» » » » Deviasi Nilai Kartini Modern

Deviasi Nilai Kartini Modern

Penulis By on 12 May 2011 | No comments

Pengagungan nilai emansipasi wanita saat ini terus tergerus seiring kemajuan zaman. Bukan karena nilai perjuangan Kartini yang belum tuntas, tapi sebaliknya wanita telah  mencapai sebuh era yang jauh melebihi zaman dan kodratnya. Sebuah zaman yang pernah menasbihkan wanita sebagai mahluk posterior and inferior (terakhir dan lebih rendah), dan kodrat sebagai mahluk ideal yang suci, pendiam dan patuh, sebagaimana Maryam yang dituturkan dalam kitab-kitab suci.

Wanita-wanita modern di belahan dunia manapun, kini telah menjelma sebagai penyeimbang kekuatan patriarkal, yang mengacu pada hubungan kekuatan di mana kepentingan wanita lebih rendah dari kaum pria. Wanita bukan lagi sosok mahluk lemah dan konvensional dalam kehidupannya, namun lebih maju dan superior. Karenanya,  penyetaraan dan kesederajatannya dengan pria mengalami deviasi (pembelokan) nilai, deviasi dimana wanita tidak sekedar menjadi bagian dari skenario kehidupan, namun telah menjelma sebagai sutradara kehidupan itu sendiri.

Selly Yustiawati dan Melinda Dee adalah dua kartini yang perannya melampaui zaman dan kodratnya. Selly memperdayai ratusan orang melalui jejaring sosial dengan trik dan pesonanya, begitu pula Melinda Dee ditengarai  melakukan kejahatan perbankan dengan nilai milyaran rupiah dan di duga melibatkan orang berpangkat.

Terlepas dari perbuatan melawan hukum yang dibuatnya, Selly dan Melinda telah mempertontonkan suguhan ilmu feminisime sebagai ‘girl power’, bukan lagi dalam tataran pertarungan suffragettes (gerakan untuk mendapatkan hak pilih) seperti aktifitas feminis awal abad ke-20, tetapi sebuah penegasan bahwa wanita telah memasuki ranah cyberfeminism, ranah di mana teknologi sebagai pemberi kekuasaan. Sebuah lompatan besar dari cita-cita perjuangan Raden Ajeng Kartini yang hanya mampu menuliskan dan mengirim surat kepada rekan-rekannya di Belanda tentang keterkungkungan dan keinginan Kartini untuk menikmati pendidikan.

Meski dalam tataran minor, Selly dan Melinda adalah contoh wanita-wanita yang tidak sekedar moderen dan telah mampu menembus ranah emansipasi, persamaan gender, tetapi mampu berpikir out of the box dengan dunianya. Sayangnya, peran keduanya mengalami penyimpangan dari apa yang seharusnya ia lakukan. Keduanya mengangkangi nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Makanya wajar bila keduanya juga diperlakukan sama dengan kaum pria, baik dalam ranah sosial maupun ranah hukum.

Media dan Revolusi Feminis
Satu hal yang mungkin tak pernah ada di benak RA Kartini dalam perjuangannya melawan keterbelakangan, yakni suatu kelak nanti pada zamannya akan ada sebuah ruang  yang menjadikan wanita Indonesia menjadi superior, yakni media massa. Kartini pada zamannya, hanya menganggap bahwa suratlah cara terbaik menyalurkan kesadaran sosialnya, dan dari surat itulah ia mampu bercerita pada kawan-kawan Belanda-nya. Boleh jadi, emansipasi yang diperjuangkan olehnya tidaklah se-superior dalam pemikirannya. Andai saja Kartini masih hidup, mungkin ia tersenyum karena kemajuan yang dicapai kaumnya, tetapi bisa jadi ia menangis karena deviasi nilai dari perjuangannya.

Kemajuan dunia komunikasi, khususnya media massa dewasa ini memberi andil besar dan membawa wanita dalam sebuah frame kehidupan yang secara tidak sadar sebagai bentuk revolusi kehidupan perempuan.  Penulis meng-istilah-kannya dengan revolusi feminis di Indonesia (baca: perubahan besar nilai-nilai keperempuanan). Yakni, media massa tidak sekedar memanfaatkan wanita sebagai bagian penting dalam pengembangan media, namun sebaliknya kaum wanita telah menjadikan media sebagai alat menasbiskan kesejajarannya dengan kaum pria. Inilah yang dilakukan sejumlah selebritis wanita yang kerap menjadikan media massa sebagai wahana pengaktualisasian diri dalam mencapai tujuan.

Hal ini tentu berbanding lurus dengan keinginan media massa, yang sadar bila wanita adalah ‘penarik’ untuk merebut pangsa pasar seluas-luasnya. Maka tampillah sejumlah artis cantik yang berpose dengan mempertontonkan sisi-sisi feminis kaum wanita. Baik dalam tataran film, sinetron, iklan, fotografi, bahkan sebagai pewarta. Bukan hanya itu, wanita pun kerap tampil dalam kemasan maskulin, sebagai pemimpin, pekerja dan pemikir keras bahkan sebagai pengatur, yang ditakuti oleh kaum lelaki.

Boleh jadi, superior kaum wanita Indonesia saat ini berdampak langsung seorang Rahmat Sulistyo yang maskulin menjadikan dirinya sebagai wanita yang feminis bernama Anastasya Oktaviani (Icha) dan menikahi Umar di Jati Asih Bekasi beberapa waktu yang lalu, dan mampu mengelabui Penghulu hingga memberi hadiah dirinya dengan ucapan selamat yang seolah berasal dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Luar Biasa.

Kemajuan atau kemunduran?
Kini wanita Indonesia, bukan sekedar sejajar dengan kaum pria. Telah banyak kasus menunjukkan wanita Indonesia telah berganti peran sebagai ‘suami’ dalam keluarga. Berposisi sebagai pencari nafkah, pengatur, bahkan penentu utama kebijakan dalam rumah tangga. Wanita Indonesia telah menjelma sebagai pengambil peran dalam tataran bermasyarakat, berbangsa  dan bernegara. Mereka telah menjadi polisi, tentara, direktris, lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, menteri bahkan presiden.

Dalam tataran kajian ilmu feminis dan posfeminist tentu sebuah kemajuan besar dalam posisinya sebagai mahluk yang pernah mengalami sebuah masa yang bernama ‘posterior and inferior’, dan sebuah cita-cita yang pernah diungkap Diane Purkiss dalam Renaissance Women (1994) yang menginginkan penyatuan kekuatan perempuan sebagai pembaca untuk menyatakan dan menunjukkan kekuatan mereka. Bahkan sebuah kemajuan yang maha besar dari cita-cita kartini yang hanya menginginkan emansipasi dalam berbagai kehidupan di negerinya.

Hal lain yang tak bisa dinafikkan bila kemajuan wanita Indonesia dewasa ini juga ternilai sebagai awal kemunduran kaum wanita itu sendiri. Beberapa pemikiran menyatakan bila wanita tetap harus pada pakem kodratnya sebagai pendamping bagi kaum pria, yang lembut, sopan, suci dan mengokohkan rumah-tangga. Bahkan dalam dunia politik, wanita sering dijadikan komoditas issu, jika wanita bukanlah pemimpin (imam) dalam sebuah pemerintahan. Apakah ini karena terinspirasi kisah pelanggaran Hawa di Taman Eden? Ataukah karena dipercaya wanita  berasal dari salah satu tulang rusuk pria?

Patut diberi apresiasi, telah wanita Indonesia saat ini telah mampu berbuat yang terbaik untuk Indonesia. Menjelmakan cita-cita Kartini yang agung dan mulya tanpa melupakan kodrat sebagai wanita yang suci, peneguh keluarga dan pembimbing bangsa. Selamat Hari  Kartini. (**)

*Penulis adalah Pemerhati Ilmu Komunikasi, asal Kota Baubau (Sultra) domisili Jakarta.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments