“Jika kamu bisa juara di kelas, maka Etta belikan Sepeda” itu janji ayah ketika memberi motivasi agar bisa juara di setiap penaikan kelas, baik di SD maupun ketika SMP duapuluhan tahun silam. Saya memanggil ayah dengan sebutan ‘etta’. Namun ‘impian besar’ itu tak pernah datang meski target juara telah terpenuhi. Mungkin orang tua tak memiliki uang yang cukup saat itu, hingga janji sepertinya pemanis belaka, maklumlah orangtua hanya kerja serabutan, dan tentu tidak bisa dipaksakan.
Sebenarnya, janji itu bermula ketika kakak sepupu memiliki sepeda BMX dan ‘kami-kami’ adik sepupu lainnya, kerap ikut nebeng meminjam meski dibatasi waktu dan ayah menyaksikannya. Tak tahu apa yang ada dipikiran beliau, sehingga ketika malam tiba dan waktunya belajar, orang tua kerap berjanji berbagai macam, mulai dari sepeda hingga kelengkapan main anak-anak lainnya. Targetnya satu, juara kelas!
Kini, saya baru menyadari asumsi berpikir janji itu. Bisa jadi karena perasaan iba pada anak sendiri, bisa jadi karena memotivasi diri untuk bangkit dari keterbatasan, atau bisa jadi karena kecemburuan sosial dari sebuah pertanyaan, mengapa kami hidup amat terbatas? Mengapa Tuhan memberi nasib berbeda beda pada makhluknya. Kini, saya juga menyandang predikat ayah dari tiga putra-putri yang masih kanak-kanak dan ingatan-ingatan seperti ini selalu hadir ketika putra-putri saya meminta sesuatu dan saya memberi janji. Apalagi anak-anak sering menagihnya, dan kita hanya bisa berkelit dengan berbagai alasan.
Ada banyak perasaan seorang ayah, ketika anak menagih janji dalam keterbatasan ekonomi. Rasanya sebutir air menggenangi kelopak mata ini, dan kerap melayangkan ingatan ke masa silam bagaimana proses hidup seorang yang hidup terbatas. Tentu, tak ada orang tua yang ingin membatasi keinginan anaknya. Bagaimanapun mereka adalah ‘buah hati’, nyawa sekalipun dikorbankan untuk mereka. Lalu berdosakah seorang ayah yang tak bisa memenuhi janjinya? Berdosakah ketika anak-anak kita menagihnya? Wallahu alam bissawab. Ada banyak kajian untuk hal ini. Saya hanya melayangkan ingatan, bagaimana perihnya menjadi seorang anak yang mendapat kabar gembira karena janji, namun sirna begitu saja karena memang tak sanggup membelinya. Namun terbayang bagaimana pula derita batin orang tua, yang hanya bisa berjanji tapi dibatasi materi. Saya mencoba mencari setitik hikmah disana.
Analogi saya, ada banyak sisi positif dari janji yang tidak terpenuhi pada seorang anak, diantaranya; menguatkan daya ingat hingga ia dewasa kelak; merangsang lahirnya virus ‘need of achievement’ (N.Ach) dalam perkembagan anak, serta menimbulkan kepekaan sosial, ketika beranjak dewasa. Inilah yang terasa pada saya menyandang status sebagai ayah. Kerap saya bertanya; apakah ini kesalahan orang tua mapan yang selalu memanjakan anak-anaknya, hingga saat dewasa tak memiliki lagi spirit hidup dan daya survival tinggi? Maybe yes, maybe no. Saya masih mencari alasan pembenarnya.
Tetapi dalam hal lain, dampak negatif pun bisa muncul pada diri seorang anak. Bisa jadi anak-anak akan merasa dendam dengan kehidupan masa silamnya, sehingga ia tak sekedar tumbuh menjadi orang yang berspirit tinggi. Kemungkinan terburuk lainnya, adalah anak-anak akan bermental ‘penipu’, dan jika kelak menjadi politisi, boleh jadi ia hanya seorang pengumbar janji, manis sesaat tatkala memiliki kepentingan politik.
Tampaknya memang memberi janji pada anak-anak, perlu ‘cara’ khusus. Seperti saya mngingat janji ayah dengan sepeda BMX itu. Terbayang rasanya bagaimana gembiranya saya jika waktu itu ayah benar-benar bisa membelikannya. Namun kini, ketika mengingat janji sepeda itu, rasanya ada keperihan mendalam, mengapa kami hanya tumbuh dewasa dalam segala keterbatasan. Saya hanya bisa ‘balas dendam’ bahwa hidup orang tua di masa silam adalah motivasi besar untuk menjadi sukses menurut nalar sendiri.
Tetapi bagaimanapun, saya perlu berterima kasih atas janji ayah itu. Sebab ia selalu menjadi ‘gong pengingat’ tatkala saya merasa hidup terbatas di ibukota ini. Tak perlu lagi bersedih, sebab ada seribu satu cara untuk bertahan hidup di ibukota ini. Saya masih bisa menunduk, bahwa ternyata hidup saya masih lebih beruntung dari banyak orang di negeri ini. Terima kasih Etta! Saya masih mengingat janji sepeda itu. **
Jakarta diseperdua malam jelang 21 Mei 2013.
Sebenarnya, janji itu bermula ketika kakak sepupu memiliki sepeda BMX dan ‘kami-kami’ adik sepupu lainnya, kerap ikut nebeng meminjam meski dibatasi waktu dan ayah menyaksikannya. Tak tahu apa yang ada dipikiran beliau, sehingga ketika malam tiba dan waktunya belajar, orang tua kerap berjanji berbagai macam, mulai dari sepeda hingga kelengkapan main anak-anak lainnya. Targetnya satu, juara kelas!
Kini, saya baru menyadari asumsi berpikir janji itu. Bisa jadi karena perasaan iba pada anak sendiri, bisa jadi karena memotivasi diri untuk bangkit dari keterbatasan, atau bisa jadi karena kecemburuan sosial dari sebuah pertanyaan, mengapa kami hidup amat terbatas? Mengapa Tuhan memberi nasib berbeda beda pada makhluknya. Kini, saya juga menyandang predikat ayah dari tiga putra-putri yang masih kanak-kanak dan ingatan-ingatan seperti ini selalu hadir ketika putra-putri saya meminta sesuatu dan saya memberi janji. Apalagi anak-anak sering menagihnya, dan kita hanya bisa berkelit dengan berbagai alasan.
Ada banyak perasaan seorang ayah, ketika anak menagih janji dalam keterbatasan ekonomi. Rasanya sebutir air menggenangi kelopak mata ini, dan kerap melayangkan ingatan ke masa silam bagaimana proses hidup seorang yang hidup terbatas. Tentu, tak ada orang tua yang ingin membatasi keinginan anaknya. Bagaimanapun mereka adalah ‘buah hati’, nyawa sekalipun dikorbankan untuk mereka. Lalu berdosakah seorang ayah yang tak bisa memenuhi janjinya? Berdosakah ketika anak-anak kita menagihnya? Wallahu alam bissawab. Ada banyak kajian untuk hal ini. Saya hanya melayangkan ingatan, bagaimana perihnya menjadi seorang anak yang mendapat kabar gembira karena janji, namun sirna begitu saja karena memang tak sanggup membelinya. Namun terbayang bagaimana pula derita batin orang tua, yang hanya bisa berjanji tapi dibatasi materi. Saya mencoba mencari setitik hikmah disana.
Analogi saya, ada banyak sisi positif dari janji yang tidak terpenuhi pada seorang anak, diantaranya; menguatkan daya ingat hingga ia dewasa kelak; merangsang lahirnya virus ‘need of achievement’ (N.Ach) dalam perkembagan anak, serta menimbulkan kepekaan sosial, ketika beranjak dewasa. Inilah yang terasa pada saya menyandang status sebagai ayah. Kerap saya bertanya; apakah ini kesalahan orang tua mapan yang selalu memanjakan anak-anaknya, hingga saat dewasa tak memiliki lagi spirit hidup dan daya survival tinggi? Maybe yes, maybe no. Saya masih mencari alasan pembenarnya.
Tetapi dalam hal lain, dampak negatif pun bisa muncul pada diri seorang anak. Bisa jadi anak-anak akan merasa dendam dengan kehidupan masa silamnya, sehingga ia tak sekedar tumbuh menjadi orang yang berspirit tinggi. Kemungkinan terburuk lainnya, adalah anak-anak akan bermental ‘penipu’, dan jika kelak menjadi politisi, boleh jadi ia hanya seorang pengumbar janji, manis sesaat tatkala memiliki kepentingan politik.
Tampaknya memang memberi janji pada anak-anak, perlu ‘cara’ khusus. Seperti saya mngingat janji ayah dengan sepeda BMX itu. Terbayang rasanya bagaimana gembiranya saya jika waktu itu ayah benar-benar bisa membelikannya. Namun kini, ketika mengingat janji sepeda itu, rasanya ada keperihan mendalam, mengapa kami hanya tumbuh dewasa dalam segala keterbatasan. Saya hanya bisa ‘balas dendam’ bahwa hidup orang tua di masa silam adalah motivasi besar untuk menjadi sukses menurut nalar sendiri.
Tetapi bagaimanapun, saya perlu berterima kasih atas janji ayah itu. Sebab ia selalu menjadi ‘gong pengingat’ tatkala saya merasa hidup terbatas di ibukota ini. Tak perlu lagi bersedih, sebab ada seribu satu cara untuk bertahan hidup di ibukota ini. Saya masih bisa menunduk, bahwa ternyata hidup saya masih lebih beruntung dari banyak orang di negeri ini. Terima kasih Etta! Saya masih mengingat janji sepeda itu. **
Jakarta diseperdua malam jelang 21 Mei 2013.