya, dan berkeutamaan.
Isi pokok hukum kodrat adalah apa yang dinyatakan pada akalbudi sebagai prinsip yang membimbing ke arah Yang Baik. Prinsip akalbudi praktis yang pertama adalah sesuatu yang jelas dengan sendirinya bagi mereka yang bisa mengerti apa maknanya, yakni: “Yang baik itu wajib dicari dan yang jahat wajib dihindari” (bonum est prosequendum et malum vitandum). Dalam situasi konkret manusia mesti menggunakan akal sehatnya (recta ratio) untuk menilai kapan dan bagaimana kita mau mengikuti kecenderungan-kecenderungan kodrati kita yang baik dan menempatkan kecenderungan yang lebih rendah di bawah kecenderungan yang dalam hirarki nilai lebih tinggi. Kesehatan kehendak kita tergantung dari benar/salahnya penilaian akal sehat kita.
Prinsip akalbudi praktis yang kedua, yakni perintah-perintah yang diturunkan dari prinsip yang pertama, tidaklah jelas dari dirinya sendiri, masih bersifat umum, dan keberlakuannya hanya pada umumnya saja (ut in pluribus); prinsip tersebut membuka kemungkinan adanya kekecualian dalam situasi khusus. Seperti masih akan kita lihat, pengetrapan hukum kodrat dalam situasi konkret berpegang pada suara hati (conscientia). Suara hati menyatakan diri sebagai perintah akalbudi untuk mengikuti kewajiban moral dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap orang wajib mengikuti suara hatinya, kendati kadang-kadang suara hati bisa keliru. Karena ada kemungkinan keliru maka manusia juga wajib mendidik suara hatinya. Pendidikan suara hati akan membimbing ke hidup berkeutamaan, yakni hidup yang oleh Thomas Aquinas dikatakan sebagai kebiasaan untuk memilih dan menjalani yang baik.
2.4. Hukum Kodrat sebagai norma moral
Kodrat manusia adalah hukum tingkah laku atau norma moral untuk manusia, karena daripadanya kita bisa menurunkan seperangkat prinsip kelakuan yang bisa berlaku secara universal. Memang betul bahwa setiap pribadi manusia itu unik/khas, dan setiap orang dalam arti tertentu menentukan siapa dirinya. Namun tetap lah benar bahwa setiap manusia itu punya sifat-sifat hakiki tertentu yang melekat pada keberadaannya sebagai manusia. Sifat-sifat itu ia miliki bersama dengan manusia-manusia yang lain. Warna khusus (modalitas) sifat-sifat ini bisa berbeda-beda; namun, sejauh seseorang itu tetap manusia, ia senantiasa mempunyai sifat-sifat yang mencirikan kemanusiaannya.
Mengakui adanya hukum kodrat sebagai norma moral berarti secara hakiki mengakui bahwa ada prinsip-prinsip moral yang secara umum mengikat semua manusia atas dasar kodrat kemanusiaan mereka yang sama. Kehendak yang secara moral baik, sebagaimana juga ditegaskan oleh Kant, adalah kehendak yang mau mengambil prinsip yang bisa berlaku umum sebagai prinsip tingkah lakunya. Keberlakuan umum prinsip-prinsip moral bisa dilihat dalam tiga tingkatan:
(a) Karena keterarahan dasariah manusia pada tujuan terakhirnya, yakni keterarahan pada Yang Baik, seperti telah kita lihat di atas, prinsip moral yang pertama adalah: “Lakukanlah yang baik dan hindarilah yang jahat.” Prinsip moral ini secara intuitif jelas dengan sendirinya. Menjadi baik berarti semakin mengarah ke kepenuhan kodrat kemanusiaan kita. Kita mesti bertindak sedemikian rupa sehingga tindakan kita memang mengarahkan kita pada tujuan akhir, ke arah mana kita diciptakan. Dalam konteks Thomas Aquinas adalah persatuan kembali dengan Tuhan.
(b) Pada tingkat kedua, berdasarkan harkat kemanusiaan yang dimiliki setiap manusia, ada tindakan-tindakan tertentu yang dapat dikatakan dari kodratnya bertentangan dengan martabat dan keluhuran manusia. Sebagai contoh misalnya pembunuhan, penyiksaan, perbudakan, pelacuran dsb. Perbedaan pandangan dalam hal-hal ini seringkali muncul karena pengertian akan kodrat manusia dengan martabat dan keluhurannya sering dikaburkan oleh kurang pengertian, hati nurani yang sudah tumpul, dan karena dominasi suatu ideologi yang mengaburkan nilai harkat kemanusiaan yang sesungguhnya.
(c) Pada tingkat ketiga, yakni tingkat tindakan moral konkret, kendati benar lah bahwa setiap tindakan itu bersifat partikular dan situasional, namun suatu tindakan yang secara moral benar atau suatu kelakuan yang baik adalah juga tindakan atau kelakuan yang wajib dilakukan atau dimiliki oleh orang lain pula. Seperti pernah kita bicarakan dalam rangka pembicaraan tentang suara hati, suatu tindakan itu secara moral bisa dibenarkan secara objektif kalau setiap orang yang ada dalam posisi saya juga akan menilai dan bertindak sebagaimana saya sekarang menilai dan bertindak. Mingingat banyaknya perbedaan situasi dan kondisi tindakan, sudah lumrah kalau wujud tindakan konkret tidak selalu sama. Kendati begitu, sejauh tindakan itu tindakan moral, tindakan tersebut merupakan jawaban terhadap perintah yang sama untuk melakukan yang baik dan menghindarkan yang jahat. Nilai-nilai dasar seperti kasih, keadilan, kesetiaan dsb. berlaku umum, kendati bentuk pengungkapan konkret berbeda dari satu tempat/kebudayaan ke tempat/kebudayaan yang lain
2. 5. Hukum kodrat dalam situasi konkret
Pengertian hukum kodrat dalam pandangan Thomas Aquinas memberi tempat pada perspektif kesejarahan manusia. Selain memasyarakat, manusia secara hakiki juga menyejarah. Kategori waktu yang mengandung dimensi perubahan dan perkembangan, merupakan kategori yang tidak bisa diabaikan dalam mengerti kodrat manusia. Kendati tiga hubungan struktural manusia–yaitu keterbukaan terhadap Yang Baik, eksistensi sosial, keterjalinan dengan dunia fisis–merupakan sesuatu yang tetap berlaku dalam hidup manusia di dunia, namun penghayatan konkret hubungan tersebut mengalami perubahan dan perkembangan dalam perjalanan sejarah.
Kodrat manusia bukanlah suatu yang secara pasti, tetap, dan rinci sudah dirumuskan oleh Sang Pencipta sehingga manusia tinggal melaksanakannya, melainkan sesuatu yang masih bersifat umum dan terbuka bagi perkembangan. Teori etika hukum kodrat yang mendasarkan diri pada kodrat manusia, perlu dimengerti sebagai teori yang terbuka pula terhadap perkembangan dalam sejarah. Prinsip dasariah yang berlaku umum untuk melakukan yang baik dan menghindarkan yang jahat, untuk berlaku adil, untuk menghormati harkat kemanusiaan sesama dst. perlu dimengerti dalam terang kemungkinan bahwa manusia terbuka bagi perkembangan sejarah. Misalnya, pada jaman tertentu, karena kesadaran manusia akan hak-hak asasi belum berkembang seperti sekarang, perbudakan masih dianggap sebagai wajar dan tidak bertentangan dengan sikap hormat terhadap harkat kemanusiaan. Pada jaman sekarang, umum diterima bahwa perbudakan secara moral tidak bisa dibenarkan. Dimensi kesejarahan kodrat manusia merupakan alasan yang menerangkan mengapa, kendati kodrat manusia itu sama, namun ada perbedaan moralitas yang didasarkan atasnya.
2.6. Teori Hukum Kodrat dan Etika Teonom Murni
Di satu pihak keyakinan dasar etika teonom murni tertampung dalam teori hukum kodrat: Norma pengaturan kehidupan manusia adalah kehendak Allah. Jadi memang benar bahwa mausia harus hidup sesuai dengan kehendak Allah. Tetapi di lain pihak kehendak Allah nampak dalam kodrat manusia. Jadi berbeda dengan etika teonom, etika hukum kodrat dapat menjamin rasionalitas kesadaran moral: kehendak Allah harus ditaati karena itu sesuai dengan kodrat manusia, dan tentu saja manusia hanya dapat menemukan kebahagiaannya apabila ia hidup sesuai dengan kodratnya. Jadi ada kriteria objektif bagi kehendak Allah: kodrat manusia sebagai ungkapan kehendak Allah dan hukum abadi (lex aeterna).
Selain itu, teori hukum kodrat mengijinkan kita untuk mengerti bahwa seorang ateis pun apabila berkehendak baik dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah (tentu saja tanpa disadari/diakui bahwa demikian oleh pelakunya). Kodrat manusia dapat diketahui secara kodrati, jadi orang yang tidak tahu tentang Allah pun, yang tidak sadar bahwa kodratnya diciptakan oleh Allah, dapat saja memahami apa yang sesuai dan apa yang tidak sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Tambahan pula apabila ia berusaha untuk hidup sesuai dengan kodratnya ia dalam kenyataan juga memenuhi kehendak Allah. Jadi teori hukum kodrat tidak lagi membatasi kebaikan moral pada kepercayaan kepada Allah. (Dapat ditambahkan di sini bahwa orang yang hidup sesuai dengan suara hatinya, dengan atau tanpa mengetahuinya, mengiyakan panggilan Allah. Walaupun suara hati tidak identik dengan kehendak Allah, karena suara hati bisa betul bisa keliru, namun kemutlakan yang kita sadari dalam menaati suara hati adalah sebenarnya kesadaran akan Yang Mutlak. Manusia yang mengambil sikap terhadap suara hatinya berarti ia mengambil keputusan–yang sekali lagi bisa betul, bisa keliru–dalam kesadaran eksplisit atau implisit bahwa ia berhadapan dengan Allah).
2.7. Teori Hukum Kodrat dan Hak Asasi
‘Hak’ adalah kekuasaan moral atau wewenang pada seseorang untuk menuntut, melakukan, memiliki, atau melepaskan sesuatu bebas dari campur tangan orang lain. Pengertian hak erat berkaitan dengan pengertian kewajiban. Apa yang menjadi hak untuk seseorang merupakan kewajiban bagi orang lain yang bersangkutan dengan hak tersebut. Hak biasanya didasarkan atas hukum dan secara logis diturunkan dari kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh hukum. ‘Hak asasi’ adalah hak yang melekat pada setiap orang karena ia adalah pribadi manusia yang dari asal mula keberadaanya sudah dilengkapi oleh Penciptanya dengan wewenang-wewenang tertentu. Setiap manusia oleh karena itu dari kodrat kemanusiaannya bernilai pada dirinya sendiri dan tidak pernah boleh diperalat oleh manusia lain untuk mencapai tujuannya. Hak asasi kadang-kadang juga disebut hak kodrati atau hak yang tidak bisa diambilalih oleh orang lain.
Sistem etika yang berbeda mengandung pengertian yang berbeda pula dalam memahami hakikat hak. Bagi para penganut Positivisme Hukum, yang berpendapat bahwa dasar keabsahan atau pembenaran hukum terletak pada persetujuan bersama (consensus) yang diwakili oleh lembaga yang berwenang untuk menetapkan hukum seperti pemerintah misalnya, maka hakikat hak didasarkan atas hukum yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Hak-hak yang dimiliki manusia tidak hanya dijamin tetapi juga ditentukan oleh hukum yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Dalam paham hukum macam ini tidak ada hak yang melekat pada manusia sebagai manusia atau hak yang didasarkan atas kodrat kemanusiaannya.
Menurut paham etika hukum kodrat, mendahului dan mengatasi hukum positif yang dalam kenyataan diundangkan dalam suatu masyarakat oleh lembaga pemerintah, ada hukum yang lebih dasariah, hukum yang tak tertulis dengan tinta tetapi yang tergores dalam hati sanubari setiap insan, yakni hukum kodrat. Para penganut paham ini berpendapat bahwa keabsahan dan daya pengikat hukum positif hanya berlaku sejauh itu sesuai dengan hukum kodrat. Adanya hukum kodrat ini menjamin adanya hak-hak kodrati atau hak asasi yang melekat pada setiap pribadi manusia. Pemerintah, sebagai lembaga hukum dalam masyarakat, perlu menghormati hak-hak azasi ini dan menjamin pelaksanaannya melalui hukum yang diundangkannya.
Hak asasi merupakan hak yang tidak pernah boleh diambil alih oleh orang lain, juga oleh pemerintah, karena hak-hak itu tidak diberikan oleh pemerintah, masyarakat, ataupun suatu otoritas manusia yang lain. Adanya hak-hak asasi sebagai hak-hak kodrati mengalir dari adanya hukum kodrat. Kalau kita wajib untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu oleh karena tuntutan kodrat kita, kita juga punya hak kodrati untuk bisa melaksanakan kewajiban tersebut.
Ajaran tentang adanya hak-hak kodrati sudah muncul pada jaman Yunani kuno. Dalam perjalanan sejarah hak-hak tersebut sering kurang dihormati. Sistem-sistem pemerintahan politik yang bersifat totaliter cenderung untuk memperkosa hak-hak tersebut. Usaha perlindungan hak-hak azasi manusia terhadap pemerkosaan dan penindasan menelorkan sebuah deklarasi tentang hak-hak azasi yang disebut Charter of Human Rights. Deklarasi yang disetujui oleh Sidang Umum PBB pada tgl. 10 Desember 1948 ini memaklumkan pokok-pokok deklarasi hak-hak azasi tersebut sebagai “tolok ukur bagi semua bangsa dan semua negara.” Karena praktek-praktek yang melanggar hak azasi masih banyak terjadi, maka deklarasi tersebut bermaksud untuk memperkuat usaha kita untuk menghormati dan menjamin terlaksananya hak-hak asasi. Deklarasi ini terdiri dari 30 artikel dan menegaskan banyak hak-hak yang kebanyakan didasarkan atas kodrat dan eksistensi manusia.
2.8. Kekuatan Teori Etika Hukum Kodrat
Dibandingkan dengan teori etika yang lain, teori etika hukum kodrat mempunyai beberapa kekuatan atau arti positif.
(1) Pengertian kodrat manusia cukup umum untuk bisa memuat macam-macam nilai yang memperkembangkan manusia. Dengan ini pluriformitas nilai bisa dijamin.
(2) Pengertian kodrat manusia sebagai hukum yang mendasari segala hukum yang ditetapkan oleh manusia bisa berfungsi kritis terhadap hukum-hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
(3) Penekanan pada peranan akalbudi sebagai prinsip pengaturan tingkah laku bisa menjamin objektivitas dan keberlakuan umum prinsip moral yang ditegaskan.
(4) Bisa mengambil unsur positif etika teonom tanpa menjadikannya etika keagamaan. Seperti sudah kita lihat etika hukum kodrat memahami kehendak Allah bukan sebagai sesuatu yang mengambang di atas manusia dan hanya bisa diketahui oleh orang yang beriman, melainkan sebagai sesuatu yang mengembangkan dan memelihara semua dimensi kemanusiaan kita dalam dunia ini sejauh itu bisa ditangkap oleh akalbudi manusia.
2.9. Kelemahan Teori Hukum Kodrat
Teori etika hukum kodrat mempunya tiga kekurangan pokok:
(1) Faham kodrat manusia yang begitu umum, yang dalam arti tertentu dapat menjadi kekuatan teori hukum kodrat, dapat juga menjadi titik lemahnya. Karena begitu umum, maka sangat sulit untuk dipastikan apa artinya atau apa isi yang terkandung dalam pengertian tersebut. Macam-macam filsafat manusia bisa memberikan pandangan yang berbeda mengenai apa dan siapa manusia itu, sehingga paham tentang kodrat manusia bisa juga berbeda tergantung dari filsafat manusia mana yang dianut seseorang. Dengan demikian menjadi sulit sekali untuk menentukan sikap-sikap apa yang sesuai dengan kodrat manusia karena tidak dapat dipastikan dan sulit dicapai persetujuan mengenai apa yang dimaksudkan dengan kodrat manusia. Bahkan ada bahaya bahwa masing-masing filsof merumuskan dulu apa yang termasuk kodrat manusia menurut prasangka atau kepentingannya sendiri, untuk kemudian dapat mempermaklumkan bahwa tindakan-tindakan tertentu “sesuai dengan kodrat manusia” atau merupakan “kewajiban moral”, padahal hal-hal itu hanyalah buah prasangka pribadi/ kelompok/ kultural orang itu.
(2) Bahkan seandainya kita bisa mengetahui apa yang menjadi isi kodrat manusia kita masih belum dapat menarik kesimpulan tentang sikap mana yang sesuai dengan itu. Seperti sudah ditegaskan oleh G. E. Moore (dalam bukunya Principia Ethica) dari suatu fakta, secara logis tidak bisa disimpulkan suatu keharusan. Penalaran yang tidak mematuhi prinsip ini jatuh ke dalam apa yang ia sebutkan sebagai “the naturalistic fallacy.” Sebagai contoh misalnya dari fakta bahwa manusia dari kodratnya akan mati kalau minum racun tidak bisa disimpulkan suatu keharusan yang melarang siapapun untuk minum racun.
(3) Walaupun teori hukum kodrat, dengan dimasukkannya dimensi yang mengatasi kehidupan di dunia ini, dapat dikatakan sudah jauh mengatasi eudaimonisme Aristoteles, namun teori ini pun belum seluruhnya bebas dari pendekatan egoistik dalam hidup bermoral. Misalnya kalau orang berbuat baik dan bertindak adil hanya supaya dirinya nanti masuk surga, kiranya belum mencukupi sebagai sikap moral, karena motivasi macam itu belum menjelaskan kekhasan tuntutan kebaikan dan keadilan.
--------------------------------------------------
[1]Dalam Nichomachean Ethics, X, 7 (1177a27-1177b1): Aristoteles menegaskan demikian: “And the self-sufficiency is spoken of must belong most to the contemplative activity. For while a philosopher, as well as a just man or one possessing any other virtue, needs the necessaries of life, when they are sufficiently equipped with things of that sort, the just man needs people towards whom and with whom he shall act justly, and the temperate man, the brave man, and each of the others is in the same case, but the philosopher, even when by himself, can contemplate truth, and the better the wiser he is; he can perhaps do so better if he has fellow-workers, but still he is the most self-sufficient. And this activity alone would seem to be loved for its own sake; for nothing arises from it apart from the contemplating, while from practical activities we gain more or less apart from the action.”
[2]“…that which is proper to each thing is by nature best and most pleasant for each thing; for man, therefore, the life according to reason is best and pleasantest, since reason more than anything else is man. This life therefore is also the happiest.”
[3]“But in a secondary degree the life in accordance with the other kind of virtue is happy; for the activities in accordance with this befit our human estate. Just and brave acts, and other virtuous acts, we do in relation to each other, observing our respective duties with regard to contracts and services and all manner of actions and with regard to passions.”
[4]Jacques Maritain, Moral Philosophy: An historical and critical survey of the great systems (New York: Charles Scribner’s Sons, 1964) p. 49.
[5]Dr. Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987) h. 120-21.
Etika Aristoteles adalah etika teleologis, yakni etika yang mengukur benar/salahnya tindakan manusia dari menunjang tidaknya tindakan tersebut ke arah pencapaian tujuan (telos) akhir yang ditetapkan sebagai tujuan hidup manusia. Setiap tindakan menurut Aristoteles diarahkan pada suatu tujuan, yakni pada yang baik (agathos). Yang baik adalah apa yang secara kodrati menjadi arah tujuan akhir (causa finalis) adanya sesuatu. Pertanyaan pokok suatu teori moral (sebagaimana juga dimengerti oleh Sokrates dan Plato) adalah manakah yang baik yang menjadi tujuan akhir hidup manusia dengan segala kegiatannya. Yang baik yang menjadi tujuan akhir hidup manusia menurut dia adalah kebahagiaan atau kesejahteraan (eudaimonia). Itulah sebabnya teori etikanya sering disebut sebagai teori etika Eudaimonisme.
Aristoteles sadar bahwa ada banyak pendapat tentang apa yang membahagiakan: ada yang menganggap itu kenikmatan, kekayaan, kekuasaan. Masalahnya sekarang adalah bukannya apa yang senyatanya dicari manusia sebagai yang dianggap membahagiakan, melainkan apa yang semestinya menjadi tujuan hidup manusia. Adakah manusia punya tujuan yang paling pokok untuk mana tujuan-tujuan yang lain diarahkan? Kalau ini diketahui, maka, menurut Aristoteles, inilah yang menjadi tujuan akhir setiap tindakan manusia dan yang akan memberi kebahagiaan sejati untuknya.
2. Etika pengembangan diri sesuai dengan kodratnya
Etika Aristoteles merupakan etika pengembangan diri, karena kebahagiaan (eudaimonia) yang menjadi tujuan hidup manusia tercapai kalau manusia mengembangkan dirinya secara penuh sesuai dengan kodratnya. Kodrat di sini dimaksudkan dalam arti metafisis, yakni apa yang menjadi hakikat keberadaan manusia. Untuk mengenal apa yang menjadi kodrat atau hakikat keberadaan sesuatu, Aristoteles melihat fungsi operasional (ergon) yang khas pada pengada tersebut. Finalitas atau keterarahan pada tujuan akhir suatu pengada bagi Aristoteles merupakan suatu gagasan yang sentral untuk etikanya, karena menurut dia kodrat setiap pengada mengarah pada tujuan akhirnya. Kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia baru tercapai kalau manusia hidup sesuai dengan ergon-nya yang khas. Untuk menetapkan apa itu kebahagiaan bagi manusia perlulah ia mengerti apa yang menjadi tujuan akhir kodrat keberadaannya sebagai manusia.
Mengikuti Plato, Aristoteles melihat manusia terdiri dari badan dan jiwa. Kendati lain dengan Plato, gurunya, yang memandang badan manusia sebagai penjara jiwa, Aristoteles, yang menekankan kesatuan jiwa-badan manusia sebagai kesatuan forma (dhat) dan materi (wujud), tetap mengikuti Plato dalam berpendapat bahwa hakikat manusia terletak dalam jiwanya. Jiwa menurut dia terdiri dari dua unsur, yakni yang rasional dan yang takrasional. Unsur yang rasional dapat ada lepas dari badan; dan ini masih dibedakan lagi menjadi aspek jiwa rasional yang dia sebut sebagai akal budi teoretis (theoretike dianoia) dan akal budi praktis (to praktikon dianoetikon). Unsur yang takrasional sangat erat berkaitan dengan badan, dan dia bagikan menjadi bagian yang berkaitan dengan dorongan untuk mencari makan, bertumbuh dan berreproduksi dan bagian yang menyangkut dorongan-dorongan spontan. Dorongan-dorongan spontan ini masih dia bagikan lagi menjadi tiga golongan: (a) dorongan nafsu kedagingan (epithumia), (b) emosi/impulses (thumos), dan (c) keinginan yang bisa sesuai dengan penentuan akal budi (boulesis).
Dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, jiwa manusia mempunyai aspek vegetatif seperti halnya tumbuh-tumbuhan, dan mempunyai aspek sensitif seperti halnya binatang. Yang khas untuk manusia adalah aspek rasional dari kejiwaannya. Kalau yang menjadi kekhasan manusia adalah aspek rasional kejiwaannya, maka ergon manusia mesti bersangkutan dengan aspek ini. Manusia mencapai kebahagiaannya yang sejati kalau ia mengembangkan apa yang paling luhur dalam dirinya, yakni akal budinya. Unsur pertama dan utama kebahagiaan dalam pandangan Aristoteles adalah kebijaksanaan. Hidup yang sempurna baginya adalah hidup teoretis (kontemplasi kebenaran-kebenaran abadi). Kebahagiaan yang sejati itu bersifat “final”, “cukup-diri”, dan merupakan tujuan akhir tindakan.[1]
Bahwa untuk Aristoteles kegiatan intelektual merupakan kegiatan yang membahagiakan, misalnya kita ketahui dari apa yang dia nyatakan pada Etika Nikomakea X,7 (1178a5): “apa yang sesuai dengan setiap hal adalah apa yang secara alami paling baik dan paling menyenangkan untuknya; maka, untuk manusia, hidup sesuai dengan akalbudi adalah yang paling baik dan paling menyenangkan, karena lebih dari apa pun yang lain, akalbudilah yang secara khas menandai manusia. Oleh karena itu hidup yang mengembangkan akalbudi adalah hidup yang paling membahagiakan untuk manusia.”[2]
Unsur kedua yang ada dalam kebahagiaan menurut Aristoteles adalah hidup berkeutamaan. “Namun dalam derajat yang kedua, hidup sesuai dengan jenis keutamaan lain itu membahagiakan, karena aktivitas selaras dengan ini memang sesuai dengan kodrat kemanusiaan. Tindakan yang adil dan berani, dan tindakan-tindakan berkeutamaan yang lain, kita lakukan dalam hubungan satu sama lain, kita melaksanakan kewajiban kita masing-masing berkaitan dengan kontrak, pelayanan dan semua cara bertindak serta dalam hubungan dengan hal-hal yang harus kita tanggung.” [EN X,8 (1178a10)][3] Unsur ketiga dalam kebahagiaan adalah kenikmatan atau rasa senang. Bagi Aristoteles kenikmatan atau rasa senang merupakan buah hasil hidup berkeutamaan. Orang baik juga senang hidupnya.
Selain ketiga unsur dalam batin, menurut Aristoteles kebahagiaan juga mengandung unsur lain seperti adanya sahabat (orang yang tidak punya sahabat hidupnya tidak bahagia), adanya kesehatan (orang yang sakit-sakitan tidak bahagia), adanya kekayaan (orang yang hidup kekurangan tidak bahagia), adanya nasib baik atau keberuntungan.
3. Etika Keutamaan
Etika Aristoteles, lain dengan etika yang biasa disebut sebagai etika kewajiban (seperti etika Kant misalnya), adalah etika keutamaan. Hidup baik adalah hidup sesuai dengan keutamaan yang masih ia bedakan menjadi keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Dari segi moral, suatu tindakan secara objektif dinilai berkeutamaan (virtuous) oleh Aristoteles kalau itu merupakan kegiatan yang diatur oleh akal budi sesuai dengan prinsip kebijaksanaan jalan tengah/“the rule of the just middle” (mesotes), yakni menghindarkan ekstrem terlalu banyak di satu pihak dan ekstrem terlalu kurang di lain pihak. Keutamaan keberanian misalnya terletak antara kenekadan di satu pihak dan menjadi pengecut di lain pihak.
Keutamaan secara subjektif mengalir dari disposisi pribadi yang sesuai dengan penentuan akal budi atau kebiasaan (hexis) berbuat baik. Bagi Aristoteles suatu tindakan baik yang belum mengalir secara alami, tetapi masih melalui suatu pergulatan batin melawan berbagai macam godaan, adalah suatu tanda bahwa si pelaku sesungguhnya belum memiliki keutamaan moral; dorongan-dorongan takrasionalnya belum berhasil dikendalikan oleh akal budi. Tindakan yang berkeutamaan menurut Aristoteles juga merupakan tindakan yang didorong oleh suatu intensi/maksud yang murni. Kalau dirumuskan secara singkat dan padat, tindakan berkeutamaan bagi Aristoteles adalah tindakan yang sudah diperhitungkan secara nalar mengikuti prinsip kebijaksanaan jalan tengah dan dimotivasikan oleh suatu maksud yang murni serta keluar dari suatu disposisi yang tepat dan tetap atau kebiasaan berbuat baik sebagai hasil praktek yang sudah berulang kali.
Karena perhitungan nalar merupakan suatu hal yang sentral dalam pengertian Aristoteles tentang keutamaan moral, induk keutamaan baginya adalah kebijaksaan praktis (phronesis). Kebijaksanaan praktis mengandaikan suatu pengetahuan kebenaran berkenaan dengan nilai intrinsik tindakan yang akan dilakukan dan berkenaan dengan sarana yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah disadari sebagai baik. Kebijaksanaan praktis itu dimiliki oleh orang-orang yang hidup berkeutamaan (Jawa: wong utomo). Kalau kita mau tahu mana tindakan yang secara moral tepat kita bisa bertanya pada atau belajar dari orang yang hidup berkeutamaan.
Beberapa kritik atas etika Aristoteles
1.Bersifat egoistik
Eudaimonisme Aristoteles sebagai etika pengembangan diri dapat dikatakan masih bersifat egoistik. Perspektif kegiatan masih berpusat pada kebahagiaan diri sendiri. Seperti ditulis oleh Jacques Maritain: “Lepas dari semua [yang baik yang terkandung di dalamnya], ajaran moral Aristoteles pada akhirnya meninggaokan kita terkurung dalam cinta diri. Adalah kebaikanku yang aku cintai dan kehendaki dalam mencintai dan menghendaki Kebahagiaan sebagai Kebaikan tertinggi yang amat dicintai. Itu berarti Kebaikan yang dilihat secara subjektif, Kebaikan sebagai suatu kesempurnaan diri dan suatu gema di dalam diri, atau sebagai suatu kepenuhan hidup manusia. … Adalah mustahil bagi etika Aristoteles untuk lepas dari dekapan diri, dari sejenis egoisme transendental. Dakan perspektif moral Kebahagiaan sebagai Kebaikan tertinggi, aku tidak dapat membebaskan diriku; aku tidak pernah dapat membebaskan diri dari cinta diri yang egoistik. Padahal, akhirnya justru pembebasan macam itu yang [sesungguhnya] kita dambakan.”“[4]
Karena Aristoteles menyamakan kebaikan yang tertinggi (the supreme good) dengan kebahagiaan, dan kebahagiaan ini dimengerti sesuai dengan apa yang cocok dan diingini oleh subjek pelaku, maka etika Aristoteles tidak bisa menerangkan bahwa nilai kebaikan lebih tinggi dari pada nilai kebahagiaan. Kebahagiaan sesungguhnya lebih sebagai anugerah kebaikan dari pada kebaikan itu sendiri. Demi cita-cita mengejar yang baik, orang tidak pertama-tama mengejar kebahagiaan, melainkan mengerjakan apa yang memang disadari sebagai tindakan yang baik.
Sebagaimana dicatat oleh Dr. Magnis-Suseno, kebahagiaan dan pengembangan diri sejati baru tercapai justru kalau orang bisa “melepaskan diri.” Manusia justru tidak berkembang dan tidak akan bahagia kalau perkembangan dirinya sendiri atau kebahagiaannya menjadi obsesi pemikiran dan perhatiannya. “Perkembangan kita semakin terjadi semakin kita merelakan diri, termasuk perkem-bangan diri, demi tanggung jawab kita. Kita akan berkembang apabila kita menomorduakan kita demi manusia-manusia yang dipercayakan kepada kita atau yang berada bersama kita di perjalanan, demi tugas yang dibebankan kepada kita, pokoknya demi apa yang bernilai pada dirinya sendiri dan bukan hanya bernilai sebagai sarana bagi perkembangan atau kepentingan kita sendiri. Orang yang selalu mencari diri sendiri tidak akan menemukan diri, sedangkan orang yang melupakan diri semi suatu tugas, demi orang lain, demi cita-citanya dialah yang akan menemukan diri.”[5]
2. Etika yang manusiawi dan duniawi
Lain dengan Plato, yang berpendapat bahwa Yang Baik sebagai tujuan hidup moral merupakan sesuatu yang bersifat transenden atau adiduniawi, Aristoteles memandangnya sebagai sesuatu yang bersifat imanen atau duniawi. Eudaimonia atau kebahagiaan sebagai tujuan hidup moral, bagi Aristoteles, merupakan sesuatu yang dapat dicapai di dunia ini, karena merupakan sesuatu yang immanen dalam kegiatan manusia sendiri. Tujuan ganda, yakni kontemplasi kebenaran abadi dan keutamaan moral baginya merupakan pencapaian sesuatu yang paling baik pada manusia. Betul bahwa dia menganggap kegiatan kontemplasi kebenaran abadi sebagai kegiatan yang bersifat ilahi dan hanya mampu dilakukan oleh kelompok tertentu, namun tetap ini sesuatu yang bisa dicapai oleh manusia dari kekuatannya sendiri. Keutamaan moral merupakan pemenuhan keluhuran dan keunggulan jiwa manusia. Kontemplasi dalam pemikiran Aristoteles tidak berarti pertemuan atau persatuan dengan sesuatu di luar atau di atas manusia, melainkan pemenuhan bakat/kemampuan manusia yang paling tinggi, kemampuannya untuk melakukan kegiatan yang sifatnya mencukupi pada dirinya sendiri (self-sufficient).
3. Etika yang elitis dan aristokratis
Dalam etika Aristoteles, dan kiranya berlaku juga pada etika Yunani pada umumnya, manusia terutama dilihat sebagai makhluk berakalbudi yang dapat dikuasai oleh dorongan-dorongannya yang takrasional. Masalah pokok etika lalu menjadi usaha untuk mengendalikan dorongan-dorongan tersebut dan bagaimana mendidik dan meningkatkan kegiatan intelektual manusia. Kegiatan kontemplasi filosofis atas kebenaran abadi (kegiatan spekulatif) dijunjung tinggi sebagai kegiatan yang perlu dituju dalam dirinya sendiri dan tindakan yang self-sufficient. Ini jelas merupakan bias pandangannya yang bersifat elitis dan aristokratis dan tidak dapat dinyatakan sebagai tujuan hidup yang berlaku untuk setiap manusia di mana saja dan kapan saja. Kegiatan kontemplasi yang mengandaikan suatu self-sufficiency bisa terjadi hanya kalau ada orang lain yang berkerja untuk mereka, sehingga mereka tidak direpotkan oleh keharusan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Dalam konteks ini tidak mengherankan bahwa Aristoteles membenarkan adanya perbudakan (dengan alasan bahwa ada orang yang dari kodratnya dilahirkan menjadi budak dan ada yang jadi tuan).
2. Etika Hukum Kodrat Thomas Aquinas
2.1. Latar belakang sejarah faham hukum kodrat
Thomas Aquinas, filsof dan teolog besar Abad Pertengahan, bukanlah orang pertama yang merumuskan ajaran tentang hukum kodrat. Gagasan hukum kodrat sebagai “ketetapan ilahi yang tidak tertulis dan tak tergagalkan” sudah termuat misalnya dalam drama tragedi Sophocles yang berjudul Antigone. Atas dsar gagasan itu maka Antigone berani menentang ketetapan raja Creon yang melarang dia untuk mengadakan upacara penguburan jenasah kakak lelakinya yang oleh Creon dianggap sebagai pengkianat negara.
Perumusan sistematis pertama atas ajaran hukum kodrat dilakukan oleh mashab Stoa dengan semboyan mereka yang terkenal yakni “hidup sesuai dengan kodrat.” Ajaran mashab Stoa dipopulerkan oleh Cicero. Dalam perkembangan kemudian, para ahli hukum Romawi, melalui St. Isidorus dari Sevilla sampai para ahli hukum kanonik dan teolog abad pertengahan, mencoba untuk merumuskan, masing-masing dengan pandangan mereka yang berbeda, apa yang menjadi inti hukum kodrat. Di antara para ahli hukum, istilah hukum kodrat sering dikaitkan dengan hak kodrati. Ulpianus membuat pembedaan antara hukum kodrat (lex naturalis) yang berlaku untuk binatang dan hukum manusia (jus gentium) untuk manusia, serta hukum sipil (lex civilis) yang khusus untuk warganegara Roma. Kalau Gratianus merumuskan hukum kodrat sebagai “apa yang yang terkandung dalam hukum dan Injil” (quod in lege et Evangelico continetur), Alexander dari Hales dan St. Albertus Agung memandang hukum kodrat sebagai keutamaan yang dibiasakan (habitus). Singkat kata, pada abad pertengahan, di kala St. Thomas bermaksud merumuskan gagasan pokok ajaran hukum kodrat, gagasan tersebut masih cukup kabur dan menunggu usaha perumusan.
Dalam sejarah umat manusia, merupakan jasa Thomas Aquinas bahwa ia berhasil merumuskan secara saksama ajaran hukum kodrat untuk mengembangkan suatu teori etika yang termasuk paling besar pengaruhnya dalam filsafat Barat dan dalam teologi moral Kristiani. Aquinas berhasil untuk menggabungkan keyakinan etika teonom (bahwa manusia menemukan aturan hidupnya dalam kepatuhan terhadap kehendak Allah) dengan eudaimonisme Aristoteles yang menunjukkan bahwa hidup yang baik membawa manusia kepada kebahagiaan. Teori hukum kodrat kemudian menjadi etika resmi Gereja Katolik. Tidak sedikit para ahli hukum yang melihat teori hukum kodrat sebagai dasar yang kokoh untuk membela dan memperjuangkan nilai hak asasi manusia. Hukum kodrat (natural law) adalah dasar adanya hak kodrati (natural right). Hukum manusiawi hanya mengikat kalau itu merupakan ungkapan benar hukum kodrat.
2.2. Teori hukum kodrat Aquinas dan Eudaimonisme Aristoteles
Teori etika hukum kodrat Thomas Aquinas erat berkaitan dengan teori etika eudaimonisme Aristoteles. Dalam arti tertentu dapat dikatakan bahwa Aquinas mengambil alih struktur dasar eudaimonisme Aristoteles. Sebagaimana Aristoteles, Aquinas juga memandang pengembangan diri manusia dengan “hidup sesuai dengan kodratnya” sebagai sarana utama mencapai kebahagiaan. Pokok perbedaan antara keduanya adalah bahwa Aquinas memasukkan unsur dasariah Allah Pencipta sebagai Dasar dan Sumber adanya manusia dan seluruh alam semesta, unsur “habitus” dan hatinurani sebagai unsur-unsur yang hakiki dalam hidup moral.
Teori etika hukum kodrat Aquinas mengatasi eudaimonisme Aristoteles dalam dua hal: (1) Aquinas menghubungkan pengertian ‘kodrat manusia’ dengan kehendak Allah sang Pencipta. Kodrat manusia, yang berkat akalbudinya bisa ambilbagian dalam kebijaksanaan Allah, bila diikuti maka akan membawa ke tujuan akhir manusia diciptakan. Orang yang hidup sesuai dengan kodrat kemanu-siaannya tidak hanya bijaksana, melainkan sekaligus juga memenuhi kehendak Allah. Di sini panggilan hidup manusia untuk mengembangkan diri secara penuh mendapat bobot yang lebih besar, yakni bahwa dengan itu manusia juga memenuhi rencana Penciptanya. (2) Menurut Aquinas, Yang Baik tidak bisa disamakan begitu saja dengan kebahagiaan dan baginya kebahagiaan, sebagai tujuan akhir manusia, tidak terletak dalam dunia ini melainkan baru tercapai apabila manusia, sesudah kematiannya, diperkenankan memandang wajah Allah (visio beatifica). Oleh karena itu kebahagiaan di dunia–yang menurut Aristoteles pun paling-paling dapat didekati tetapi tidak dapat tercapai sungguh-sungguh–hanya bernilai relatif, yakni sejauh mengantar manusia kepada Allah. Dengan ini teori etika hukum kodrat membuka kemungkinan untuk memahami bahwa suatu hidup dengan merelakan kepentingan sendiri, dengan berkurban demi sesama bisa merupakan hidup yang berhasil.
2.3. Pokok-pokok ajaran etika hukum kodrat
Ajaran etika hukum kodrat Thomas Aquinas bisa ditemukan dalam bagian I-II (Prima Secundae) bukunya Summa Theologica dan dalam bagian III bukunya Summa Contra Gentiles. Dalam I-II ST q. 90-97 pembicaraan tentang hukum kodrat termasuk dalam bab pembicaraan tentang hukum yang ia definisikan sebagai pengaturan akalbudi yang ditujukan untuk menjamin kesejahteraan umum dan dimaklumkan oleh pihak yang berwenang serta punya perhatian terhadap masyarakat. Ia membedakan 3 macam hukum: (1) hukum abadi (lex aeterna); (2) hukum kodrat (lex naturalis); (3) hukum positif atau hukum manusia (lex humana).
Lex Aeterna tidak lain adalah Kebijaksanaan Allah sendiri yang menciptakan manusia karena Ia menghendaki agar manusia itu ada; kehendak penciptaan itu menjadi dasar hakekat atau kodrat semua ciptaan: manusia dan ciptaannya seluruhnya berkodrat sebagaimana mereka ada, karena itulah yang dikehendaki oleh Pencipta. Jadi Kebijaksanaan Allah sebagai yang menciptakan adalah hukum yang menentukan bahwa kita ini ada dan bagaimana kita ini ada.
Lex Naturalis adalah kodrat atau hakekat segala ciptaan sejauh menjadi aturan atau norma bagi cara manusia mewujudkan kehidupannya. Setiap manusia, sebagai makhluk yang berakalbudi, mempunyai pengetahuan kodrati tentang kodratnya sendiri dan dorongan-dorongan kodrati yang ditanamkan oleh Allah Penciptanya. Kodrat manusia adalah hukum yang digoreskan dalam hati dan budi setiap insan. Kewajiban ontologis manusia untuk melakukan yang baik dan menghindarkan yang jahat datang dari keterarahan ontologis kodrat manusia. Manusia sebagaimana semua makhluk lainnya secara niscaya terarah pada Yang Baik, yakni Allah sendiri, sebagai asal mula dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Hukum kodrat ada dan berfungsi dalam keterarahan dinamis manusia pada tujuan semestinya.
Karena segala sesuatu yang ada diatur dan diukur oleh kebijaksanaan ilahi dalam hukum abadi, dalam arti tertentu semua ciptaan ambil bagian dalam hukum abadi. Berkat cap hukum abadi segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah punya kecenderungan kodrati ke arah tujuan mereka yang semestinya. Kekhususan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan berkehendak bebas adalah bahwa ia ambil bagian secara khas dalam hukum abadi. Ia bisa mengetahui Yang Baik sebagai tujuan segenap ciptaan dan bisa menghayati kebebasan (eksistensial)nya untuk mengarahkan diri dan yang lain ke arah tujuan yang terakhir. Manusia dapat memilih mana di antara nilai-nilai yang ada di dunia ini yang membawa ke tujuannya yang terakhir. Manusia dapat menentukan sendiri bagaimana ia semestinya bertindak. Karena kebebasan ini manusia dapat pula bertindak melawan kodratnya sendiri. Hukum kodrat bagi manusia merupakan norma yang wajib ditaati, karena di situ lah kehendak sang Pencipta bisa dibaca. Karena kodrat setiap makhluk merupakan perwujudan kebijaksanaan sang Pencipta, maka kodrat mencerminkan kehendak Allah Sang Pencipta. Hidup sesuai dengan kodrat berarti hidup sesuai dengan kehendak Allah.
Lex Humana adalah sebutan bagi segala macam hukum, peraturan, adat-istiadat dsb. yang ditentukan oleh manusia sendiri untuk menata kehidupan bersama. Hukum positif atau hukum manusia ini hanyalah syah dan punya daya mengikat bagi warga masyarakat apabila sesuai dengan hukum kodrat. Hubungan antara hukum positif dengan hukum kodrat merupakan masalah penting dalam filsafat hukum.
Hukum kodrat mencerminkan keluhuran pribadi manusia, karena dalam faham ini manusia dipandang sebagai bisa mengetahui tata moral; ia bisa tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Pengertian teologis ‘dosa asal’ tidak dianggap sebagai yang merusak sepenuhnya seluruh kodrat ciptaan. Dalam terang akalbudi kodratinya, manusia dapat menangkap tatasusunan ontologis dari kodratnya yang menegaskan suatu kewajiban moral yang bersifat batin dan pribadi. Teori hukum kodrat juga mengungkapkan suatu kepercayaan yang mendalam terhadap kodrat manusia. Berbeda dengan Immanuel Kant yang menganggap kecenderungan-kecenderungan kodrati manusia pada dasarnya bertentangan dengan akal, Thomas Aquinas menganggap kecenderungan-kecenderungan kodrati manusia pada dasarnya baik. Ia tidak mengingkari bahwa kecenderungan-kecenderungan itu perlu dikendalikan dan diarahkan oleh akalbudi. Namun kecenderungan-kecenderungan kodrati itu merupakan bagian hakiki dari hidup moral dan bukan sekedar hal yang perlu ditekan. Kecende-rungan kodrati memberi dorongan pertama dan bahan pertimbangan akalbudi. Perincian umum pertama hukum kodrat diungkapkan melalui dorongan-dorongan dasar kodrat manusia.
Thomas Aquinas, mengikuti Aristoteles, membedakan tiga tingkat dorongan-dorongan dasar kodrati manusia: (1) sebagai makhluk yang ada manusia cenderung untuk mempertahankan kebe-radaannya; (2) sebagai makhluk yang termasuk jenis binatang, manusia cenderung untuk mencari makan dan membuat keturunan; (3) sebagai makhluk berakalbudi, manusia cenderung untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbudaya, dan berkeutamaan.
Isi pokok hukum kodrat adalah apa yang dinyatakan pada akalbudi sebagai prinsip yang membimbing ke arah Yang Baik. Prinsip akalbudi praktis yang pertama adalah sesuatu yang jelas dengan sendirinya bagi mereka yang bisa mengerti apa maknanya, yakni: “Yang baik itu wajib dicari dan yang jahat wajib dihindari” (bonum est prosequendum et malum vitandum). Dalam situasi konkret manusia mesti menggunakan akal sehatnya (recta ratio) untuk menilai kapan dan bagaimana kita mau mengikuti kecenderungan-kecenderungan kodrati kita yang baik dan menempatkan kecenderungan yang lebih rendah di bawah kecenderungan yang dalam hirarki nilai lebih tinggi. Kesehatan kehendak kita tergantung dari benar/salahnya penilaian akal sehat kita.
Prinsip akalbudi praktis yang kedua, yakni perintah-perintah yang diturunkan dari prinsip yang pertama, tidaklah jelas dari dirinya sendiri, masih bersifat umum, dan keberlakuannya hanya pada umumnya saja (ut in pluribus); prinsip tersebut membuka kemungkinan adanya kekecualian dalam situasi khusus. Seperti masih akan kita lihat, pengetrapan hukum kodrat dalam situasi konkret berpegang pada suara hati (conscientia). Suara hati menyatakan diri sebagai perintah akalbudi untuk mengikuti kewajiban moral dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap orang wajib mengikuti suara hatinya, kendati kadang-kadang suara hati bisa keliru. Karena ada kemungkinan keliru maka manusia juga wajib mendidik suara hatinya. Pendidikan suara hati akan membimbing ke hidup berkeutamaan, yakni hidup yang oleh Thomas Aquinas dikatakan sebagai kebiasaan untuk memilih dan menjalani yang baik.
2.4. Hukum Kodrat sebagai norma moral
Kodrat manusia adalah hukum tingkah laku atau norma moral untuk manusia, karena daripadanya kita bisa menurunkan seperangkat prinsip kelakuan yang bisa berlaku secara universal. Memang betul bahwa setiap pribadi manusia itu unik/khas, dan setiap orang dalam arti tertentu menentukan siapa dirinya. Namun tetap lah benar bahwa setiap manusia itu punya sifat-sifat hakiki tertentu yang melekat pada keberadaannya sebagai manusia. Sifat-sifat itu ia miliki bersama dengan manusia-manusia yang lain. Warna khusus (modalitas) sifat-sifat ini bisa berbeda-beda; namun, sejauh seseorang itu tetap manusia, ia senantiasa mempunyai sifat-sifat yang mencirikan kemanusiaannya.
Mengakui adanya hukum kodrat sebagai norma moral berarti secara hakiki mengakui bahwa ada prinsip-prinsip moral yang secara umum mengikat semua manusia atas dasar kodrat kemanusiaan mereka yang sama. Kehendak yang secara moral baik, sebagaimana juga ditegaskan oleh Kant, adalah kehendak yang mau mengambil prinsip yang bisa berlaku umum sebagai prinsip tingkah lakunya. Keberlakuan umum prinsip-prinsip moral bisa dilihat dalam tiga tingkatan:
(a) Karena keterarahan dasariah manusia pada tujuan terakhirnya, yakni keterarahan pada Yang Baik, seperti telah kita lihat di atas, prinsip moral yang pertama adalah: “Lakukanlah yang baik dan hindarilah yang jahat.” Prinsip moral ini secara intuitif jelas dengan sendirinya. Menjadi baik berarti semakin mengarah ke kepenuhan kodrat kemanusiaan kita. Kita mesti bertindak sedemikian rupa sehingga tindakan kita memang mengarahkan kita pada tujuan akhir, ke arah mana kita diciptakan. Dalam konteks Thomas Aquinas adalah persatuan kembali dengan Tuhan.
(b) Pada tingkat kedua, berdasarkan harkat kemanusiaan yang dimiliki setiap manusia, ada tindakan-tindakan tertentu yang dapat dikatakan dari kodratnya bertentangan dengan martabat dan keluhuran manusia. Sebagai contoh misalnya pembunuhan, penyiksaan, perbudakan, pelacuran dsb. Perbedaan pandangan dalam hal-hal ini seringkali muncul karena pengertian akan kodrat manusia dengan martabat dan keluhurannya sering dikaburkan oleh kurang pengertian, hati nurani yang sudah tumpul, dan karena dominasi suatu ideologi yang mengaburkan nilai harkat kemanusiaan yang sesungguhnya.
(c) Pada tingkat ketiga, yakni tingkat tindakan moral konkret, kendati benar lah bahwa setiap tindakan itu bersifat partikular dan situasional, namun suatu tindakan yang secara moral benar atau suatu kelakuan yang baik adalah juga tindakan atau kelakuan yang wajib dilakukan atau dimiliki oleh orang lain pula. Seperti pernah kita bicarakan dalam rangka pembicaraan tentang suara hati, suatu tindakan itu secara moral bisa dibenarkan secara objektif kalau setiap orang yang ada dalam posisi saya juga akan menilai dan bertindak sebagaimana saya sekarang menilai dan bertindak. Mingingat banyaknya perbedaan situasi dan kondisi tindakan, sudah lumrah kalau wujud tindakan konkret tidak selalu sama. Kendati begitu, sejauh tindakan itu tindakan moral, tindakan tersebut merupakan jawaban terhadap perintah yang sama untuk melakukan yang baik dan menghindarkan yang jahat. Nilai-nilai dasar seperti kasih, keadilan, kesetiaan dsb. berlaku umum, kendati bentuk pengungkapan konkret berbeda dari satu tempat/kebudayaan ke tempat/kebudayaan yang lain
2. 5. Hukum kodrat dalam situasi konkret
Pengertian hukum kodrat dalam pandangan Thomas Aquinas memberi tempat pada perspektif kesejarahan manusia. Selain memasyarakat, manusia secara hakiki juga menyejarah. Kategori waktu yang mengandung dimensi perubahan dan perkembangan, merupakan kategori yang tidak bisa diabaikan dalam mengerti kodrat manusia. Kendati tiga hubungan struktural manusia–yaitu keterbukaan terhadap Yang Baik, eksistensi sosial, keterjalinan dengan dunia fisis–merupakan sesuatu yang tetap berlaku dalam hidup manusia di dunia, namun penghayatan konkret hubungan tersebut mengalami perubahan dan perkembangan dalam perjalanan sejarah.
Kodrat manusia bukanlah suatu yang secara pasti, tetap, dan rinci sudah dirumuskan oleh Sang Pencipta sehingga manusia tinggal melaksanakannya, melainkan sesuatu yang masih bersifat umum dan terbuka bagi perkembangan. Teori etika hukum kodrat yang mendasarkan diri pada kodrat manusia, perlu dimengerti sebagai teori yang terbuka pula terhadap perkembangan dalam sejarah. Prinsip dasariah yang berlaku umum untuk melakukan yang baik dan menghindarkan yang jahat, untuk berlaku adil, untuk menghormati harkat kemanusiaan sesama dst. perlu dimengerti dalam terang kemungkinan bahwa manusia terbuka bagi perkembangan sejarah. Misalnya, pada jaman tertentu, karena kesadaran manusia akan hak-hak asasi belum berkembang seperti sekarang, perbudakan masih dianggap sebagai wajar dan tidak bertentangan dengan sikap hormat terhadap harkat kemanusiaan. Pada jaman sekarang, umum diterima bahwa perbudakan secara moral tidak bisa dibenarkan. Dimensi kesejarahan kodrat manusia merupakan alasan yang menerangkan mengapa, kendati kodrat manusia itu sama, namun ada perbedaan moralitas yang didasarkan atasnya.
2.6. Teori Hukum Kodrat dan Etika Teonom Murni
Di satu pihak keyakinan dasar etika teonom murni tertampung dalam teori hukum kodrat: Norma pengaturan kehidupan manusia adalah kehendak Allah. Jadi memang benar bahwa mausia harus hidup sesuai dengan kehendak Allah. Tetapi di lain pihak kehendak Allah nampak dalam kodrat manusia. Jadi berbeda dengan etika teonom, etika hukum kodrat dapat menjamin rasionalitas kesadaran moral: kehendak Allah harus ditaati karena itu sesuai dengan kodrat manusia, dan tentu saja manusia hanya dapat menemukan kebahagiaannya apabila ia hidup sesuai dengan kodratnya. Jadi ada kriteria objektif bagi kehendak Allah: kodrat manusia sebagai ungkapan kehendak Allah dan hukum abadi (lex aeterna).
Selain itu, teori hukum kodrat mengijinkan kita untuk mengerti bahwa seorang ateis pun apabila berkehendak baik dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah (tentu saja tanpa disadari/diakui bahwa demikian oleh pelakunya). Kodrat manusia dapat diketahui secara kodrati, jadi orang yang tidak tahu tentang Allah pun, yang tidak sadar bahwa kodratnya diciptakan oleh Allah, dapat saja memahami apa yang sesuai dan apa yang tidak sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Tambahan pula apabila ia berusaha untuk hidup sesuai dengan kodratnya ia dalam kenyataan juga memenuhi kehendak Allah. Jadi teori hukum kodrat tidak lagi membatasi kebaikan moral pada kepercayaan kepada Allah. (Dapat ditambahkan di sini bahwa orang yang hidup sesuai dengan suara hatinya, dengan atau tanpa mengetahuinya, mengiyakan panggilan Allah. Walaupun suara hati tidak identik dengan kehendak Allah, karena suara hati bisa betul bisa keliru, namun kemutlakan yang kita sadari dalam menaati suara hati adalah sebenarnya kesadaran akan Yang Mutlak. Manusia yang mengambil sikap terhadap suara hatinya berarti ia mengambil keputusan–yang sekali lagi bisa betul, bisa keliru–dalam kesadaran eksplisit atau implisit bahwa ia berhadapan dengan Allah).
2.7. Teori Hukum Kodrat dan Hak Asasi
‘Hak’ adalah kekuasaan moral atau wewenang pada seseorang untuk menuntut, melakukan, memiliki, atau melepaskan sesuatu bebas dari campur tangan orang lain. Pengertian hak erat berkaitan dengan pengertian kewajiban. Apa yang menjadi hak untuk seseorang merupakan kewajiban bagi orang lain yang bersangkutan dengan hak tersebut. Hak biasanya didasarkan atas hukum dan secara logis diturunkan dari kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh hukum. ‘Hak asasi’ adalah hak yang melekat pada setiap orang karena ia adalah pribadi manusia yang dari asal mula keberadaanya sudah dilengkapi oleh Penciptanya dengan wewenang-wewenang tertentu. Setiap manusia oleh karena itu dari kodrat kemanusiaannya bernilai pada dirinya sendiri dan tidak pernah boleh diperalat oleh manusia lain untuk mencapai tujuannya. Hak asasi kadang-kadang juga disebut hak kodrati atau hak yang tidak bisa diambilalih oleh orang lain.
Sistem etika yang berbeda mengandung pengertian yang berbeda pula dalam memahami hakikat hak. Bagi para penganut Positivisme Hukum, yang berpendapat bahwa dasar keabsahan atau pembenaran hukum terletak pada persetujuan bersama (consensus) yang diwakili oleh lembaga yang berwenang untuk menetapkan hukum seperti pemerintah misalnya, maka hakikat hak didasarkan atas hukum yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Hak-hak yang dimiliki manusia tidak hanya dijamin tetapi juga ditentukan oleh hukum yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Dalam paham hukum macam ini tidak ada hak yang melekat pada manusia sebagai manusia atau hak yang didasarkan atas kodrat kemanusiaannya.
Menurut paham etika hukum kodrat, mendahului dan mengatasi hukum positif yang dalam kenyataan diundangkan dalam suatu masyarakat oleh lembaga pemerintah, ada hukum yang lebih dasariah, hukum yang tak tertulis dengan tinta tetapi yang tergores dalam hati sanubari setiap insan, yakni hukum kodrat. Para penganut paham ini berpendapat bahwa keabsahan dan daya pengikat hukum positif hanya berlaku sejauh itu sesuai dengan hukum kodrat. Adanya hukum kodrat ini menjamin adanya hak-hak kodrati atau hak asasi yang melekat pada setiap pribadi manusia. Pemerintah, sebagai lembaga hukum dalam masyarakat, perlu menghormati hak-hak azasi ini dan menjamin pelaksanaannya melalui hukum yang diundangkannya.
Hak asasi merupakan hak yang tidak pernah boleh diambil alih oleh orang lain, juga oleh pemerintah, karena hak-hak itu tidak diberikan oleh pemerintah, masyarakat, ataupun suatu otoritas manusia yang lain. Adanya hak-hak asasi sebagai hak-hak kodrati mengalir dari adanya hukum kodrat. Kalau kita wajib untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu oleh karena tuntutan kodrat kita, kita juga punya hak kodrati untuk bisa melaksanakan kewajiban tersebut.
Ajaran tentang adanya hak-hak kodrati sudah muncul pada jaman Yunani kuno. Dalam perjalanan sejarah hak-hak tersebut sering kurang dihormati. Sistem-sistem pemerintahan politik yang bersifat totaliter cenderung untuk memperkosa hak-hak tersebut. Usaha perlindungan hak-hak azasi manusia terhadap pemerkosaan dan penindasan menelorkan sebuah deklarasi tentang hak-hak azasi yang disebut Charter of Human Rights. Deklarasi yang disetujui oleh Sidang Umum PBB pada tgl. 10 Desember 1948 ini memaklumkan pokok-pokok deklarasi hak-hak azasi tersebut sebagai “tolok ukur bagi semua bangsa dan semua negara.” Karena praktek-praktek yang melanggar hak azasi masih banyak terjadi, maka deklarasi tersebut bermaksud untuk memperkuat usaha kita untuk menghormati dan menjamin terlaksananya hak-hak asasi. Deklarasi ini terdiri dari 30 artikel dan menegaskan banyak hak-hak yang kebanyakan didasarkan atas kodrat dan eksistensi manusia.
2.8. Kekuatan Teori Etika Hukum Kodrat
Dibandingkan dengan teori etika yang lain, teori etika hukum kodrat mempunyai beberapa kekuatan atau arti positif.
(1) Pengertian kodrat manusia cukup umum untuk bisa memuat macam-macam nilai yang memperkembangkan manusia. Dengan ini pluriformitas nilai bisa dijamin.
(2) Pengertian kodrat manusia sebagai hukum yang mendasari segala hukum yang ditetapkan oleh manusia bisa berfungsi kritis terhadap hukum-hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
(3) Penekanan pada peranan akalbudi sebagai prinsip pengaturan tingkah laku bisa menjamin objektivitas dan keberlakuan umum prinsip moral yang ditegaskan.
(4) Bisa mengambil unsur positif etika teonom tanpa menjadikannya etika keagamaan. Seperti sudah kita lihat etika hukum kodrat memahami kehendak Allah bukan sebagai sesuatu yang mengambang di atas manusia dan hanya bisa diketahui oleh orang yang beriman, melainkan sebagai sesuatu yang mengembangkan dan memelihara semua dimensi kemanusiaan kita dalam dunia ini sejauh itu bisa ditangkap oleh akalbudi manusia.
2.9. Kelemahan Teori Hukum Kodrat
Teori etika hukum kodrat mempunya tiga kekurangan pokok:
(1) Faham kodrat manusia yang begitu umum, yang dalam arti tertentu dapat menjadi kekuatan teori hukum kodrat, dapat juga menjadi titik lemahnya. Karena begitu umum, maka sangat sulit untuk dipastikan apa artinya atau apa isi yang terkandung dalam pengertian tersebut. Macam-macam filsafat manusia bisa memberikan pandangan yang berbeda mengenai apa dan siapa manusia itu, sehingga paham tentang kodrat manusia bisa juga berbeda tergantung dari filsafat manusia mana yang dianut seseorang. Dengan demikian menjadi sulit sekali untuk menentukan sikap-sikap apa yang sesuai dengan kodrat manusia karena tidak dapat dipastikan dan sulit dicapai persetujuan mengenai apa yang dimaksudkan dengan kodrat manusia. Bahkan ada bahaya bahwa masing-masing filsof merumuskan dulu apa yang termasuk kodrat manusia menurut prasangka atau kepentingannya sendiri, untuk kemudian dapat mempermaklumkan bahwa tindakan-tindakan tertentu “sesuai dengan kodrat manusia” atau merupakan “kewajiban moral”, padahal hal-hal itu hanyalah buah prasangka pribadi/ kelompok/ kultural orang itu.
(2) Bahkan seandainya kita bisa mengetahui apa yang menjadi isi kodrat manusia kita masih belum dapat menarik kesimpulan tentang sikap mana yang sesuai dengan itu. Seperti sudah ditegaskan oleh G. E. Moore (dalam bukunya Principia Ethica) dari suatu fakta, secara logis tidak bisa disimpulkan suatu keharusan. Penalaran yang tidak mematuhi prinsip ini jatuh ke dalam apa yang ia sebutkan sebagai “the naturalistic fallacy.” Sebagai contoh misalnya dari fakta bahwa manusia dari kodratnya akan mati kalau minum racun tidak bisa disimpulkan suatu keharusan yang melarang siapapun untuk minum racun.
(3) Walaupun teori hukum kodrat, dengan dimasukkannya dimensi yang mengatasi kehidupan di dunia ini, dapat dikatakan sudah jauh mengatasi eudaimonisme Aristoteles, namun teori ini pun belum seluruhnya bebas dari pendekatan egoistik dalam hidup bermoral. Misalnya kalau orang berbuat baik dan bertindak adil hanya supaya dirinya nanti masuk surga, kiranya belum mencukupi sebagai sikap moral, karena motivasi macam itu belum menjelaskan kekhasan tuntutan kebaikan dan keadilan.
--------------------------------------------------
[1]Dalam Nichomachean Ethics, X, 7 (1177a27-1177b1): Aristoteles menegaskan demikian: “And the self-sufficiency is spoken of must belong most to the contemplative activity. For while a philosopher, as well as a just man or one possessing any other virtue, needs the necessaries of life, when they are sufficiently equipped with things of that sort, the just man needs people towards whom and with whom he shall act justly, and the temperate man, the brave man, and each of the others is in the same case, but the philosopher, even when by himself, can contemplate truth, and the better the wiser he is; he can perhaps do so better if he has fellow-workers, but still he is the most self-sufficient. And this activity alone would seem to be loved for its own sake; for nothing arises from it apart from the contemplating, while from practical activities we gain more or less apart from the action.”
[2]“…that which is proper to each thing is by nature best and most pleasant for each thing; for man, therefore, the life according to reason is best and pleasantest, since reason more than anything else is man. This life therefore is also the happiest.”
[3]“But in a secondary degree the life in accordance with the other kind of virtue is happy; for the activities in accordance with this befit our human estate. Just and brave acts, and other virtuous acts, we do in relation to each other, observing our respective duties with regard to contracts and services and all manner of actions and with regard to passions.”
[4]Jacques Maritain, Moral Philosophy: An historical and critical survey of the great systems (New York: Charles Scribner’s Sons, 1964) p. 49.
[5]Dr. Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987) h. 120-21.