YUSRAN DARMAWAN, saya harus memulai tulisan ini dengan menyebut nama pemuda Buton ini. Yusran seorang yang cerdas, berdedikasi dan selalu menghantarkan impian-impiannya dengan rajutan masa lalu yang membenam di ingatannya. Ingatan tentang seorang ayah yang tak lagi bersamanya, tentang seorang ayah yang berjubah wisuda di usianya yang ke-50 tahun, dan tentang dirinya yang ‘bersuka cita’ di satu benua dunia yang diagungkan banyak orang, Amerika!. Yups, Yusran, 4 Mei 2013 kemarin, baru saja menjalani proses ‘graduation day’, setelah menyelesaikan pendidikannya di Ohio University, Amerika Serikat. Tentu sebagai kawan, saudara, patut memberinya ucapan ‘selamat’ dan sanjungan buatnya.
Saya bangga pada pria ini. Masih muda, punya semangat, dan seolah menjadi sebening embun yang lahir di Pulau Buton sana. Bukan karena ia ‘anak Buton’ yang sukses studi di luar negeri, sebab cukup banyak orang Buton yang sekolah ’jauh-jauh’ melintas benua. Kebanggaan itu lahir karena meyakini Yusran akan menjadi spirit bagi banyak pemuda Buton tentang arti dan makna sebuah pendidikan, tentang kesederhanaan, tentang cita-cita, dan semangat hidup. Yusran, bagi saya adalah pewaris naluri merantau orang Buton, yang mampu menggunakan sampan kehidupannya dengan bekal layar keilmuan. Tentu saya dan mungkin banyak orang Buton berharap, Yusran akan berlabuh di tepian pantai yang bernama ‘amal ilmu’. Sebab, banyak orang cerdas di dunia ini, tetapi kecerdasan itu hanya dimanfaatkan untuk mengangkat derajat dirinya sendiri.
Di balik kebanggaan pada Yusran, saya juga terenyuh jika membaca bait-bait kalimat yang dituliskan Yusran tentang wisuda yang dialaminya di blog pribadinya. Saya seolah ikut dihanyutkan dalam ‘aliran air’ kata-katanya, dihanyutkan dalam buaian impian masa depannya, dan dihanyutkan pada cita-cita yang entah kemana berlabuhnya. Saya merasa menjadi Yusran. Mungkin karena saya memahami benar talenta ‘bapaknya Ara’ ini, dan saya sedikit mengerti bagaimana perangai, dan cara ‘mengukur’ dirinya sendiri.
Yusran bukan siapa-siapa. ia bukanlah anak elit daerah, bukan anak yang terlahir di balik pilar-pilar gedung, bukan pula anak yang dibesarkan dengan warisan gemerincing rupiah. Ia hanya seorang anak dari ayah pensiunan guru yang kini tersenyum di bilik pelangi Sang Khalik, serta ibu yang selalu memanjatkan doanya di sebuah rumah sederhana di tengah pemukiman penduduk Baubau yang mulai sembrawut. Yusran dan saudara-saudaranya, hanyalah seorang putra yang terwariskan setumpuk buku-buku tua dari sang Ayah, dan setumpuk ketulusan dari seorang Ibu. Mungkin karena warisan itulah, Yusran menjelma sebagai seorang pria petarung dalam luasnya rimba pengetahuan di negara adidaya itu.
Yusran, banggalah pada ibumu yang telah membesarkanmu. Banggalah pada ayahmu yang telah mendidikmu dengan seutas ‘tali’ yang tak panjang itu. Sebab seandainya fisik Ayah masih ada di sampingmu, ia pasti mengeluarkan seutas tali panjang bernama air mata kebangaan, yang akan mengikat dirimu pada pohon bernama cita-cita. Dan beliau akan berkata, “apakah tali ayahmu ini belum cukup panjang?”. Kamu anak yang hebat Yusran, dan saya cemburu padamu.
Andai saja waktu dapat dibalikkan ke masanya, maka saya akan menjadi seperti dirimu. Mungkin kata banyak orang, tidak baik menjadi ‘orang lain’. Tetapi bagi saya, dirimu bukanlah ‘orang lain’. Kamu pantas menjadi motivasi bagi banyak orang.
Selamat atas wisudamu Yus! Sukseski’. Salam bahagia untuk Dwi dan Ara..
Negeri ini menantimu...
----------------------
Jakarta malam minggu, 5 Mei 2013
(foto-foto : dokumentasi Yusran Darmawan)
Baca juga tulisan berikut ini: