Idrus Qaimuddin, tidak setenar dengan sejumlah nama besar yang tercatat namanya dalam belantika sejarah nasional. Benar, beliau tak setenar Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, serta sederet nama pahlawan yang pernah ada di Nusantara ini. Bahkan bila menyebut nama sejumlah ulama besar di negeri ini, Idrus Qaimuddin juga sangat tenggelam. Tenggelam dalam irama waktu, tetapi bernafas dalam detak jiwa pengikutnya. Kadang setiap orang yang mengenalnya bertanya; apakah sejarah mengabaikannya? Ataukah negara ini kurang pandai menggali siapa sosok-sosok terbaik di negeri ini, yang layak menjadi panutan setiap generasi.
Idrus Qaimuddin bernama lengkap Sultan Muh. Aydrus Qaimuddin, Khalifatul Khamis. Seorang Sultan Buton yang ke-29 menjadi memerintah Kesultanan Buton dari tahun 1821 hingga tahun 1851. Beliau bukan Pahlawan Nasional, atau apalah namanya. Tetapi kesederhanaannya dan apa yang ia lakoni, patut dan layak menjadi inspirasi dari setiap pemimpin bangsa ini, dan tentunya bagi anak bangsa dimanapun ia berada. Saking sederhananya dokumentasi foto maupun lukisan ilustrasi tentang beliau sangat sulit ditemukan. Namun bagi orang Buton, Idrus adalah sosok pemimpin, yang tak pernah lekang dalam ingatan.
Lalu apa keistimewaan dari Sultan ini? Bila berpijak dari posisinya sebagai Sultan, tentu ia adalah ‘orang nomor satu’ yang pernah bertahta di Buton dengan wilayah territorial meliputi Sulawesi Tenggara dan sebagaian wilayah Sulawesi Tengah masa kini. Gelar ‘Khalifatul Khamis’ yang melekat pada namanya tentu terkait erat dengan ke-khilafaan Islam yang pernah terbangun di dunia. Dalam beberapa literature menyebutkan konsep ‘Khalifatul Khamis’ adalah konsep kepemimpinan Islam yang pernah di kembangkan di kawasan Timur Tengah, dimana Sultan-sultan Buton mendapat kepercayaan sebagai pengatur pemerintahan Islam di kawasan timur Nusantara. Hal ini terkait, dengan setiap pengangkatan sultan di Buton, maka mendapatkan pengakuan dari Sultan Rum di Turki, dan disiarkan oleh khatib Jumat di Mekkah pada zamannya.
Tapi bukan konsep territorial itu yang menjadi keistimewaan seorang Sultan Idrus Qaimuddin. Beliau pada masa pemerintahannya tak hanya berposisi sebagai ‘presiden atau raja’ tetapi menjadikan dirinya sebagai rakyat biasa sederajat dengan warga yang dipimpinnya. (Tentu sesuatu hal yang sangat sulit ditemukan di era sekarang, terkecuali bila ada seremoni politik yang akan dihadapi). Bagi Orang Buton, Idrus dikenal sebagai sastrawan yang banyak menuliskan kebatinannya dengan Sang Pencipta melalui syair-syairnya, yang di tanah Wolio (Pulau Buton) dikenal dengan istilah Kabanti yang ditulis dengan menggunakan aksara ‘buri wolio’, aksara Buton yang mengadopsi aksara Arab.
Kabanti pada sejumlah literature seperti Tasawwuf Dalam Undang-Undang Buton yang ditulis La Niampe dalam Yusran Darmawan pada buku Naskah Buton, Naskah Dunia adalah kumpulan syair-syair yang berisi petuah-petuah, kisah peristiwa, hingga ajaran tasawwuf dan sangat syarat dengan makna kehidupan. Salah satu kumpulan syair kabanti karya Idrus yang paling mendarah-daging dalam benak orang Buton adalah ‘Ajonga Yinda Malusa’ (ditulis oleh Haji Abdul Ganiyu atau Kenepulu Bula, pejabat kesultanan masa Idrus memimpin)…kira-kira dalam bahasa Indonesia berarti ‘Pakaian Yang Tak Pernah Usang’.
Dalam syair ini, Idrus banyak mengisahkan dirinya sebagai hamba biasa, yang tak punya perbedaan dengan manusia pada umumnya. Beliau juga menanamkan spirit ‘sederajat’ bagi semua hamba Tuhan, dari manapun ia berasal, tanpa mengenal ras, agama dan antar golongan. Mengingat ajaran beliau, mengingatkan kita pada alam ke-sufi-an para tokoh-tokoh besar Islam di dunia. Atau di era modern pernah ada sosok Mahatma Gandi yang terkenal dengan ajaran ‘Ahimsa’-nya. Sungguh sebuah kemulyaan, bila pemimpin bangsa ini bisa menggali apa yang pernah diajarkan Muh. Idrus Qaimuddin.
Idrus bukan hanya pemimpin yang sufi, beliau juga sosok cerdas bahkan bisa disebut sebagai teknokrat. Pada zaman kepemimpinannya, beliau mampu menterjemahkan alam pikiran masa depan dalam membangun sebuah kota. Siapa sangka bila dua abad yang lalu, Idrus telah menancapkan bahwa pusat wilayah kepemimpinannya, kini berkembang menjadi kota yang cukup dinamis dan layak menjadi ibukota provinsi seperti Kota Baubau di Pulau Buton sana.
Sulit untuk menuliskan kedalaman makna dari seorang Idrus Qaimuddin. Meski terabaikan sejarah, tetapi saatnya anak bangsa meluangkan waktu untuk belajar dengan tokoh sekaliber beliau. Semoga mendapat berkah-Nya.
Cikini-Jakarta, penghujung malam 9 Mei 2011.