Bumi seolah dikitari duabelas matahari. Di hari Senin, 16 Januari 2012 Jakarta berseri setelah kuyup kepengapan air hujan dalam sepekan. Air kehidupan yang kerap menjadi bencana jika tak ada kesimbangan alam lagi. Air yang kerap menjadi tangisan anak negeri manakala rasa syukur sirna berlalu tanpa batas. Hari ini Jakarta seolah tersenyum. Siangnya cerah, malamnya penuh bintang. Orang-orang tergelak dalam kebahagiaan, bercanda dengan awan-awan dan bersyair tanpa henti.
Saya amat merasakan kebahagiaan Jakarta kali ini, seolah memutar balik arah jarum jam seperti pertama kali memutuskan hidup di Jakarta dua tahun silam, meski harus berpisah dengan seribu cinta anak-istri di kampung halaman. Jakarta memang telah menjadi dambaan jutaan manusia Indonesia untuk bertatutan dengan peluh kehidupan yang menetes setiap harinya.
Di Bilangan Atrium Senen, saya menangkap sunggingan senyum seorang perempuan tua yang tiap hari bersimpuh dan menengadahkan tangan, berharap seuntai kasih sayang sesamanya. Berharap koin melenting dalam kaleng yang suaranya adalah senyum kebahagiannya. Ibu itu memang pengemis jalanan, tetapi ia tetaplah ibu yang punya cinta kasih pada anak-anaknya. Ia punya tujuan mulya untuk tetap bertahan meski dalam padangan orang lain adalah sebuah kehinaan.
Tak kuat rasanya menatap wajah Ibu Tua itu. Terbayang jika ia adalah milik kita. Tak sepantasnya ia dibiarkan terus duduk dalam penantian belas kasihan, dan membuat scenario kehidupan dramatis hanya untuk sereceh koin yang bagi banyak orang dinilainya tak bermanfaat lagi. Mungkin ia pemalas, tapi tak pantas membiarkannya terus terduduk dan dengan kepongahan kita berlalu menderukan kendaraan lalu memincingkan sebelah mata dan berkata “Ah, mereka itu pemalas saja”. Mungkin mengemis adalah pencarian kehidupannya, tapi tak pantas kita bertahan dengan seperak kepingan mata uang yang belum tentu membuat kita kaya. Saya hanya menghardik diri sendiri, mengapa bangsa ini telah melarutkan mereka dalam kemiskinan semunya?
“Nak siapa namamu?” Tanya perempuan tua itu. Saya tak menjawabnya bukan karena kesombongan. Saya hanya tak kuat berlama-lama di depannya, sebab seribu memori kehidupan seolah terbentang bak layar film kehidupan, dan mempertontonkan jika perempuan itu adalah orang terdekat kita, anak kita atau mungkin ibu kita. Duh!! Rasanya sebulir air mata akan terjatuh, jika kita bisa memaknai akan arti perjuangan mereka. Apalagi saya bukanlah Robin Hood yang terbiasa merampok harta orang kaya lalu membagikannya ke fakir miskin. Saya juga tak ingin ria di matanya hanya dengan seribu perak di gemgamannya. Pengemis memang pemandangan lazim di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di negeri ini. Tapi tidak berarti menjadikan jiwa kita terbiasa dengan kehidupan yang pada saatnya membutakan mata hati akan arti sebuah kepedulian. Saya hanya ingin mengajak, dan berkata; “Jangan takut untuk memberi, apapun motif dan cara mereka untuk mengemis”.
---------------------------------
Pukul 21.00 WIB, Tebet di malam hari tak segemerlap biasanya. Hanya hiruk pikuk kendaraan lazimnya di Jakarta yang bergerak tanpa henti. Berdua dengan seorang kawan menuju sebuah warung kuliner yang telah menjadi buah bibir pesohor Tanah Air. Namanya ‘Soto Gebraak’ Cak Anton. Kuliner Jawa Timur-an. Saya menilainya seperti itu setelah memandang deretan foto-foto artis yang pernah berkunjung ke sana. Seperti galeri yang sebenarnya bukan ‘pamer’ tetapi lebih pada branding si pemilik agar mendapatkan kepercayaan pelanggan, bahwa soto-nya begitu laku dan terpercaya. Padahal jika mau jujur, rasa ‘soto gebrak’ ini tak ubahnya dengan ‘Sop Saudara’ khas Pangkep (Sulsel), kampung saya. Jadi tak asing lagi di lidah.
Yang menjadi pembeda dengan kuliner lainnya, Anda harus siap-siap ‘jantungan’ sebab ketika Anda asyik menikmati makanan Anda, dalam beberapa menit kemudian terdengar suara riuh ‘gebrakkk’. Saya dan kawan menoleh ke arah si peracik soto, seolah mau protes akan sistem layanan yang terkesan kurang sopan. Si peracik hanya tersenyum kecil. Beberapa menit kemudian, suara gebrak itu muncul lagi. Beberapa kemudian beberapa menit lagi, riuh lagi…
Owh..ternyata ini ciri khas kuliner Cak Anton ini. Jadi jika Anda ingin menikmati soto ini siap-siaplah untuk ‘kaget-kagetan’. Tapi jika ingin dilihat sisi baiknya, maka Soto Gebrak ini bisa jadi ‘arena’ menguji kestabilan emosi’ Anda. Tapi percayalah, jika Anda memiliki riwayat penyakit jantung, atau Anda seorang militer yang belum lulus psikologi pemegang senjata api, saya sarankan untuk tidak ke tempat ini. Sebab akan berefek negative. Bukan lagi riuh, tetapi akan terjadi kegaduhan. (Maaf Cak Anton, ini demi kemanusiaan, hahahahah…) Duh, ada-ada saja orang mencari hidup di Jakarta ini…semuanya serba scenario, bukan realitas yang sebenarnya. Tapi itulah cara untuk bertahan dan menyiasati derasnya persaingan kehidupan…
---------------------------------------
Pukul 22.00 WIB, kamar kos saya tampak begitu indah untuk saya tiduri. Ada kenyamanan hinggap di sana..ada kedamaian seolah bersenandung di hati… Senin ini Jakarta berseri, Jakarta seolah menjelma seperti sunggingan senyuman seorang istri tercinta di kampung halaman yang menidurkan saya dalam dekapannya, yang membelai dengan usapan tangannya yang tiada henti, yang memberi sekecup ciuman dan mengucapkan selamat malam. Jakarta..kamu memang kota yang penuh misteri. Saya hanya berharap semoga kota ini tetap bersahabat dan terus membesarkanku seperti cita-citaku di masa silam. Membuka mata hati anak-istriku dan orang-orang yang kucintai, jika saya baik-baik saja di ibukota.
Jakarta, terus ajarkan aku tentang makna kehidupan!!
Saya amat merasakan kebahagiaan Jakarta kali ini, seolah memutar balik arah jarum jam seperti pertama kali memutuskan hidup di Jakarta dua tahun silam, meski harus berpisah dengan seribu cinta anak-istri di kampung halaman. Jakarta memang telah menjadi dambaan jutaan manusia Indonesia untuk bertatutan dengan peluh kehidupan yang menetes setiap harinya.
Di Bilangan Atrium Senen, saya menangkap sunggingan senyum seorang perempuan tua yang tiap hari bersimpuh dan menengadahkan tangan, berharap seuntai kasih sayang sesamanya. Berharap koin melenting dalam kaleng yang suaranya adalah senyum kebahagiannya. Ibu itu memang pengemis jalanan, tetapi ia tetaplah ibu yang punya cinta kasih pada anak-anaknya. Ia punya tujuan mulya untuk tetap bertahan meski dalam padangan orang lain adalah sebuah kehinaan.
Tak kuat rasanya menatap wajah Ibu Tua itu. Terbayang jika ia adalah milik kita. Tak sepantasnya ia dibiarkan terus duduk dalam penantian belas kasihan, dan membuat scenario kehidupan dramatis hanya untuk sereceh koin yang bagi banyak orang dinilainya tak bermanfaat lagi. Mungkin ia pemalas, tapi tak pantas membiarkannya terus terduduk dan dengan kepongahan kita berlalu menderukan kendaraan lalu memincingkan sebelah mata dan berkata “Ah, mereka itu pemalas saja”. Mungkin mengemis adalah pencarian kehidupannya, tapi tak pantas kita bertahan dengan seperak kepingan mata uang yang belum tentu membuat kita kaya. Saya hanya menghardik diri sendiri, mengapa bangsa ini telah melarutkan mereka dalam kemiskinan semunya?
“Nak siapa namamu?” Tanya perempuan tua itu. Saya tak menjawabnya bukan karena kesombongan. Saya hanya tak kuat berlama-lama di depannya, sebab seribu memori kehidupan seolah terbentang bak layar film kehidupan, dan mempertontonkan jika perempuan itu adalah orang terdekat kita, anak kita atau mungkin ibu kita. Duh!! Rasanya sebulir air mata akan terjatuh, jika kita bisa memaknai akan arti perjuangan mereka. Apalagi saya bukanlah Robin Hood yang terbiasa merampok harta orang kaya lalu membagikannya ke fakir miskin. Saya juga tak ingin ria di matanya hanya dengan seribu perak di gemgamannya. Pengemis memang pemandangan lazim di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di negeri ini. Tapi tidak berarti menjadikan jiwa kita terbiasa dengan kehidupan yang pada saatnya membutakan mata hati akan arti sebuah kepedulian. Saya hanya ingin mengajak, dan berkata; “Jangan takut untuk memberi, apapun motif dan cara mereka untuk mengemis”.
---------------------------------
Pukul 21.00 WIB, Tebet di malam hari tak segemerlap biasanya. Hanya hiruk pikuk kendaraan lazimnya di Jakarta yang bergerak tanpa henti. Berdua dengan seorang kawan menuju sebuah warung kuliner yang telah menjadi buah bibir pesohor Tanah Air. Namanya ‘Soto Gebraak’ Cak Anton. Kuliner Jawa Timur-an. Saya menilainya seperti itu setelah memandang deretan foto-foto artis yang pernah berkunjung ke sana. Seperti galeri yang sebenarnya bukan ‘pamer’ tetapi lebih pada branding si pemilik agar mendapatkan kepercayaan pelanggan, bahwa soto-nya begitu laku dan terpercaya. Padahal jika mau jujur, rasa ‘soto gebrak’ ini tak ubahnya dengan ‘Sop Saudara’ khas Pangkep (Sulsel), kampung saya. Jadi tak asing lagi di lidah.
Yang menjadi pembeda dengan kuliner lainnya, Anda harus siap-siap ‘jantungan’ sebab ketika Anda asyik menikmati makanan Anda, dalam beberapa menit kemudian terdengar suara riuh ‘gebrakkk’. Saya dan kawan menoleh ke arah si peracik soto, seolah mau protes akan sistem layanan yang terkesan kurang sopan. Si peracik hanya tersenyum kecil. Beberapa menit kemudian, suara gebrak itu muncul lagi. Beberapa kemudian beberapa menit lagi, riuh lagi…
Owh..ternyata ini ciri khas kuliner Cak Anton ini. Jadi jika Anda ingin menikmati soto ini siap-siaplah untuk ‘kaget-kagetan’. Tapi jika ingin dilihat sisi baiknya, maka Soto Gebrak ini bisa jadi ‘arena’ menguji kestabilan emosi’ Anda. Tapi percayalah, jika Anda memiliki riwayat penyakit jantung, atau Anda seorang militer yang belum lulus psikologi pemegang senjata api, saya sarankan untuk tidak ke tempat ini. Sebab akan berefek negative. Bukan lagi riuh, tetapi akan terjadi kegaduhan. (Maaf Cak Anton, ini demi kemanusiaan, hahahahah…) Duh, ada-ada saja orang mencari hidup di Jakarta ini…semuanya serba scenario, bukan realitas yang sebenarnya. Tapi itulah cara untuk bertahan dan menyiasati derasnya persaingan kehidupan…
---------------------------------------
Pukul 22.00 WIB, kamar kos saya tampak begitu indah untuk saya tiduri. Ada kenyamanan hinggap di sana..ada kedamaian seolah bersenandung di hati… Senin ini Jakarta berseri, Jakarta seolah menjelma seperti sunggingan senyuman seorang istri tercinta di kampung halaman yang menidurkan saya dalam dekapannya, yang membelai dengan usapan tangannya yang tiada henti, yang memberi sekecup ciuman dan mengucapkan selamat malam. Jakarta..kamu memang kota yang penuh misteri. Saya hanya berharap semoga kota ini tetap bersahabat dan terus membesarkanku seperti cita-citaku di masa silam. Membuka mata hati anak-istriku dan orang-orang yang kucintai, jika saya baik-baik saja di ibukota.
Jakarta, terus ajarkan aku tentang makna kehidupan!!
**
.