Saya
baru saja membaca sebuah tulisan dari sebuah situs online nasional,
yang menyatakan seorang Capres sebuah partai tua dan sarat pengalaman
telah menggandeng sejumlah purnawirawan Jenderal untuk direkrut sebagai
tim sukses pemenangan menghadapi Pilpres 2014 mendatang (maaf tak perlu
menyebutkan nama Capres dan partainya). Tentu beragam opini lahir dari
tulisan itu. Karenanya seorang rekan bertanya, bagaimana dan siapa saja
‘tim sukses’ Pak Prabowo Subianto? Saya jawab singkat; “TimSukses Pak
Prabowo itu Rakyat!”
Saya
tak terlalu banyak mengetahui, mengapa para pensiunan Jenderal itu
direkrut ‘rame-rame’. Tetapi persepsi saya sederhana. Itu hanya bentuk
interaksi simbolik yang dihadirkan Capres tertentu untuk mengabarkan
pada khalayak, jika dirinya juga mampu memimpin para jenderal, mampu
berkarakter tegas, seperti yang diinginkan khalayak Indonesia saat ini.
Pesan
lainnya, Capres tersebut menginginkan dipersepsikan sebagai tokoh
sekelas Jenderal, yang selalu mampu mengambil keputusan di saat genting,
atau bahkan mungkin ingin menyamai popularitas seorang Prabowo
Subianto yang memang ‘Jenderal Murni’. Lalu mengapa harus rakyat yang
menjadi Tim Sukses Pak Prabowo? Ini juga bentuk interaksi simbolik,
selebihnya menjadi pesan pada publik jika Pak Prabowo telah menjadi
miliki jutaan rakyat di Indonesia. Banyak survey telah membuktikan hal
tersebut, dan respon public begitu positif.
Perekrutan
pensiunan Jenderal menjadi tim sukses dari seorang Capres Sipil,
bukanlah hal yang tabu. Sesuatu yang amat biasa dalam sebuah dinamika
politik. Siapapun boleh. Hari ini, Bangsa Indonesia tidak lagi melihat
siapa ‘tim sukses’ seorang Capres? Yang mereka lihat, siap figure yang
mampu menenangkan bangsa Indonesia dari berbagai ‘kekacauan negara’
sebagai symbol dari lemahnya system kepimpinan nasional saat ini. Kita
tidak bisa membutakan mata sejenak dengan kasus Mesuji, Kasus Bima,
Ambon dan Papua. Atau mungkin nasib ratusn ribu warga Lapindo yang masih
hidup sengsara karena ‘human error’ tetapi di klaim sebagai bencana alam?
Dalam
kacamata yang lain. Proses rekrtuitmen dan pendekatan stigma militer
pada upaya pensuksesan seorang figure Capres hanyalah bahasa ‘komunikasi
politik’ untuk terus mengangkat popularitas di tengah keberhikan rakyat
pada Pak Prabowo. Maka sejogjanya siapapun yang menginginkan Pak
Prabowo sebagai Presiden RI di 2014, maka langkah terbaik yang harus
dilakukan adalah, berbicara 4 sampai 5 kata tentang Pak Prabowo setiap
harinya. Sedehana bukan? Mungkin ada yang bertanya mengapa seperti itu?
Jawabnya
sederhana pula. Pak Prabowo jangan sampai ‘sepi dari isu’, tetapi
jangan pula Pak Prabowo masuk dalam ‘teori lingkar kebisuan (the spiral silence)
artinya; jika ada persepsi negative, jangan diam, jawablah dengan
sebenarnya. Biarkan kahalayak yang memberi penilaian. Jika ada persepsi
positif tentang Pak Prabowo, itu juga sesuatu yang lumrah. Sebab
semuanya adalah hukum causalitas (sebab akibat) dari seorang pemimpin.
Weits!!
Seorang kawan saya menegur “Bang, jangan keluarkan semua peluru politik
Pak Prabowo” saya jawab juga dengan sederhana. “Jangan pernah risau
dengan Pak Prabowo, sebab rakyat telah bersamanya, rakyat punya cara
untuk menjadikan beliau seorang Presiden. Yang terpenting beliau
sekarang, adalah fokus mengkaji isu-isu strategis tentang apa yang
diinginkan oleh rakyat. Dan lebih penting dari itu, Pak Prabowo tetap
menjaga kesehatan, hingga masa memimpin negeri itu tiba saatnya.!!”
Semoga.
Selamat Sore Indonesia Raya!