26 Januari 2012
Kemarin saya di Pantai Ancol Jakarta, sungguh indah gemericik deburan ombak laut Jawa, di sana saya mendengar merdu kicau burung laut yang bersahut-sahutan, dan jauh dari kepongahan gedung-gedung pencakar langit di pusat kota. Bulan saya di Pantai Kamali Baubau-Sultra, lautnya tenang membiru dan anginnya seolah mengantar kita di alam surga. Tahun lalu saya di Pantai Kuta-Bali, bentangan pasir putihnya begitu damai dengan gulungan ombak seolah menukik sunset sore yang meronakan jingga di setiap raga pengunjungnya. Maka wajarlah jika para wisatawan mancanegara memuji : “Indonesian is very beautifull!”
Malam ini saya tengah menonton sebuah acara TV nasional yang mengabarkan pergolakan warga Bima yang nekat membakar Kantor Bupati setempat. Adu jotos dan suara letupan senjata api menggema bersahutan. Bulan lalu juga saya menyaksikan bagaimana tayangan TV yang mengabarkan derita warga Mesuji Lampung yang tewas secara keji karena terbantai, begitupula Sondang Hutagalung membakar dirinya hingga wafat.. Dan tahun lalu saya menyaksikan tayangan TV tentang penembakan seorang polisi oleh oknum tak di kenal di Papua. Bahkan secara terus menerus, kita semua mendengar kabar isu korupsi setiap harinya tak henti ditayangkan. Maka wajarlah jika orang luar berkata pada kita, “Today, Indonesian very dangerous!”
Inilah dua kesaksian dan realita yang menggambarkan kontradiksi alam Indonesia dan penduduknya. Rasanya sulit lagi kita berkata, mengapa negeri ini seolah tak lagi sikap toleran dengan dirinya sendiri. Begitu mudah kita mengumbar curiga yang membuat orang lain bisa murka. Begitu mudah kita saling menghardik karena kita tak punya batasan lagi dalam berfikir dan bertindak. Inikah negeri bebas dimana kita bisa sebebas-bebasnya berekspresi. Dimana jati diri kita sebagai bangsa yang berbudaya?
Ini surat cinta pada sang Pemimpin, Pak SBY. Saya tak ingin membungkammu dengan satu kata ‘mundur jika tak mampu’. Saya hanya ingin bertanya dimana kepedulianmu sebagai pemimpin rakyat? Apakah Bapak telah dibutakan dengan ‘suara-suara’ yang setiap hari bersenandung di depan Istana Negara-mu? Apakah Bapak telah dihimpit dengan sekelompok golongan yang sekedar mencari muka dihadapanmu. Pak ! Negeri ini dalam genggamanmu, engkau punya kuasa untuk memberi rasa cinta pada jutaan rakyatmu. Engkau punya kuasa untuk mengharibirukan negerimu dengan kebangkitan, dengan kejayaan dan kesejahteraan.
Pak! Bagi kami, tak ada yang sulit jika engkau ingin bangsa ini lebih baik. Jangan ragu jika bertindak jika kekuasaan telah digemgamanmu. Engkau itu adalah khalifah yang memimpin ratusan juta orang di sepertiga belahan bumi bernama Indonesia? Mengapa Engkau selalu ragu dan seolah risau dengan apa yang engkau ingin lakukan? Berbuatlah, jika itu demi rakyatmu. Masih ada waktu yang berbilang tahun jika dirimu mau memberi yang terbaik. Jangan malu mencontoh ‘Sondang’ yang rela menjadi martir atas sebuah ketidak-adilan? Jangan malu menjadi ‘Mandela’ yang berjuang atas ‘hak rakyat’ yang tertindas?, jangan malu menjadi ‘Ahmadinejad’ yang memimpin rakyatnya dengan kesederhanaan? Jangan malu mencontoh ‘Soekarno’ yang selalu setia membakar semangat rakyatnya dengan asa panjang.
Pak memang sulit menjadi pemimpin negara. Tetapi Anda telah terpilih menjadi ‘satu’ yang paling terbaik dari 200 juta lebih orang Indonesia. Tidak selayaknya mengeluh seperti jutaan pengemis di ibukota yang tiap hari menegadahkan tangan hanya untuk sereceh koin kebahagiaan. Saya hanya berharap, sisa waktu kepemimpinannmu engkau bisa menjadi lilin yang rela meleleh untuk menerangi alam sekitarmu. Dirimu tak sendiri dalam bekerja. Dirimu juga bukan seorang pandir. Engkau pribadi yang paripurna, seorang jenderal, seorang doctor, seorang haji, seorang presiden, seorang yang gagah dan tampan. Lalu mengapa engkau campakkan segala kemampuanmu itu. Tak elok rasanya, dirimu setiap harinya diminta mundur sebagai inkonsistensi dari apa yang engkau miliki saat ini?
Pak Presiden. Kami masih punya cinta pada bangsa ini. Maka berikanlah pula cintamu pada negerimu sendiri. Jika tidak, maka berfikir panjanglah! Sebab rakyat akan menjemputmu jika cintamu telah berpaling. Maaf. Ini hanya kalimat-kalimat yang mungkin engkau anggap tak punya apa-apa. Tapi kami punya sejuta makna dalam bait kata-kata ini.
Selamat Malam Pak Presiden!
Kemarin saya di Pantai Ancol Jakarta, sungguh indah gemericik deburan ombak laut Jawa, di sana saya mendengar merdu kicau burung laut yang bersahut-sahutan, dan jauh dari kepongahan gedung-gedung pencakar langit di pusat kota. Bulan saya di Pantai Kamali Baubau-Sultra, lautnya tenang membiru dan anginnya seolah mengantar kita di alam surga. Tahun lalu saya di Pantai Kuta-Bali, bentangan pasir putihnya begitu damai dengan gulungan ombak seolah menukik sunset sore yang meronakan jingga di setiap raga pengunjungnya. Maka wajarlah jika para wisatawan mancanegara memuji : “Indonesian is very beautifull!”
Malam ini saya tengah menonton sebuah acara TV nasional yang mengabarkan pergolakan warga Bima yang nekat membakar Kantor Bupati setempat. Adu jotos dan suara letupan senjata api menggema bersahutan. Bulan lalu juga saya menyaksikan bagaimana tayangan TV yang mengabarkan derita warga Mesuji Lampung yang tewas secara keji karena terbantai, begitupula Sondang Hutagalung membakar dirinya hingga wafat.. Dan tahun lalu saya menyaksikan tayangan TV tentang penembakan seorang polisi oleh oknum tak di kenal di Papua. Bahkan secara terus menerus, kita semua mendengar kabar isu korupsi setiap harinya tak henti ditayangkan. Maka wajarlah jika orang luar berkata pada kita, “Today, Indonesian very dangerous!”
Inilah dua kesaksian dan realita yang menggambarkan kontradiksi alam Indonesia dan penduduknya. Rasanya sulit lagi kita berkata, mengapa negeri ini seolah tak lagi sikap toleran dengan dirinya sendiri. Begitu mudah kita mengumbar curiga yang membuat orang lain bisa murka. Begitu mudah kita saling menghardik karena kita tak punya batasan lagi dalam berfikir dan bertindak. Inikah negeri bebas dimana kita bisa sebebas-bebasnya berekspresi. Dimana jati diri kita sebagai bangsa yang berbudaya?
Ini surat cinta pada sang Pemimpin, Pak SBY. Saya tak ingin membungkammu dengan satu kata ‘mundur jika tak mampu’. Saya hanya ingin bertanya dimana kepedulianmu sebagai pemimpin rakyat? Apakah Bapak telah dibutakan dengan ‘suara-suara’ yang setiap hari bersenandung di depan Istana Negara-mu? Apakah Bapak telah dihimpit dengan sekelompok golongan yang sekedar mencari muka dihadapanmu. Pak ! Negeri ini dalam genggamanmu, engkau punya kuasa untuk memberi rasa cinta pada jutaan rakyatmu. Engkau punya kuasa untuk mengharibirukan negerimu dengan kebangkitan, dengan kejayaan dan kesejahteraan.
Pak! Bagi kami, tak ada yang sulit jika engkau ingin bangsa ini lebih baik. Jangan ragu jika bertindak jika kekuasaan telah digemgamanmu. Engkau itu adalah khalifah yang memimpin ratusan juta orang di sepertiga belahan bumi bernama Indonesia? Mengapa Engkau selalu ragu dan seolah risau dengan apa yang engkau ingin lakukan? Berbuatlah, jika itu demi rakyatmu. Masih ada waktu yang berbilang tahun jika dirimu mau memberi yang terbaik. Jangan malu mencontoh ‘Sondang’ yang rela menjadi martir atas sebuah ketidak-adilan? Jangan malu menjadi ‘Mandela’ yang berjuang atas ‘hak rakyat’ yang tertindas?, jangan malu menjadi ‘Ahmadinejad’ yang memimpin rakyatnya dengan kesederhanaan? Jangan malu mencontoh ‘Soekarno’ yang selalu setia membakar semangat rakyatnya dengan asa panjang.
Pak memang sulit menjadi pemimpin negara. Tetapi Anda telah terpilih menjadi ‘satu’ yang paling terbaik dari 200 juta lebih orang Indonesia. Tidak selayaknya mengeluh seperti jutaan pengemis di ibukota yang tiap hari menegadahkan tangan hanya untuk sereceh koin kebahagiaan. Saya hanya berharap, sisa waktu kepemimpinannmu engkau bisa menjadi lilin yang rela meleleh untuk menerangi alam sekitarmu. Dirimu tak sendiri dalam bekerja. Dirimu juga bukan seorang pandir. Engkau pribadi yang paripurna, seorang jenderal, seorang doctor, seorang haji, seorang presiden, seorang yang gagah dan tampan. Lalu mengapa engkau campakkan segala kemampuanmu itu. Tak elok rasanya, dirimu setiap harinya diminta mundur sebagai inkonsistensi dari apa yang engkau miliki saat ini?
Pak Presiden. Kami masih punya cinta pada bangsa ini. Maka berikanlah pula cintamu pada negerimu sendiri. Jika tidak, maka berfikir panjanglah! Sebab rakyat akan menjemputmu jika cintamu telah berpaling. Maaf. Ini hanya kalimat-kalimat yang mungkin engkau anggap tak punya apa-apa. Tapi kami punya sejuta makna dalam bait kata-kata ini.
Selamat Malam Pak Presiden!