Hampir
tiga pekan setelah menulis cerita Pak Soemardi yang berkisah tentang
kerendahan hati ‘adik juniornya’ Prabowo Subianto selama di militer,
saya menjadi vakum dalam menulis kisah-kisah serupa. Jujur, saya
memasuki fase tahap kejenuhan untuk menemukan ‘titik-titik baru’ yang
menjadi nilai-nilai humanistik seorang Prabowo Subianto dalam diorama
kehidupannya menggapai kepemimpinan nasional di tahun 2014 mendatang.
Hanya
satu hal yang membuat saya ‘betah’ untuk tetap menulis Pak Prabowo
adalah pengaruh Prabowo kerap membuat siapa yang berkisah tentang
dirinya akan menjadi lebih bersemangat kembali. Seolah menemukan kembali
‘masa hero’ yang pernah dilakoninya bersama. Saya lalu bertanya dalam
hati, ada apa yang dimiliki seorang Prabowo Subianto, sehingga orang
bisa seperti itu?
Saya
menangkap fenomena ini, pada sosok Soemardi, seorang purnawiran perwira
militer yang sepekan ini terus mengungkapkan ‘semangat hidupnya’ dan
terus mencari jalan untuk memenangkan Pak Prabowo di Pilpres mendatang,
meski Pak Prabowo sendiri tidak mengetahui ‘niat baik’ seorang Pak
Soemardi. “Dik Hamzah, ayo terus kita yakinkan rakyat Indonesia, bahwa
Pak Prabowo itu adalah pemimpin masa depan kita. Jangan pernah kita
berhenti mengabarkan pada publik bahwa kita masih punya pemimpin yang
hidupnya akan sepenuhnya diberikan pada rakyatnya. Itulah Prabowo
Subianto,” ungkap Pak Soemardi berkali-kali melalui saluran teleponnya.
Saya
menangkap sugesti Pak Soemardi seperti api yang tengah membara ditengah
usianya yang tak lagi energik. Pengusaha yang merupakan kerabat dekat
keluarga Ibu Mien Soegandi ini tampaknya menjadi penebar semangat
anak-anak muda Indonesia yang mengimpikan lahirnya pemimpin nasional
yang berkarakter ‘khas Indonesia’. “Anda anak-anak muda Indonesia,
jangan ragukan kemampuan Pak Prabowo, saya yang sudah sepuh saja masih
berharap Indonesia menemukan pemimpin ala Prabowo Subianto,” tegasnya.
Ketika
saya bertanya ‘terbuka’ pada diri Pak Soemardi, mengapa dirinya begitu
bersemangat dalam memandang sosok Prabowo Subianto? Apakah Pak Soemardi
memiliki kepentingan pragmatis pada sosok adik juniornya itu? “Jangan
nilai saya seperti itu Dik!” nada Pak Soemardi mulai meninggi. Meski
hanya menyimak Pak Soemardi melalui saluran telepon, tetapi saya seolah
memandang langsung wajahnya, seolah ada nada ketidak-sukaan atas
pertanyaan saya tersebut.
“Dik
Hamzah, saya dan Dik Prabowo selama ini jarang bertemu. Saya juga sibuk
dengan aktivitas di Central Park. Saya belakangan ini saya sowan pada
ibu Mien Sugandi, lagi pula sepekan ini saya ada di Bandung. Niat saya
ke Pak Prabowo amat sederhana, beliau kita harapkan menjadi pemimpin
republik dan mampu mensejahterakan rakyat Indonesia. Tidak lebih dari
itu,” tandasnya.
Mendengar
kata ‘Central Park’ dan nama Ibu Mien Soegandi, saya terdiam sejenak
dan melayangkan pikiran jauh ke depan. Tentu karena Central Park adalah
sebuah kawasann elit di Jakarta. Apalagi kalau menyatakan tinggal di
kawasan itu. Tentu Pak Soemardi bukanlah sosok biasa dari segi
financial. Saya tahu, orang-orang yang tinggal di kawasan itu tentu
orang yang hidupnya lebih dari kata cukup. Makanya wajar kemudian, jika
ada pertanyaan yang bermakna ‘pragmatis’, Pak Soemardi langsung
membantahnya. Apalagi, jika dikait-kaitkan dengan nama besar Ibu Mien
Soegandi yang merupakan kerabat dekat Pak Soemardi sebagai sosok menteri
yang pernah berjaya di zaman pemerintahan Pak Harto.
Membaranya
api ‘semangat’ Pak Soemardi tidak hanya melalui pesan-pesan komunikasi
verbal. Pak Soemardi sepekan lalu menemui saya dan rekan-rekan pengurus
Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Gerakan Rakyat Dukung (Gardu) Prabowo, di
sana Pak Soemardi memaparkan satu ‘buku kecil’ yang ia buat sendiri,
memperlihatkan dua alternatif cara bertindak dalam system kepemimpinan
nasional. Beliau punya solusi, belaiu punya cara berfikir taktis dan
tidak pragmatis. “Ini harus kita ramu sedemikian rupa, dan bisa memberi
jalan buat Pak Prabowo. Ini tugas kita bersama” ajaknya.
Ketika
bertutur, saya melihat sebuah tetesan keringat semangat Pak Soemardi,
seperti seorang semangat satria yang gigih memperjuangkan cita-citanya.
Inilah nafas kesetiaan seorang Pak Soemardi pada sosok Prabowo Subianto,
yang sebenarnya ia dedikasikan pada negaranya.
Sore
ini Pak Soemardi kembali menelpon saya. Ia mengajak saya bertemu Ibu
Mien Soegandi. Sepertinya beliau ingin meyakinkan saya, bahwa Pak
Prabowo tidak sendiri, banyak tokoh yang mengetahui sepak terjangnya.
“Dik, Hari Minggu besok, saya undang Dik Hamzah ke Central Park, di sana
Dik Hamzah bisa berdiskusi dengan Ibu Mien Soegandi, sebab beliau besok
jenguk cucu,” pinta beliau.
Sayangnya,
malam ini saya harus ‘terbang’ ke Makassar selanjutnya ke Kota Baubau
di Pulau Buton sana menemui anak istri. Tentu tak bisa memenuhi ajakan
Pak Soemardi . namun saya begitu menghargai apresiasi beliau, menghargai
semangat Pak Soemardi akan sosok Prabowo Subianto. Saya mengakui jika
saya megagumi Pak Prabowo, tetapi semangat dan api yang membara dalam
jiwa Pak Soemardi tentang Pak Prabowo jauh lebih besar, seolah
membentang di cakrawala angkasa raya.
Saya hanya berkata dalam hati kecil, “Tak sia-sia saya menjadi seorang pengagum Prabowo Subianto”. (**).