Pukul
08.00 waktu Cikini di HariJumat 13 Juli 2012. Handpone saya berdering.
Tak jelas siapa pemilik telpon itu, sebab hanya terpampang nomor tanpa
nama. Saya langsung mengangkatnya tanpa pikir panjang.
“Assalamu Alaikum. Maaf dengan Siapa?” tanya saya.
“Ini Pak Rustam Sutrisno, mantan Kades Wowoli, Ingat nggak!” jawabnya.
“Saya ingat Pak, sangat Ingat. Gimana kabar Pak!”, tanya saya lagi.
“Assalamu Alaikum. Maaf dengan Siapa?” tanya saya.
“Ini Pak Rustam Sutrisno, mantan Kades Wowoli, Ingat nggak!” jawabnya.
“Saya ingat Pak, sangat Ingat. Gimana kabar Pak!”, tanya saya lagi.
Begitu
awal percakapan saya dengan Pak Rustam. Sosok yang sudah sepuh di
Kecamatan Watubangga, Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. Benar, ia
mantan kepala desa (kades) puluhan tahun di sebuah wilayah eks
transmigrasi. Maklum, sejak transmigrasi masuk di kawasan itu di tahun
1980-an, Pak Rustam dipercaya warganya menjadi Kades hingga memasuki
awal tahun 2000-an. Baru ketika ada pengaturan tentang ‘masa jabatan’
Kades, Pak Rustam tidak diperbolehkan lagi.
Saya
yang mengenal beliau ketika masih berdiam di sana, pernah menyebut
beliau sebagai Kades seumur hidup. Memang di daerah transmigrasi,
jabatan Kades menjadi incaran banyak orang. Tetapi Pak Rustam punya
kharismatik sendiri. Ia tak sekedar Kades, pria asal Banyumas Jawa
Tengah ini juga dipercaya etnik Jawa di wilayah itu sebagai tokoh di
Kerukunan Keluarga Jawa Langgeng (KKJG) di Kabupaten Kolaka. Sebuah
paguyuban yang telah menyatu dan berafiliasi dengan suku lokal wilayah
itu.
Setelah
acara ‘rindu-rinduan’ lepas. Pak Rustam mengutarakan uneg-unegnya
tentang Pak Prabowo. Saya tak tahu mengapa ia bicara pada saya, ia
begitu yakin jika saya dekat dengan Pak Prabowo, sementara saya sendiri
mengatakan jarang bertemu Pak Prabowo. Saya hanya mengatakan, jika saya
suka menulis tentang Pak Prabowo dan jalan pikirannya, tentang
cerita-cerita yang mengiringi perjalanannya, dan tentang impiannya untuk
Indonesia di masa depan.
“Dik Hamzah, tolong sampaikan pada beliau, Kami sangat merindukan Pak Prabowo”
“Saya berharap Pak Prabowo mau berkunjung melihat kami di Sulawesi Tenggara”
“Kami adalah ribuan warga etnik Jawa di Sulawesi, kami adalah keluarga beliau, kami ingin beliau memimpin Republik ini, Kami telah menyiapkan acara untuk beliau, jika beliau datang.” tegas Pak Rustam dengan suara serak.
“Saya berharap Pak Prabowo mau berkunjung melihat kami di Sulawesi Tenggara”
“Kami adalah ribuan warga etnik Jawa di Sulawesi, kami adalah keluarga beliau, kami ingin beliau memimpin Republik ini, Kami telah menyiapkan acara untuk beliau, jika beliau datang.” tegas Pak Rustam dengan suara serak.
Saya
mencoba menerobos ingatan ke masa silam tentang kehidupan saya saat
masih menjadi warga di wilayah itu. Ketika bercanda dengan Pak Rustam
yang khas ‘ngapak’-nya belum hilang. Saya mengerti, mengapa ia begitu
merindukan Pak Prabowo. Dulu, ketika saya masih SMA, Pak Rustam pernah
bercerita tentang sosok Pak Prabowo muda, ketika Pak Harto masih
berkuasa. Ia benar-benar pengagum fanatik Pak Prabowo. Beliau bahkan
telah meramal jauh di masa lalu, jika sosok impiannya itu adalah
Presiden masa depan Indonesia.
Nama
Haji Prabowo Subianto terus menyeruak dalam ingatan dan benak Pak
Rustam ketika menjadi Cawapres Megawati di Pemilu 2009 silam. Namun
semangat fanatismenya terus tumbuh ketika Pak Prabowo sukses
mengkampanyekan Jokowi-Basuki sebagai pemenang Pilkada DKI putaran
pertama.
“Zah, Bapak amat yakin Pak Prabowo itu Presiden kita, percayalah”
“Yakinkan pada semua orang dengan caramu, bahwa beliau (pak Prabowo) akan mengantarkan Indonesia ke gerbang kemakmuran”
“Zah, jangan pernah takut dengan fitnah yang menjatuhkan Pak Prabowo”
“Jika beliau benar pelanggar HAM, beliau sudah lama di tangkap”
“Pokoknya itu hanya fitnah yang ingin menjatuhkan nama baik beliau”
“Biasalah, orang yang besar itu, badainya pasti lebih kencang”
“Yakinkan pada semua orang dengan caramu, bahwa beliau (pak Prabowo) akan mengantarkan Indonesia ke gerbang kemakmuran”
“Zah, jangan pernah takut dengan fitnah yang menjatuhkan Pak Prabowo”
“Jika beliau benar pelanggar HAM, beliau sudah lama di tangkap”
“Pokoknya itu hanya fitnah yang ingin menjatuhkan nama baik beliau”
“Biasalah, orang yang besar itu, badainya pasti lebih kencang”
Hampir
sejam lamanya Pak Rustam berbicara via handpone. Panas juga kuping ini
rasanya. Tapi semangatnya yang membara dan kerinduannya pada sosok
Prabowo Subianto, menjadi angin sepoi yang menyejukkan hati saya. Tentu
karena figur yang saya puja-puji dengan bait-bait kalimat yang belum
tentu berarti buat Pak Prabowo, diterjemahkan orang lain sebagai bentuk
kedekatan saya pada sosok mantan Danjen Kopassus ini.
Saya hanya berjanji pada Pak Rustam, jika impiannya itu juga menjadi catatan-catatan ringan saya terhadap Pak Prabowo.
“Ingat Dik, kami sangat merindukan Pak Prabowo”
“Kami punya hajatan Syuro empat bulan kedepan, semoga beliau bisa datang”
“Kami mendoakan beliau, semoga tidak saja sukses mengantarkan Jokowi-Basuki sebagai Gubernur DKI, tapi juga mengantarkan dirinya menjadi Presiden RI. Amin.
“Kami punya hajatan Syuro empat bulan kedepan, semoga beliau bisa datang”
“Kami mendoakan beliau, semoga tidak saja sukses mengantarkan Jokowi-Basuki sebagai Gubernur DKI, tapi juga mengantarkan dirinya menjadi Presiden RI. Amin.
Pak
Rustam sepertinya tak ingin berhenti berbicara. Saya menagkap intonasi
bicaranya yang begitu cepat, adalah rasa jiwa emosional orang Jawa
Transmigran di Sulawesi Tenggara sana.
(**)