Begitu
kagumnya saya terhadap sosok Bapak H. Prabowo Subianto, tak terasa
dalam kurun waktu tiga bulan lebih telah terpublis secara online 38
tulisan yang bertutur tentang Pak Prabowo, dan realitas sosial yang
menggiringnya. Ada banyak komentar dari public Indonesia, baik dari
dalam maupun luar negeri yang merespon positif dengan satu semangat,
menunggu Pak Prabowo sebagai Presiden Republik Indonesia yang tak cukup
seribu hari lagi jelang Pemilu 2014.
Sebagai
penulis, saya tersenyum bangga dan sedikit puas, bahwa apa yang saya
tuliskan diapresiasi orang banyak melalui komentar-komentar positif.
Dengan tulisan di blog yang sederhana ini pula, ikatan emosional saya
dengan Pak Prabowo mulai menguat secara imajinatif, meski pada dasarnya
Pak Prabowo tidak mengenal saya secara dekat. Sesuatu yang mungkin
‘lain’ di mata pembaca, yang kerap mempersepsikan saya sebagai orang
dekat beliau, staf beliau atau apapun namanya. Bahkan beberapa pembaca
menghubungi saya dan menitip pesan agar dipertemukan dengan Pak Prabowo,
karena anggapan kedekatan itu. Tapi itu tak jadi masalah, saya hanya
meyakini jika beliau benar-benar akan tampil sebagai pemimpin masa depan
Indonesia. Amin. Apalagi, sejumlah survey membuktikan jika Pak Prabowo
adalah calon yang paling disukai rakyat Indonesia. Saya amat beryukur
dengan itu.
Sekali
lagi. Saya ingin mempertegas bahwa saya bukan ‘orang dekat’ Pak
Prabowo. Saya hanyalah ‘orang daerah’ yang sementara menimba ilmu di
Kota Jakarta. Meski belakangan saya didekatkan dengan Pak Prabowo
melalui sebuah Ormas bernama Gardu Prabowo. Tetapi juga tidak se-aktif
kawan-kawan lainnya. sebab saya punya prinsip jika politik bukan dunia
saya.
Saya hanya secara kebetulan bergelut dalam studi ‘komunikasi politik’.
Karenanya, saya menganggap menulis Pak Prabowo, bukan sekedar pada
cerita romantisme dan nilai-nilai heroic kepemimpinan beliau, tetapi
juga perlu sikap kritis, dengan harapan Pak Prabowo dan ornament yang
melekat pada beliau tidak terbuai dengan kalimat-kalimat dukungan, hasil
survey maupun suara-suara spontanitas yang kadang pula bermakna
pragmatis.
Saya
terinspirasi dari beberapa cerita kawan mahasiswa, yang mulai banyak
mengenal sosok Pak Prabowo melalui diskusi-diskusi politiknya. Bagi saya
ini sebuah lembaran baru bagi politik Pak Prabowo, bahwa dunia kampus
telah membedah langkah beliau di masa depan. Meski ‘masih’ dalam
kajian-kajian teori kritis. Sebuah kajian dimana segala sesuatunya
‘dicurigai’. Tetapi saya menganggapnya gejala baru ‘politik Pak
Prabowo’, dimana figure Prabowo yang berlatar belakang militer, mulai
menjadi fenomena pemikiran banyak orang.
Diskusi
ini berkutat pada ‘pak prabowo dan lingkungan politiknya’. Banyak
bahasan yang fokus pada ‘orang sekeliling’ Pak Prabowo. Apakah beliau
benar-benar melakukan ‘pengecekan’ terhadap ‘orang-orangnya’ sehingga
Pak Prabowo begitu lantang menyuarakan tentang ‘bersih-bersih; dari
sikap Mukpentip? (istilah Pak Prabowo yang berarti ‘muka penuh
tipu’), ataukah benar-benar Pak Prabowo berkomitmen memberantas
orang-orang yang cenderung pragmatis dan memanfaatkan situasi dan nama
besar Pak Prabowo?
Pertanyaan-pertanyaan
ini tentu tidak bisa disepelekan begitu saja. Cukup berdasar. Sebab Pak
SBY ketika pertama kali tampil menjadi Presiden, begitu diapresiasi
khalayak, karena komitmennya untuk memberantas korupsi, sehingga
kemudian dengan percaya diri ‘mengiklankan’ dirinya dan sejumlah tokoh
besar disekelilingnya dengan tagline ‘katakan tidak pada korupsi’.
Namun beberapa waktu kemudian, iklan ini seolah ‘membunuh karakter Pak
SBY, sebab justru terduga sebagai pelaku korupsi beberapa diantaranya
berasal dari ‘tokoh utama iklan’ tersebut. Ini berarti pencitraan dan
realitas tidak sejalan. Memalukan bukan?
Komitemen
‘bersih-bersih’ Pak Prabowo tidak sekedar saya dapatkan dari jejaring
sosial Pak Prabowo dan Partai Gerindra serta ormas-ormasnya. Tetapi
ketika saya bertemu langsung beliau dan beberapa kawan-kawan doctoral
yang difasilitasi Ormas Gardu Prabowo di Hambalang Bogor beberapa waktu
lalu, beliau juga secara lantang menyatakan hal itu. Tentu sangat
menggembirakan, apalagi disampaikan dengan apresiasi yang tegas dan
berkomitmen. Saya melihat wajah Pak Prabowo begitu bersungguh-sungguh.
Tetapi saya juga menangkap ‘aura’ kebijakan dari sosok Pak Prabowo, yang
menurut saya merupakan ‘celah’ orang-orang bisa memanfaatkan untuk
berbuat hal-hal pragmatis.
Asumsi
saya semakin dibenarkan, dengan cerita beberapa kawan yang saya kenal
punya kedekatan emosional dengan beliau, yang menyebutnya sebagai sosok
yang bijak, yang tak mudah melupakan kebaikan orang, karena kedekatan
sejarah dan perjalanan hidupnya. “Beliau amat bijak terhadap orang yang
pernah berbuat baik padanya, meski orang itu kerap menyalahgunakan nama
besar beliau,” begitu cerita kawan saya.
Yang
selalu terngiang di benak saya selama berkutat dengan tulisan-tulisan
ini, adalah berpolitik melalui ‘cara berfikir’ Pak Prabowo itu simple,
karena tidak menggunakan sistem transaksional. Makanya banyak orang
tertarik ingin bergabung ke partai dan ormas-ormas Pak Prabowo. “tidak
pake bayar-bayaran’ itu kalimat yang saya sering dengar. Sungguh sebuah
kearifan dan cara berpolitik yang baik. Tetapi saya justru meragukan hal
ini. Apakah benar tidak sistem transaksional di domain politik di
negeri ini? Bulsit!! Tapi saya berharap itu adalah sebuah
kebenaran, meski logikanya bahwa seorang yang ingin dibesarkan melalui
politik, selalu saja harus bersiap dengan sesuatu yang bernama ‘biaya
politik’, tetapi bukan berarti ‘jual beli’ dalam berpolitik..
Terkait
hal yang satu ini. Idealnya Pak Prabowo memang perlu evaluasi mendalam
pada perangkat politiknya. Pengalaman kepemimpinan Pak SBY yang banyak
dibelit ‘lingkaran prilaku koruptif’ cukuplah menjadi pengalaman buruk
bangsa ini. Dan kita yakin, bahwa Pak Prabowo bisa melakukan itu,
berkomitmen dengan itu, dan yang terpenting memulainya dari sekarang.
Bagaimanapun, di negeri ini Pak Prabowo tidak selalu dipersonifikasikan
sebagai figure militer yang cerdas dan tegas, tetapi ia juga seorang
pengusaha yang sukses, dimana kekayaaan beliau, kekayaan Pak Hashim
sebagai adik kandungnya, adalah ‘magnet’ bagi banyak orang untuk
memanfaatkan situasi itu, untuk berbuat hal-hal yang pragmatis. Bahkan
boleh jadi, popularitas kuat yang dimiliki Pak Prabowo di mata khalayak
bangsa ini, juga peluang orang-orang tertentu untuk memperbodohi orang
lain, khususnya yang punya ambisi politik tertentu pula.
Saya
menjadi bangga dengan komitemen Pak Prabowo membuka ‘kotak Lapor’
masyarakat terhadap prilaku koruptif jajarannya melalui jejaring sosial,
seperti facebook atau twitter bahkan kotak pos. Tetapi saya juga
meyakini, tidak mudah memberikan laporan secara terbuka kepada Pak
Prabowo, sebab pasti orang akan berfikir tentang makna sebuah
penghargaan kepada orang yang ingin dilaporkannya. Maka cara yang
sederhana adalah membuka seluas-luasnya komunikasi public kepada Pak
Prabowo dengan memperbanyak melakukan dialog-dialog kepada khalayak
Indonesia, serta selalu memonitoring pada setiap ornament politik Pak
Prabowo itu sendiri.
Maaf saya ingin sedikit lebih kritis demi kebaikan kita semua!
Selamat bekerja dan berkarya Pemimpinku!
Selamat bekerja dan berkarya Pemimpinku!