Di Bukit Hambalang Bogor-Jawa Barat, saya seolah meresapi syair-syair kehidupan
yang indah, saya tertegun menatap panjang bilik-bilik ruang harmoni dan
ayunan dedaunan kembang merah jingga di taman. Menatap hamparan rumput
hijau bersenandung akan keagungan Sang Pencipta. Di bukit ini, saya
seolah hidup diantara lantunan nyanyian alam yang permai, bercanda
dengan kesunyian, bercanda dengan semilir angin, dan seolah berpijak di
taman surga bernama Indonesia. Karenanya, saya seolah melukis asa untuk
negeriku, Indonesia.
Inilah
sebait kalimat ilusi yang saya petik dari diskusi imaginer dengan Pak
Prabowo Subianto, pemilik kawasan ini. Kenapa saya sebut sebagai diskusi
imaginer? Sebab saya tidak terlibat diskusi langsung dengan Pak Prabowo
soal kediamannya. Sesuatu yang berbeda dengan kawan-kawan sejumlah
doctor muda yang sibuk mengurai muara panjang pikiran-pikiran pak
Prabowo jika kelak ia memimpin republik ini. Pak Prabowo senang,
karenanya diskusi tentang ‘negara’ dihabiskannya dalam waktu tak kurang
dari tujuh jam. Bahkan hingga kembali ke Jakarta, Pak Prabowo tampak
masih ingin bercanda.
Saya
lebih sibuk menatap setiap jengkal kehidupan Pak Prabowo, kediamannya,
tamannya, perpustakaannya dan dokumen-dokumen yang terpajang di setiap
ruangan. Saya pikir, pekan lalu ketika diberi kesempatan berkunjung ke
sana, dan diterima langsung Pak Prabowo, maka inilah awal untuk masuk
dalam pikiran-pikiran Pak Parabowo. Tetapi saya justru menangkap hal
lain yang perlu di kabarkan pada khalayak, bahwa Pak Prabowo adalah
sosok tokoh yang tak sekedar cerdas merespon keinginan rakyat Indonesia
masa kini, tetapi beliau juga seorang seniman kehidupan yang berkomitmen
akan keindahan surga dunia bernama Indonesia.
Saat
diskusi, saya banyak mencatat tetapi bukan mencatat angka-angka
statistic, visi misi, dan cita-cita panjang Pak Prabowo, saya juga tak
mencatat bagaimana ‘national wealth’ ala Prabowo Subianto. Saya lebih
suka memandang sosok pribadinya. Lebih suka memandang kepolosan tubuh
Pak Prabowo yang tak berhias jam tangan merek terkenal, dan jemarinya
juga tak berhias cincin dengan permata mutu manikam. Saya menangkap
kesederhanaan, yang tentu berbeda dengan sejumlah tokoh elit di negeri
ini.
Pak
Prabowo seperti lazimnya rakyat kebanyakan. Saat diskusi, Pak Prabowo
hanya tampil dengan kemeja batik yang menurut saya harganya tidak
seberapa. Mungkin lebih mahal batik-batik di Atrium dan mall-mall
Jakarta atau bahkan Pasar Biringharjo Jogyakarta sekalipun. Setelah
celana yang digunakannya pun terlihat biasa. Meski tak menyentuhnya tapi
saya yakin, kain celana Pak Prabowo seperti buatan banyak konveksi di
Kota Bandung. Begitu juga setelah sepatunya, hanya kulit biasa dengan
model khas Indonesia.
Gaya
berbusana Pak Prabowo amat serasi dengan kediamannya. Kediaman yang
dibangun dengan menyesuaikan harmoni alam perbukitan. Bagi saya,
seandainya semua orang Indonesia berfikir membangun kediaman ala Pak
Prabowo, maka orang Indonesia tak akan ada yang terkena isomnia, sebab
ia bisa terlelap kapan ia mau, tentu karena hembusan semilir angin
senantiasa menjadi nyanyian malam menjelang tidur. Bahkan bisa jadi, tak
banyak orang Indonesia yang menghabiskan uangnya ke Niagara, hanya
untuk menikmati panorama perbukitan dan curamnya air terjun. Sebab
bukit-bukit Indonesia ala bukit Hambalang bisa saja dipermak menjadi
taman-taman indah jika kita mau.
Pak Prabowo seperti kebanyakan manusia Jawa lainnya. Ia bukanlah sosok jenderal yang harus ditakuti seperti banyak junta militer lainnya. Kehidupan Pak Prabowo masa kini, lebih bersahaja, ia tampak lebih bisa memahami bentangan pikiran rakyat Indonesia yang makin dipurukkan oleh kondisi negara yang bermandikan irama korupsi.
Pak
Prabowo dalam kesehariannya juga menggunakan konsep jawa ‘Lengser
Keprabon Mandeg Pandito’, dan memilih Bukit Hambalang sebagai tempat
berdiam, bertafakur untuk memberikan yang terbaik bagi negerinya. Bukit
Hambalang tidak sekedar ruang bermukim, dari sini ia melukis cakrawala
Indonesia masa depan, tanpa harus larut dengan caci maki seperti banyak
di praktekkan politisi bangsa ini. Di bukit ini juga, Pak Prabowo seolah
mempersiapkan diri sebagai ‘resi’, yang bertitah hanya untuk
kemaslahatan, dan menjamu anak negeri yang ingin bercengkrama dengannya.
Jika ia tak sibuk dengan urusan bisnisnya, maka cukup mudah menemui Pak
Prabowo.
Pak
Prabowo memang seorang jenderal. Tapi di Bukit Hambalang ia bukanlah
panglima perang yang menghunus senjata. Ia sepertinya menjelma sebagai
seorang pertapa yang mencari nilai-nilai suci membangun negerinya di
masa depan ketika rakyat mempercayakannya sebagai pemimpin republik ini.
Stereotipe Prabowo sebagai mantan Pangkostrad dan Danjen Kopassus tak
tampak di wajahnya. Ia tak sesangar bayangan orang-orang yang selalu
memfitnahnya sebagai pelanggar HAM atau bahkan dianggap sebagai sosok
yang dituduh pernah melakukan percobaaan kudeta pada republic. Pak
Prabowo berkata, “sejak umur 19 tahun, hidup saya sepenuhnya untuk
Republik Indonesia, saya telah didoktrin sumpah prajurit dan sapta marga
untuk tetap setia dengan republik”
Di
Bukit Hambalang, Pak Prabowo menatap masa depan Indonesia dengan
gemilang. Ia ingin memberikan semilir angin kemakmuran buat rakyatnya.
Ia ingin para pemimpin bangsa ini hidup tanpa balutan korupsi. Pak
Prabowo ingin membangun kejujuran dalam diri setiap pemimpin, Pak
Prabowo ingin negerinya menikmati kekayaannya yang kini banyak disedot
keluar negeri karena kapitalisme yang merajalela. Ia punya misi ekonomi
kerakyatan.
Tapi
jangan salah paham, Pak Prabowo berkata jika dirinya tak membenci
kapitalisme. “Siapapun boleh hidup kaya di negeri ini, tapi jangan bawa
lari ke luar negeri. Rakyat harus hidup sejahtera. Saya tidak melarang
orang membangun mall dan fasilitas mewah, tetapi bangun dengan uang
sendiri, bukan uang rakyat. Saya sangat suka dengan kemajuan, tetapi
jangan membunuh masyarakat kecil. Harus selalu ada keseimbangan, Tanah
Air kita maha kaya,” katanya.
Di
Bukit Hambalang, Pak Prabowo tidak sendiri. Ia hidup dengan ribuan
buku-buku yang memotret panjang alur pikir orang banyak. Ia seolah
menjelma sebagai pertapa cendekiawan, yang hidupnya ia ingin habiskan
untuk rakyat Indonesia. Karenanya tempaan buku-buku membuat pribadi
Prabowo tampak lebih sederhana, lebih santun dan lebih menghargai azasi
orang banyak. Saya melihat Pak Prabowo dalam satu kutipan kalimat
beliau, “Kita bisa besar dengan gaya Indonesia kita, kita bangsa besar
karenanya kitalah yang memelihara dan membangunnya,” katanya.
**
Selamat Malam Indonesia Raya!