Saya sering kali berfikir panjang ketika menonton acara televisi-telivisi nasional yang mempertontonkan sejumlah elit politik negeri ini. Berfikir panjang karena seolah dunia politik bukan lagi dunia ‘halal haram’ tetapi ‘halal segalanya’. Makanya tidak heran jika publik sudah menyimpan di otaknya bila dunia politik adalah dunia abu-abu, penuh ketidakjelasan, dan selalu penuh dengan dinamika. Saya pun berani menggaris-bawahi bahwa inilah ‘warna’ perpolitikan di Indonesia saat ini. Karenanya wajar, ketika seseorang masuk dalam dimensi ruang politik Indonesia, maka kalimat yang ada di benaknya adalah “siap-siap menghadapi segala kemungkinan akan terjadi..”
Lalu apakah dunia politik di Indonesia harus berlangsung terus-menerus mengajarkan ‘ketidakjelasan?’, mengajarkan ‘halal segalanya?’ ataukah kita harus selalu tampil ‘abu-abu’ tanpa punya batas, mana yang baik dan mana pula yang buruk? Saya menjawabnya sederhana, bahwa kondisi ini tercipta karena dunia politik di Indonesia telah mencapai titik kulminasi kejenuhan. Maka yang terjadi adalah saling libas diantara penikmat politik itu sendiri. Ini bukan asumsi belaka, tetapi sejumlah figur mempertontonkan itu, tanpa terlihat etika-etika berpolitik. Satu contoh mendasar, adalah seorang Ruhut Sitompul yang sudah berani ‘meminta KPK untuk memeriksa Anas Urbaningrum’ yang nota bene adalah ketua umumnya di Partai Demokrat. Pertanyaannya. Layakkah? Dimana loyalitas itu? lagi-lagi bagi saya menjawab bahwa ini adalah tahap memasuki kejenuhan berpolitik, dimana seseorang selalu menginginkan gerak dan dinamika dalam politik itu sendiri.
Tentu hal ini menjadi amat kontradiktif jika menarik defenisi politik yang ‘diteorikan’ Prof. Meriam Budihardjo, yang menyebutkan jika politik itu adalah alat untuk mensejahterakan masyarakat. Dengan kata lain, apakah bisa kesejahteraan masyarakat itu tercapai dengan huru-hara dan saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya? Bahkan dalam filosofi politik itu disebutkan berasal dari kata ‘polity’ yang artinya ‘ahli negara’. Dalam tataran ‘ahli’ tentu yang dapat digambarkan adalah ‘kematangan’ dan kemampuan seorang untuk ‘bijak’ terhadap segala sesuatu yang menyangkut apa yang diperbuatnya. Saya mendefenisikan seperti itu, dan ingin hal-hal dalam dunia politik selalu terbangun dalam kerangka yang normatif. Mungkin sesuatu yang rumit dan melelahkan untuk membahasanya, sebab otak-otak berpolitik di Indonesia telah dipertontonkan oleh banyak pihak yang mengaku elit di Negara kita. Secara singkat saya memberinya makna, bahwa semua proses itu lahir karena politik di Indonesia dibangun oleh ‘kekerasan’ berfikir, yang kemudian menyebarkan aura negative berpolitik di negeri ini.
Lalu apakah kita bisa membangun dunia berpolitik yang baik? Yang berkualitas? Yang bermoral? Atau menghargai kesederajatan antara satu dengan yang lainnya? Mungkin rumit, tetapi saya menjawabnya dengan satu kata, “bisa!!”, sebisa kita membangun rumah tangga yang harmoni, yang membangun rasa sayang antara suami-istri dan anak-anaknya. Saya percaya cita-cita dan angan-angan itu. saya harus memulainya di tempat saya saat ini, “Gardu Prabowo”, sebuah organisasi gerakan rakyat dukung Prabowo Subianto. Mungkin banyak orang akan mecibir angan-angan itu, tetapi optimism selalu terbangun ketika saya memulainya dari diri sendiri, dengan melihat sosok bapak H. Prabowo Subianto, yang punya ketegasan, punya kematangan, punya kecerdasan, dan bijak dalam menilai sesuatu. Pak Prabowo pernah berkata pada kami pada suatu kesempatan, bahwa Indonesia Raya akan terbangun menjadi bangsa yang sejahtera dan bermartabat, jika kita bisa membangun iklim politik yang harmoni, saling menghormati, tidak saling menyerang, dan menerima siapa saja yang terbaik di negeri ini.
Pernyataan beliau membuat saya semakin yakin, bahwa politik di Indonesia bisa terbangun dengan cara-cara yang normative, jika kita memiliki kemampuan untuk melakukannya. Benarlah kata ‘the screet teory’ bahwa jika seseorang bersungguh-sungguh mendapatkan sesuatu, maka energy positif sesuatu itu mengarah kepadanya. Semoga! Merah Putih!!. (**)
Lalu apakah dunia politik di Indonesia harus berlangsung terus-menerus mengajarkan ‘ketidakjelasan?’, mengajarkan ‘halal segalanya?’ ataukah kita harus selalu tampil ‘abu-abu’ tanpa punya batas, mana yang baik dan mana pula yang buruk? Saya menjawabnya sederhana, bahwa kondisi ini tercipta karena dunia politik di Indonesia telah mencapai titik kulminasi kejenuhan. Maka yang terjadi adalah saling libas diantara penikmat politik itu sendiri. Ini bukan asumsi belaka, tetapi sejumlah figur mempertontonkan itu, tanpa terlihat etika-etika berpolitik. Satu contoh mendasar, adalah seorang Ruhut Sitompul yang sudah berani ‘meminta KPK untuk memeriksa Anas Urbaningrum’ yang nota bene adalah ketua umumnya di Partai Demokrat. Pertanyaannya. Layakkah? Dimana loyalitas itu? lagi-lagi bagi saya menjawab bahwa ini adalah tahap memasuki kejenuhan berpolitik, dimana seseorang selalu menginginkan gerak dan dinamika dalam politik itu sendiri.
Tentu hal ini menjadi amat kontradiktif jika menarik defenisi politik yang ‘diteorikan’ Prof. Meriam Budihardjo, yang menyebutkan jika politik itu adalah alat untuk mensejahterakan masyarakat. Dengan kata lain, apakah bisa kesejahteraan masyarakat itu tercapai dengan huru-hara dan saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya? Bahkan dalam filosofi politik itu disebutkan berasal dari kata ‘polity’ yang artinya ‘ahli negara’. Dalam tataran ‘ahli’ tentu yang dapat digambarkan adalah ‘kematangan’ dan kemampuan seorang untuk ‘bijak’ terhadap segala sesuatu yang menyangkut apa yang diperbuatnya. Saya mendefenisikan seperti itu, dan ingin hal-hal dalam dunia politik selalu terbangun dalam kerangka yang normatif. Mungkin sesuatu yang rumit dan melelahkan untuk membahasanya, sebab otak-otak berpolitik di Indonesia telah dipertontonkan oleh banyak pihak yang mengaku elit di Negara kita. Secara singkat saya memberinya makna, bahwa semua proses itu lahir karena politik di Indonesia dibangun oleh ‘kekerasan’ berfikir, yang kemudian menyebarkan aura negative berpolitik di negeri ini.
Lalu apakah kita bisa membangun dunia berpolitik yang baik? Yang berkualitas? Yang bermoral? Atau menghargai kesederajatan antara satu dengan yang lainnya? Mungkin rumit, tetapi saya menjawabnya dengan satu kata, “bisa!!”, sebisa kita membangun rumah tangga yang harmoni, yang membangun rasa sayang antara suami-istri dan anak-anaknya. Saya percaya cita-cita dan angan-angan itu. saya harus memulainya di tempat saya saat ini, “Gardu Prabowo”, sebuah organisasi gerakan rakyat dukung Prabowo Subianto. Mungkin banyak orang akan mecibir angan-angan itu, tetapi optimism selalu terbangun ketika saya memulainya dari diri sendiri, dengan melihat sosok bapak H. Prabowo Subianto, yang punya ketegasan, punya kematangan, punya kecerdasan, dan bijak dalam menilai sesuatu. Pak Prabowo pernah berkata pada kami pada suatu kesempatan, bahwa Indonesia Raya akan terbangun menjadi bangsa yang sejahtera dan bermartabat, jika kita bisa membangun iklim politik yang harmoni, saling menghormati, tidak saling menyerang, dan menerima siapa saja yang terbaik di negeri ini.
Pernyataan beliau membuat saya semakin yakin, bahwa politik di Indonesia bisa terbangun dengan cara-cara yang normative, jika kita memiliki kemampuan untuk melakukannya. Benarlah kata ‘the screet teory’ bahwa jika seseorang bersungguh-sungguh mendapatkan sesuatu, maka energy positif sesuatu itu mengarah kepadanya. Semoga! Merah Putih!!. (**)