JAKARTA 28 Pebruari 2013. Waktu menunjukkan pukul 03.30 WIB pagi hari. Aneh saja, beberapa hari belakangan ini mata begitu susah tertutup. Saya terjangkit isomnia? Tidak juga. Namun yang pasti otak sepertinya tak ingin berhenti berpikir, seolah tak lagi punya waktu istirahat. Maka cara terbaik untuk menyalurkan ‘keanehan’ itu adalah menulis, meski alur dan sistematikanya tak sejelas tulisan para novelis. Saya menulis saja, menulis hingga kepenatan itu tiba dengan sendirinya. Yang pasti ketika sebait kata terangkai menjadi sebuah kalimat, lalu tersusun menjadi bahan cerita, saya merasakan ada titik kepuasan disana, meski mungkin Anda yang membacanya sulit mengerti apa yang saya tuliskan..
Pagi ini, ditengah kehidupan menyendiri di belantara ibukota, meninggalkan anak istri dengan keegoisan sekedar mendapatkan ilmu, dan sejumlah titel akademik yang mungkin suatu saat nanti belum tentu memberi manfaat pada banyak orang, otak kanan saya seolah berbisik. “Tahukah kamu, jika ini adalah luka?” saya membatin dan menjawab, “Saya tahu ini luka!”. Tetapi saya belum mengerti makna ‘luka’ yang membalut perasaan ini.
Saya hanya bisa menebak, jika makna luka dalam bisikan otak kanan saya, adalah ketidakmampuan untuk tegar menapaki kehidupan duniawi, ketidakmampuan untuk bertahan dalam godaan-godaan duniawi seperti status sosial; ketegaaan meninggalkan kerinduan anak-istri nun jauh disana; dan tapakan hidup ukhrawi yang belum sempurna. Padahal jauh dilubuk hati ini, terpatri sebuah angan-angan yang bagi orang lain mudah untuk mewujudkannya, namun sulit untuk saya lakukan saat ini..
Sebuah angan-angan, dimana saya dan anak-istri hidup dalam suasana damai, tanpa fitnah, tanpa kekerasan, saling menghormati, hidup dalam genggaman Sang Pencipta karena selalu bersujud setiap waktu, dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya...
Rabb...Saya tahu ini luka, maka tutuplah luka itu dengan nikmat kebahagian-Mu, temukan Aku dalam cahaya-Mu. Bawalah hayatku menghadap Kiblat-Mu, sebab kerinduan itu telah datang, menghadap Baitullah yang menjadi rumah kemulyaan-Mu.. Rabb..aku juga ingin sama seperti mereka..mengabdi dalam panggilan-Mu, Labbaika Allahumma Labbaik...Ya Rabb-ku, wujudkan impian itu, hingga kebahagiaan itu bisa kuraih...
Saya tahu ini luka...tapi saya tahu Engkau akan menutup luka itu...berikan harapan itu ya Rabb-ku....(**)
Pagi ini, ditengah kehidupan menyendiri di belantara ibukota, meninggalkan anak istri dengan keegoisan sekedar mendapatkan ilmu, dan sejumlah titel akademik yang mungkin suatu saat nanti belum tentu memberi manfaat pada banyak orang, otak kanan saya seolah berbisik. “Tahukah kamu, jika ini adalah luka?” saya membatin dan menjawab, “Saya tahu ini luka!”. Tetapi saya belum mengerti makna ‘luka’ yang membalut perasaan ini.
Saya hanya bisa menebak, jika makna luka dalam bisikan otak kanan saya, adalah ketidakmampuan untuk tegar menapaki kehidupan duniawi, ketidakmampuan untuk bertahan dalam godaan-godaan duniawi seperti status sosial; ketegaaan meninggalkan kerinduan anak-istri nun jauh disana; dan tapakan hidup ukhrawi yang belum sempurna. Padahal jauh dilubuk hati ini, terpatri sebuah angan-angan yang bagi orang lain mudah untuk mewujudkannya, namun sulit untuk saya lakukan saat ini..
Sebuah angan-angan, dimana saya dan anak-istri hidup dalam suasana damai, tanpa fitnah, tanpa kekerasan, saling menghormati, hidup dalam genggaman Sang Pencipta karena selalu bersujud setiap waktu, dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya...
Rabb...Saya tahu ini luka, maka tutuplah luka itu dengan nikmat kebahagian-Mu, temukan Aku dalam cahaya-Mu. Bawalah hayatku menghadap Kiblat-Mu, sebab kerinduan itu telah datang, menghadap Baitullah yang menjadi rumah kemulyaan-Mu.. Rabb..aku juga ingin sama seperti mereka..mengabdi dalam panggilan-Mu, Labbaika Allahumma Labbaik...Ya Rabb-ku, wujudkan impian itu, hingga kebahagiaan itu bisa kuraih...
Saya tahu ini luka...tapi saya tahu Engkau akan menutup luka itu...berikan harapan itu ya Rabb-ku....(**)