Anjloknya popularitas Partai Demokrat hasil survey LSI yang berbanding lurus dengan rendahnya kepercayaan publik kepada pemerintah pusat belakangan ini, tidak sepenuhnya mengkambing-hitamkan Nazaruddin sebagai penyebab utamanya.. Masih perlu pengkajian lebih konprehensif, sebab boleh jadi karena factor lain yang lebih dominan, seperti kepemimpinan SBY yang terkesan lemah, kinerja pemerintahan yang tak terukur, pencitraan yang berlebihan terhadap sosok SBY, dan kader partai yang terkesan ‘ugal-ugalan’ ala Ruhut Sitompul.
Nazaruddin bagi penulis hanyalah sebuah effek yang dihasilkan dari hegemoni Partai Demokrat di pemerintahan, yang membuka peluang Nazaruddin melakukan dugaan tindak pidana korupsi. Andai saja SBY dalam posisinya sebagai Kepala Negara dan tetap focus pada persoalan-persoalan vital kesejahteraan rakyat, dan menjadikan partainya hanya sebagai penyeimbang kebijakan pemerintah di parlemen, maka tentunya kepemimpinan SBY di mata publik republik ini tetap dinilai berwibawa, tegas, membawa harapan besar, dan tabu untuk di bahas di media massa dan ruang-ruang publik terbuka lainnya.
Sebenarnya (kajian penulis) SBY memahami karakter kader-kader Partai Demokrat. Memahami bila sebagian mereka adalah hasil perjalanan ‘instant’ dari nama besar SBY, memahami bila nama besar partai ini jtelah menjadi sorotan rival partai politik lainnya. Maka hal yang ideal dilakukan SBY sebagai pendiri partai dan kini berposisi sebagai Presiden, adalah membuat partai ini lebih professional sebagai wahana utama penampung aspirasi rakyat, wahana meneguhkan ideologi bangsa. Kaderisasi kepemimpinan dari kader partai akan tumbuh dengan sendirinya, bila benar-benar partai telah matang dan berakar di masyarakat. Inilah gaya Partai Golkar ketika pertama kali berdiri pasca orde lama.
Jadi popularitas Partai Demokrat yang anjlok belakangan ini adalah hasil reduksi ‘campur-aduk’ dari kepemimpinan SBY itu sendiri, bukan semata karena kasus korupsi Nazaruddin. Tentu, masih segar dalam ingatan kita, bagaimana kepemimpinan SBY mulai kurang ‘sreg’ di mata sebagaian rakyat Indonesia, dimulai dengan ketidaktegasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kemiskinan, masalah Century, Gayus, Lapindo, pembelian pesawat, pembangunan gedung DPR, hingga setumpuk perkara korupsi yang masih tebang pilih.
Realitas social rakyat Indonesia yang makin dinamis, kritis dan berani untuk menilai seorang kepala negara sebenarnya tidak sekedar dihasilkan oleh kran demokrasi, tetapi juga karena kejenuhan akan gaya kepemimpinan itu sendiri. SBY ternilai sebagai sosok yang monolog dan terkesan kurang tegas padahal beliau seorang Jenderal cerdas. SBY tampaknya lebih menyukai menggunakan gelar akademiknya. Wajarlah kemudian bila institusi militer yang selama ini dikenal professional dan patuh pada garis komando, juga terkesan telah masuk dalam area politik.
Presiden sebagai Pembina Partai-partai Politik
Satu hal yang terasa mulai menghilang di ingatan bangsa ini, adalah posisi Presiden sebagai Pembina partai-partai politik., bukan hanya pembina pada satu partai politik semata. Ini berarti, Presiden adalah milik semua kalangan. Tetapi yang terbangun dewasa ini, SBY seolah milik Partai Demokrat semata. Akibatnya, ketika seorang kader partai melakukan kesalahan, maka keslahan itu juga adalah kesalahan seorang SBY.
Memang kita tidak bisa melakukan vonis salah pada sosok SBY disini, sebab regulasi politik yang dihasilkan oleh reformasi, membuka ruang besar untuk berserikat, dan berkumpul kemudian membentuk partai dan merebut kekuasaan. Namun idealnya, seorang Presiden ketika terpilih, harus bisa lepas dari system partai yang telah dibangun. Presiden harus focus untuk menjalankan tujuan bernegara, bukan tujuan berpartai.
Pertanyaannya. Apakah seorang SBY bisa melepaskan atributnya sebagai seorang partisan? Apakah Partai Demokrat bisa melepas SBY sebagai, bahwa beliau Presiden yang telah menjadi milik semua elemen bangsa ini? Sungguh sebuah pertanyaan sulit, sebab SBY dan Partai Demokrat telah menjadi sebuah mata rantai yang saling mengokohkan. Makanya wajar kemudian, bila perbuatan negative kader partai adalah cedera bagi seorang Presiden SBY, begitu pula sebaliknya. Lalu dimana posisi rakyat Indonesia? Wajarlah bia kata ‘sejahtera’ itu masih sebatas impian. (**)
Jakarta Sore Hari, 14 Juni 2010