Siapa yang bakal menjadi 'tuan' di Kantor ini di Pilkada Kolaka? (sumber : kompas.com) |
KABUPATEN Kolaka-Sulawesi Tenggara, saya amat mencintai daerah ini tempat dimana saya tumbuh sebagai remaja desa dan pertama kali menjadikan diri sebagai ‘orang’. Dalam makna etimologi secara luas, istilah ‘orang’ (bertanda petik) banyak yang mengamsumsikannya sebagai manusia yang mandiri dan dewasa dalam berpikir. Tentu agak berbeda dengan pemaknaan –orang- yang umumnya diartikan sebagai ‘mahluk manusia saja’. Karena kecintaan itu, dan meski tak lagi menjadi penduduk daerah ini, tetapi menjadi bagian dari dinamika orang Kolaka menjadi sesuatu yang penting untuk saya kaji dalam perspektif subjektifitas saya. Apalagi era kekinian, warga Kolaka disibukkan dengan masa-masa berpolitik, masa dimana urat-urat syaraf banyak orang tergerus di dalamnya.
Paling tidak, Kolaka era kekinian tidak hanya sebagai kawasan sentra pengembangan tanaman kakao dan padi Tahiland seperti zaman Pak Adel Berty menjadi Bupati, tetapi berkembang menjadi wilayah yang banyak dilirik publik nasional sebagai salah satu sentra perkebunan dan pertambangan strategis di nusantara. Jika beberapa waktu lalu pemain tambang hanya dikuasai PT Antam Tbk di Pomalaa, atau PT. Inco dengan wilayah konsesi pertambangan yang luas, tetapi perusahaan-perusahaan tambang setahun lalu pernah menjamur di daerah yang menghadap Teluk Bone ini. Bahkan pemerintah daerah sekalipun harus ikut putar kepala dengan mendirikan Perusda dan ikut konsen di sektor ini. Saya tak paham, berapa banyak pendapatan daerah Kolaka dari sektor ini, namun yang pasti tentu banyak ‘orang kaya baru’ terlahir karena tambang ini. Ini efek domino, dan kita patut bersyukur atas karunia itu. Meski (mungkin) ada juga yang keseret masalah hukum karena soal tambang pula, tetapi yang ini tentu efek ‘minor’.
Yang saya belum pahami, adalah posisi efek itu, apakah ‘domino’ atau minor’ dengan mengguritanya industri tambang di Kabupaten Kolaka bisa menimbulkan dampak lingkungan berlebihan? baik di kawasan daratnya maupun lautnya. Bahkan mungkin juga hutan-hutannya. Sebab yang saya ingat, PT Antam saja beberapa tahun silam, beberapa kali disorot media dan di demo warga karena mencemari laut dan empang-empang warga di sekitar Tambea dan Sopura. Apalagi di era kekinian, lahan sawit dimana-mana, dan perusahaan tambang juga dimana-mana. Lagi-lagi saya tidak mengerti, sebab saya tak konsen di ranah itu. Saya juga tak pernah menikmati hasil ‘tambang’ Kolaka ini, meski hanya dalam tataran bantuan pendidikan, seperti banyak mahasiswa mengusulkan proposal bantuan kebeberapa perusahaan tambang dengan bekal identitas sebagai ‘orang Kolaka’ dan cermin pemanfaatan stimulan CSR dari sebuah perusahaan. (istilah kolaka-nya, saya mauji juga!).
Kota Kolaka dari ketinggian. (fotonya siapa ya?) |
Saya hanya tersentak, ketika menonton sebuah acara talkshow di stasiun TV swasta pekan lalu, komedian Sule sempat mencandai pengacara kawakan ibukota Farhat Abbas dengan kalimat “Bang Farhat pulang Kolaka sana!”. Pemahaman interaksi simbolik saya, bahwa Sule telah mengetahui jika Farhat Abbas yang sempat mempopulerkan dirinya sebagai Capres muda Indonesia, ternyata juga adalah bakal calon Bupati di Kabupaten Kolaka dalam waktu yang hampir bersamaan. Bukan itu yang jadi soal, sebab suami dari artis Nia Daniati, tentu punya hak politik yang sama dengan warga negara lainnya, apalagi beliau telah menggandakan diri pula sebagai politisi dari Partai Demokrat. Sah-sah saja!. Kesontakan itu, hanya semata-mata karena nama Kolaka juga telah menjadi memori kolektif komedian Sule, yang biasanya lebih suka menyebut nama daerah dan sukunya sendiri ( Sunda, Bandung atau jawa Barat), atau bahkan mencandai rekannya Andre Stinky, yang pernah menjadi calon wakil walikota ‘kuat’ di Tanggerang-Banten.
**
Kolaka kini bersilewaran poster-poster para kandidat Bupati, dari kota ke desa-desa, dari gunung-gunung ke pantai, juga dari pohon-pohon hingga ke empang-empang. (bahkan mungkin juga di truk-truk pengangkut tanah tambang..heheh). sebuah persaingan politik yang sebenarnya ‘biasa-biasa’ saja. Maklumlah, pasca kepemimpinan Buhari Matta sebagai bupati, maka situasi politik kolaka saya istilahkan sebagai ‘free trade politic’ (politik pasar bebas), sebab Buhari Matta sendiri telah habis masa berlakunya, sudah dua periode. Karenanya, tak ada tekanan politik berlebihan, siapa saja yang merasa tokoh wajar jika mencalonkan diri. Seperti Wabup Kolaka saat ini, Amir Sahaka, Sekda Kolaka saat ini, Ahmad Sjafei, mantan Wabup Harun Rahim, juga beberapa pentolan Kolaka seperti Ali Nur, dan tiga ‘Tahrir’ bersaudara, Zulkifli Tahrir, Firdaus Tahrir, Fahmi Tahrir, Sabaruddin Labamba dan beberapa pentolah DPRD Kolaka. Yang pasti mereka adalah sederet nama yang cukup dikenal di daerah ini. Lagi-lagi saya berkata, sah-sah saja!
Saya tak ingin membahas lebih jauh, nama-nama itu. Sebab saya pun jika memiliki kemampuan dana yang cukup, punya jejaring yang luas, serta memiliki investasi sosial yang baik, maka bisa jadi ikut masuk bersaing di pilkada ini. Sebab saya juga merasa orang Kolaka, dan tidak sekedar menjadi ‘orang-orangan’ belaka yang disetir-setir, menakut-nakuti, seperti orang-orangan yang banyak di sawah-sawah. Namun yang pasti, minat menjadi Bupati di Kolaka, menjadi ‘bulshit’ jika tidak melihat sudut pandang kekayaan yang dimiliki daerah ini. Sejak awal saya mengatakan, Kolaka punya wilayah yang subur, punya tambang, punya sawit, punya kakao dan segala macamnya. Kolaka telah menjadi surga pencari hidup, sebab sejarah juga (mungkin) mencatat, bahwa daerah ini pernah dan mungkin sampai sekarang menjadi wilayah imigran kawasan-kawasan sekitarnya, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, bahkan hingga pulau Jawa, Bali dan Lombok, yang telah menyatu dengan suku-suku lokal, dan menjelma pula menjadi ‘warga asli orang Kolaka’, bukan lagi ‘orang-orangan’ Kolaka. Saya tak tahu siapa ini.
**
Kolaka kini bersilewaran poster-poster para kandidat Bupati, dari kota ke desa-desa, dari gunung-gunung ke pantai, juga dari pohon-pohon hingga ke empang-empang. (bahkan mungkin juga di truk-truk pengangkut tanah tambang..heheh). sebuah persaingan politik yang sebenarnya ‘biasa-biasa’ saja. Maklumlah, pasca kepemimpinan Buhari Matta sebagai bupati, maka situasi politik kolaka saya istilahkan sebagai ‘free trade politic’ (politik pasar bebas), sebab Buhari Matta sendiri telah habis masa berlakunya, sudah dua periode. Karenanya, tak ada tekanan politik berlebihan, siapa saja yang merasa tokoh wajar jika mencalonkan diri. Seperti Wabup Kolaka saat ini, Amir Sahaka, Sekda Kolaka saat ini, Ahmad Sjafei, mantan Wabup Harun Rahim, juga beberapa pentolan Kolaka seperti Ali Nur, dan tiga ‘Tahrir’ bersaudara, Zulkifli Tahrir, Firdaus Tahrir, Fahmi Tahrir, Sabaruddin Labamba dan beberapa pentolah DPRD Kolaka. Yang pasti mereka adalah sederet nama yang cukup dikenal di daerah ini. Lagi-lagi saya berkata, sah-sah saja!
Saya tak ingin membahas lebih jauh, nama-nama itu. Sebab saya pun jika memiliki kemampuan dana yang cukup, punya jejaring yang luas, serta memiliki investasi sosial yang baik, maka bisa jadi ikut masuk bersaing di pilkada ini. Sebab saya juga merasa orang Kolaka, dan tidak sekedar menjadi ‘orang-orangan’ belaka yang disetir-setir, menakut-nakuti, seperti orang-orangan yang banyak di sawah-sawah. Namun yang pasti, minat menjadi Bupati di Kolaka, menjadi ‘bulshit’ jika tidak melihat sudut pandang kekayaan yang dimiliki daerah ini. Sejak awal saya mengatakan, Kolaka punya wilayah yang subur, punya tambang, punya sawit, punya kakao dan segala macamnya. Kolaka telah menjadi surga pencari hidup, sebab sejarah juga (mungkin) mencatat, bahwa daerah ini pernah dan mungkin sampai sekarang menjadi wilayah imigran kawasan-kawasan sekitarnya, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, bahkan hingga pulau Jawa, Bali dan Lombok, yang telah menyatu dengan suku-suku lokal, dan menjelma pula menjadi ‘warga asli orang Kolaka’, bukan lagi ‘orang-orangan’ Kolaka. Saya tak tahu siapa ini.
Situasi di salah satu kawasan pertambangan dikolaka (ini juga foto siapa ya?) |
Dalam kategorisasi seperti ini, saya juga bertanya pada diri sendiri, apakah saya termasuk ‘orang Kolaka’, atau ‘orang-orangan Kolaka’. Susah menjawabnya, sebab di Kolaka saya hanya pernah menjadi pengurus karang taruna desa, dan aktifis pramuka usia sekolahan. Jadi wartawan pun tidak terlalu lama di sana. Saya sepertinya terjebak sendiri siapa ‘orang-orangan’ Kolaka yang saya maksud. Tetapi jelang pesta politik di Kolaka yang sebenarnya, orang-orangan ini pasti akan muncul. Sebab bagaimanapun ‘pemain’ dalam pilkada Kolaka nantinya, tak sekedar para pemain lokal. Bisa jadi mereka berasal dari settingan pemain tambang, bisa jadi settingan ‘penguasa tetangga’, dan bisa jadi setting ‘penguasa hutan anoa’ atau bahkan bisa jadi berasal dari orang-orang yang membangun isu-isu primordialistik. Sebab Kolaka terbilang rentan soal ini. Namun yang baik dari Kolaka hingga saat ini, adalah harmonisasi para ‘dalang politik’ di Kolaka masih terjalin dengan baik. Masih ada canda, masih ada diskusi terbuka, dan masih ada warkop politik. Semuanya menjadi wadah perekat sosial diantara keragaman orang Kolaka itu sendiri. Bukan keragaman ‘orang-orangan’ Kolaka.
Bicara soal peta politik, siapa yang akan bertahta di Kolaka nanti, saya belum berani membahasnya. Saya hanya melihat poster-poster politik orang Kolaka, tidak lebih baik dari iklan biasa, yang hanya memperkenalkan diri dan belum masuk ke ranah ‘merebut simpati’ dan ‘membangun konsensus’ dengan rakyat Kolaka itu sendiri. Dalam ilmu komunikasi politik, beberapa pakar menyebutkan ada tiga hal yang perlu dirawat yakni, merawat ketokohan, merawat kelembagaan dan membangun konsensus. Membangun citra pun tak semata pada satu dimensi saja, ada yang disebut ‘above the line’ dan ‘below the line’. Yang ini menguras otak. Saya sendiri masih malas membahasnya. Pokoknya pilih Orang Kolaka! Hehehe..
-----
Pukul 00.00 Malam waktu Jakarta, 1 Mei 2013
Bicara soal peta politik, siapa yang akan bertahta di Kolaka nanti, saya belum berani membahasnya. Saya hanya melihat poster-poster politik orang Kolaka, tidak lebih baik dari iklan biasa, yang hanya memperkenalkan diri dan belum masuk ke ranah ‘merebut simpati’ dan ‘membangun konsensus’ dengan rakyat Kolaka itu sendiri. Dalam ilmu komunikasi politik, beberapa pakar menyebutkan ada tiga hal yang perlu dirawat yakni, merawat ketokohan, merawat kelembagaan dan membangun konsensus. Membangun citra pun tak semata pada satu dimensi saja, ada yang disebut ‘above the line’ dan ‘below the line’. Yang ini menguras otak. Saya sendiri masih malas membahasnya. Pokoknya pilih Orang Kolaka! Hehehe..
-----
Pukul 00.00 Malam waktu Jakarta, 1 Mei 2013