SAAT INI, Indonesia boleh saja mengklaim diri sebagai negara demokrasi (eh..bukan lagi negara Pancasila ya?), asumsi itu terbangun dengan diselenggarakannya semua event politik secara terbuka, tidak ditutup-tutupi dan memberi keleluasaan gerak dan ruang pada banyak orang dan lembaga yang memenuhi persyaratan perundang-undangan untuk terlibat di dalamnya. Saking demokratisnya, segala cara dilakukan, agar bisa berkompetisi dengan baik di area tersebut. Bahkan Presiden SBY sekalipun dalam beberapa kesempatan di media publik memuji jika ‘demokrasi’ adalah sebuah sistem terbaik yang pernah ada di dunia ini.
Menarik memang mengkaji makna demokratis dalam arti yang lebih luas, jika demokratis pada hakikatnya memberi ruang besar pada publik untuk terlibat langsung dalam setiap event apapun di negara ini. Demokratis tampaknya menjelma menjadi sebuah ‘kebebasan’ yang menurut sifatnya dapat diasumsikan sebagai ‘tidak terkekang’, atau ‘terlibat seluas-luasnya’. Makna inilah yang kemudian banyak menggiring orang, untuk bertindak ‘negatif’ jika hasratnya tidak terpenuhi. Di satu sisi, ada aturan main yang berlaku di republik ini, aturan inilah yang kemudian menggiring negara ini masuk dalam area yang disebut sebagai ‘negara hukum’. Bahwa apapun yang terjadi di negara ini, maka ‘hukum’ adalah panglimanya.
Lalu menjadi pertanyaan penting adalah, apakah negara demokratis itu harus tetap tunduk pada tatanan dalam sebuah negara hukum? Maka jawaban pastinya adalah ‘iya’. Dengan harapan, bahwa sedemokratis apapun bangsa ini, harus tetap tunduk pada regulasi yang berlaku. Dengan demikian dapat diartikan, jika negara yang demokratis bukanlah sebuah negara yang ‘bebas seluas-luasnya’, bebas semau-maunya’ atau ‘bahkan bebas tak terkendali’. Karenanya, menarik untuk dikaji lebih jauh adalah ‘apakah Indonesia penganut negara hukum? atau negara demokratis? atau negara demokratis yang berhukum?, sebab kerap karena kepentingan sebuah demokrasi, aturan main tidak di indahkan, bahkan kerap ‘mengkambinghitamkan’ jika di sektor penegakan hukumlah yang melemah. Sementara di satu sisi ‘hukum’ kerap dianggap ‘penjegal’ dari sebuah tatanan yang bernama ‘demokratis’ itu sendiri. Agak sulit menjelaskan secara gamblang, karena absurd-nya posisi bangsa Indonesia, apakah ia adalah negara hukum, atau negara demokratis? Sebab regulasi perundang-undangan republik ini, jelas-jelas menuliskan jika Indonesia adalah negara hukum, berazaskan Pancasila dan UUD 1945. Tak satupun kata ‘demokrasi’ atau ‘demokratis’, dalam undang-undang dimaksud.
Munculnya istilah demokratis sebagai buah dari suasana ‘demokrasi’ di republik ini, tentu lahir karena banyaknya aturan hukum (regulasi) yang membuat bangsa ini semakin terbuka, diantaranya kebebasan pers (bebas dan bertanggung jawab), keterbukaan informasi, serta regulasi lainnya yang mendorong hak-hak publik semakin dihormati dan mendapat tempat di republik ini, salah satunya adalah iklim berpolitik. Iklim inilah yang kemudian mendorong ‘absurd-nya’ makna ‘negara hukum’ atau ‘negara demokrasi’ bagi Republik Indonesia. Sehingga menurut penulis, para cendekiawan di negara ini perlu duduk semeja merumuskan kembali posisi bangsa ini pada dua literasi tersebut di atas. Mana yang dipedomani, apakah Indonesia mutlak sebagai ‘negara hukum’? atau ‘negara demokrasi’?, sebab agak sulit menggabungkannya dalam dinamika bangsa yang begitu besar, begitu beragam, dan sangat unik antara satu dengan yang lainnya. Bisa dibayangkan, Indonesia dalam puluhan ribu suku, anak suku, bahasa dan berbagai macam agama, diikat dalam satu sistem hukum. (penulis ingin bertanya, apakah hukum bagi orang Aceh, bisa diberlakukan sama dengan orang Papua, yang beberda latar belakang agama, suku dan budaya?).
Jika bangsa ini mengagung-agungkan iklim demokratis, apakah perbedaan ragam budaya di negeri ini juga perlu diikat oleh satu aturan main? Jika jawabannya ‘ya’, maka jangan heran jika di setiap even berdemokrasi di negara ini, selalu saja terjadi ekses negatif yang mengikutinya. Lalu apakah kita harus membiarkan ekses negatif itu terus terjadi? Tentu tidak, sebab terlalu besar energi bangsa ini menjadi terbuang percuma. Lalu apa yang bisa diperbuat? Kita semua bisa memberi jawaban? Inikah iklim demokratis itu? Wallahu alam bissawab.
--------------------
Menarik memang mengkaji makna demokratis dalam arti yang lebih luas, jika demokratis pada hakikatnya memberi ruang besar pada publik untuk terlibat langsung dalam setiap event apapun di negara ini. Demokratis tampaknya menjelma menjadi sebuah ‘kebebasan’ yang menurut sifatnya dapat diasumsikan sebagai ‘tidak terkekang’, atau ‘terlibat seluas-luasnya’. Makna inilah yang kemudian banyak menggiring orang, untuk bertindak ‘negatif’ jika hasratnya tidak terpenuhi. Di satu sisi, ada aturan main yang berlaku di republik ini, aturan inilah yang kemudian menggiring negara ini masuk dalam area yang disebut sebagai ‘negara hukum’. Bahwa apapun yang terjadi di negara ini, maka ‘hukum’ adalah panglimanya.
Lalu menjadi pertanyaan penting adalah, apakah negara demokratis itu harus tetap tunduk pada tatanan dalam sebuah negara hukum? Maka jawaban pastinya adalah ‘iya’. Dengan harapan, bahwa sedemokratis apapun bangsa ini, harus tetap tunduk pada regulasi yang berlaku. Dengan demikian dapat diartikan, jika negara yang demokratis bukanlah sebuah negara yang ‘bebas seluas-luasnya’, bebas semau-maunya’ atau ‘bahkan bebas tak terkendali’. Karenanya, menarik untuk dikaji lebih jauh adalah ‘apakah Indonesia penganut negara hukum? atau negara demokratis? atau negara demokratis yang berhukum?, sebab kerap karena kepentingan sebuah demokrasi, aturan main tidak di indahkan, bahkan kerap ‘mengkambinghitamkan’ jika di sektor penegakan hukumlah yang melemah. Sementara di satu sisi ‘hukum’ kerap dianggap ‘penjegal’ dari sebuah tatanan yang bernama ‘demokratis’ itu sendiri. Agak sulit menjelaskan secara gamblang, karena absurd-nya posisi bangsa Indonesia, apakah ia adalah negara hukum, atau negara demokratis? Sebab regulasi perundang-undangan republik ini, jelas-jelas menuliskan jika Indonesia adalah negara hukum, berazaskan Pancasila dan UUD 1945. Tak satupun kata ‘demokrasi’ atau ‘demokratis’, dalam undang-undang dimaksud.
Munculnya istilah demokratis sebagai buah dari suasana ‘demokrasi’ di republik ini, tentu lahir karena banyaknya aturan hukum (regulasi) yang membuat bangsa ini semakin terbuka, diantaranya kebebasan pers (bebas dan bertanggung jawab), keterbukaan informasi, serta regulasi lainnya yang mendorong hak-hak publik semakin dihormati dan mendapat tempat di republik ini, salah satunya adalah iklim berpolitik. Iklim inilah yang kemudian mendorong ‘absurd-nya’ makna ‘negara hukum’ atau ‘negara demokrasi’ bagi Republik Indonesia. Sehingga menurut penulis, para cendekiawan di negara ini perlu duduk semeja merumuskan kembali posisi bangsa ini pada dua literasi tersebut di atas. Mana yang dipedomani, apakah Indonesia mutlak sebagai ‘negara hukum’? atau ‘negara demokrasi’?, sebab agak sulit menggabungkannya dalam dinamika bangsa yang begitu besar, begitu beragam, dan sangat unik antara satu dengan yang lainnya. Bisa dibayangkan, Indonesia dalam puluhan ribu suku, anak suku, bahasa dan berbagai macam agama, diikat dalam satu sistem hukum. (penulis ingin bertanya, apakah hukum bagi orang Aceh, bisa diberlakukan sama dengan orang Papua, yang beberda latar belakang agama, suku dan budaya?).
Jika bangsa ini mengagung-agungkan iklim demokratis, apakah perbedaan ragam budaya di negeri ini juga perlu diikat oleh satu aturan main? Jika jawabannya ‘ya’, maka jangan heran jika di setiap even berdemokrasi di negara ini, selalu saja terjadi ekses negatif yang mengikutinya. Lalu apakah kita harus membiarkan ekses negatif itu terus terjadi? Tentu tidak, sebab terlalu besar energi bangsa ini menjadi terbuang percuma. Lalu apa yang bisa diperbuat? Kita semua bisa memberi jawaban? Inikah iklim demokratis itu? Wallahu alam bissawab.
--------------------
Jakarta, bertanya di sepertiga malam, 24 April 2013.