Kamis 9 Pebruari 2012. hari yang membuat saya harus bertafakur sejenak pada kekuasaan-Nya, bahwa manusia benar-benar dalam kuasa-Nya. Tak ada yang bisa merentang asa begitu panjang jikalau Sang Khalik ingin memendekkan asa itu. Begitu pula sebaliknya. Semuanya seolah bergerak teratur dan seimbang seperti apa yang dikehendaki-Nya.
Kawan sekaligus senior saya, Fajar Ishak Daeng Jaya, mengabariku dengan penuh keceriaan. Ia mengelar ‘haroa’, istilah hajatan sebagai bentuk kesyukuran khas orang Buton, seteah dinyatakan lulus masuk sebagai calon mahasiswa magister di Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar. Keceriannya, karena ia menyadari bahwa pendidikan begitu penting bagi dirinya. Ia mengabariku, sebab ia tahu dirinya pernah ‘gamang’ soal pendidikan.
Pendidikan S1-nya beberapa kali kandas di tengah jalan. Saya tahu persis, bagaimana ia memulai menjadi mahasiswa fakultas Hukum di Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau, saat kami berdua memimpin surat kabar Mingguan ‘Berita Keraton’ di awal tahun 2000-an. Saya tergelak ketika mengingat gayanya. Bila ke kampus Bang Fajar ‘tampil’ pesolek khas mahasiswa ABG, menggunakan jeans, berkaos dalam dibalut shirt dengan kancing dilepas plus tas kecil yang selalu dibembengnya. Padahal umurnya kala itu sudah diatas 35 tahun. Namun semangat dan gayanya pudar beberapa waktu kemudian. Tak cukup satu semester ia meninggalkan kampus, dan memilih jalan hidupnya sebagai kontraktor. Mungkin karena beliau merasakan nikmatnya bergelimpangan uang.
Tetapi beberapa tahun kemudian, ia sering ke Makassar, dan menyampaikan jika ia sibuk sebagai mahasiswa ekstention di sebuah universitas swasta di kota itu, yang kemudian membawa dirinya meraih gelar Sarjana Ekonomi. Dia bilang “Zah, sudah cukuplah saya dengan gelar SE ini, saya harus memulai hidup dengan cara yang lain lagi,” katanya saat itu. Karenaya saya sedikit ‘gelagapan’ ketika mendengar bila dirinya kini menjadi calon mahasiswa magister Ilmu Hukum. Seorang ‘kakak’ kami, Dr. H. Andi Tenri berkata “Fajar itu akan menjadi pesaingmu,” katanya sambil tertawa.
Saya menangkap makna kalimat Pak Andi, sebab beliaulah motivator saya untuk menempuh pendidikan hingga memasuki rimba Jakarta saat ini. Beliau pula yang bilang, jangan pulang kampung jika tak merebut gelar Doktor. Beliau pula yang sibuk memaksa Bang Fajar untuk kuliah S1 saat itu. Meski beliau juga tahu, bahwa motivasi saya dan Bang Fajar berbeda dalam memandang arti sebuah gelar akademik. Namun yang pasti, Pak Andi bangga, jika ‘adik-adiknya’ bisa menempuh pendidikan setinggi mungkin, meski dengan bekal ‘nyali’ semata.
------------------------------
Tapi satu hal yang amat melekat dari pesan Bang Fajar hari ini, adalah ketika menyampaikan jika senior kami di dunia jurnalis, Ridwan Muhammad telah wafat setahun lalu di Kolaka. Saya sedih dan amat terpukul dengan kabar itu, sebab telah lama beliau berpulang, namun baru hari ini saya mendapat kabarnya. Saya merasa egois dengan diri sendiri, telah melupakan seorang jasa Ridwan Muhammad ‘Si Rambut Putih’. Beliaulah yang membentuk karakter jurnalistik saya. Beliaulah yang telah mengajarkan saya makna sebuah kebebasan dalam merangkai kata. Beliau pula yang mengantar saya ke Kota Baubau ketika saya menikahi istri saya saat ini. Sungguh begitu banyak yang beliau perbuat bagi kehidupan saya, sementara saya tak pernah membalasnya dalam bentuk materi yang bisa membahagiakannya.
Kawan sekaligus senior saya, Fajar Ishak Daeng Jaya, mengabariku dengan penuh keceriaan. Ia mengelar ‘haroa’, istilah hajatan sebagai bentuk kesyukuran khas orang Buton, seteah dinyatakan lulus masuk sebagai calon mahasiswa magister di Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar. Keceriannya, karena ia menyadari bahwa pendidikan begitu penting bagi dirinya. Ia mengabariku, sebab ia tahu dirinya pernah ‘gamang’ soal pendidikan.
Pendidikan S1-nya beberapa kali kandas di tengah jalan. Saya tahu persis, bagaimana ia memulai menjadi mahasiswa fakultas Hukum di Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau, saat kami berdua memimpin surat kabar Mingguan ‘Berita Keraton’ di awal tahun 2000-an. Saya tergelak ketika mengingat gayanya. Bila ke kampus Bang Fajar ‘tampil’ pesolek khas mahasiswa ABG, menggunakan jeans, berkaos dalam dibalut shirt dengan kancing dilepas plus tas kecil yang selalu dibembengnya. Padahal umurnya kala itu sudah diatas 35 tahun. Namun semangat dan gayanya pudar beberapa waktu kemudian. Tak cukup satu semester ia meninggalkan kampus, dan memilih jalan hidupnya sebagai kontraktor. Mungkin karena beliau merasakan nikmatnya bergelimpangan uang.
Tetapi beberapa tahun kemudian, ia sering ke Makassar, dan menyampaikan jika ia sibuk sebagai mahasiswa ekstention di sebuah universitas swasta di kota itu, yang kemudian membawa dirinya meraih gelar Sarjana Ekonomi. Dia bilang “Zah, sudah cukuplah saya dengan gelar SE ini, saya harus memulai hidup dengan cara yang lain lagi,” katanya saat itu. Karenaya saya sedikit ‘gelagapan’ ketika mendengar bila dirinya kini menjadi calon mahasiswa magister Ilmu Hukum. Seorang ‘kakak’ kami, Dr. H. Andi Tenri berkata “Fajar itu akan menjadi pesaingmu,” katanya sambil tertawa.
Saya menangkap makna kalimat Pak Andi, sebab beliaulah motivator saya untuk menempuh pendidikan hingga memasuki rimba Jakarta saat ini. Beliau pula yang bilang, jangan pulang kampung jika tak merebut gelar Doktor. Beliau pula yang sibuk memaksa Bang Fajar untuk kuliah S1 saat itu. Meski beliau juga tahu, bahwa motivasi saya dan Bang Fajar berbeda dalam memandang arti sebuah gelar akademik. Namun yang pasti, Pak Andi bangga, jika ‘adik-adiknya’ bisa menempuh pendidikan setinggi mungkin, meski dengan bekal ‘nyali’ semata.
------------------------------
Tapi satu hal yang amat melekat dari pesan Bang Fajar hari ini, adalah ketika menyampaikan jika senior kami di dunia jurnalis, Ridwan Muhammad telah wafat setahun lalu di Kolaka. Saya sedih dan amat terpukul dengan kabar itu, sebab telah lama beliau berpulang, namun baru hari ini saya mendapat kabarnya. Saya merasa egois dengan diri sendiri, telah melupakan seorang jasa Ridwan Muhammad ‘Si Rambut Putih’. Beliaulah yang membentuk karakter jurnalistik saya. Beliaulah yang telah mengajarkan saya makna sebuah kebebasan dalam merangkai kata. Beliau pula yang mengantar saya ke Kota Baubau ketika saya menikahi istri saya saat ini. Sungguh begitu banyak yang beliau perbuat bagi kehidupan saya, sementara saya tak pernah membalasnya dalam bentuk materi yang bisa membahagiakannya.
Pak Ridwan yang baik!, tentu hanya doa yang bisa kukirimkan malam ini, semoga arwahmu tetap damai disisi-Nya. Dirimu memang tak sesempurna di mata setiap orang, tetapi bagiku dirimu telah menjadi lilin yang pernah memberi nyala terang meski dalam keterbatasanmu. Percayalah saya takkan pernah melupakanmu. Saya hanya berharap, amalmu akan menuliskanmu dalam catatan-catatan surgamu di sana. Doaku untukmu Pak Ridwan. Hanya itu yang bisa kuperbuat hari ini. Semoga damai di sana. Amin. (**)