Sebagai
efek dari tulisan-tulisan tentang Pak Parbowo Subianto dan perjalanan
politiknya, saya ikut ‘kebanjiran’ menerima email maupun sms dari
pembaca blog ini. Banyak yang memberikan dukungan, namun tidak sedikit
pula yang mengkritik pedas. Beberapa diantaranya menganggap saya sebagai
penulis ‘karbitan’ yang sengaja ‘memblowup’ segala aktifitas dan
pemikiran Pak Prabowo. Saya tak mengerti apa maksudnya, tapi saya harus
akui jika saya memang masih berstatus ‘karbitan’. Tentu karena secara
personal, belum pernah mengenal sosok jenderal Kopassus ini. Saya hanya
menjawab bila tulisan saya sekedar bentuk apresiatif pada sosok anak
negeri bernama Prabowo Subianto, seorang jenderal sekaligus politisi
tanah air yang punya kapabilitas kuat memimpin negara bernama Republik
Indonesia. Tetapi kemudian, saya merasa begitu terhormat dengan kritikan
itu, tatkala JSI mempublikasikan jika Prabowo Subianto memiliki
kepopuleran tertinggi bersama Ibu Megawati sebagai Presiden RI
mendatang.
Satu
hal yang cukup menyita perhatian saya, ketika sejumlah ‘pesan’ yang
saya perkirakan berasal dari kalangan tertentu mempertanyakan
‘keangkeran’ Pak Prabowo ketika terpilih memimpin negeri ini. Ada kesan
ketakutan yang sengaja di konstruksi dari cerita lama yang melibatkan
Pak Prabowo sebagai sosok jenderal pelanggar HAM. Tentu saya tak bisa
memberikan jaminan, apakah beliau memang sosok seperti itu, ataupun
membela Pak Prabowo sebagai sosok yang bersih dari semua tudingan itu.
Saya hanya menjawab, “Kawan, Jangan pernah takut pada Pak Prabowo,
silahkan baca situs pribadi beliau di sini juga facebook beliau, di sana mungkin kita bisa menangkap pesan tentang sosok Pak Prabowo”.
Dari
sanalah kemudian saya me-link situs Pak Prabowo di blog ini (pada kotak
bertulis Untukmu Indonesiaku) dengan harapan pembaca bisa memaknai
langsung apa yang dipikirkan Pak Prabowo pada bangsa ini. Padahal
awalnya saya sengaja tak memasang link tersebut, untuk menghindari
prasangka jika saya adalah perangkat politik resmi Pak Prabowo. Sekali
lagi saya ingin menegaskan, saya bukan perangkat resmi politik Pak
Prabowo. Saya hanya ingin mengasah sensitivitas melakukan kekuatan
sebuah tulisan. Kalaupun saya mengagumi Pak Parbowo, itu hak pribadi
politik saya, sama dengan jutaan masyarakat Indonesia lainnya, yang
tentunya dilindungi oleh aturan main di negeri ini.
“Kawan,
Jangan Takut pada Pak Prabowo!”. Sebenarnya ini kalimat pendek yang
saya serap justru bukan dari kalangan intelektual atau secara emosional
dan politik dekat dengan Pak Prabowo. Saya justru mendapatkannya dari
seorang ‘pengojek’ yang setia mengantar saya kemanapun saya ingin
melintasi Kota Jakarta ini. Namanya Pak Afli, saya memanggilnya ‘Babe’.
Seorang lelaki seumuran 50 tahun, berkulit legam, dan tak punya
pendidikan yang cukup. Tapi ia pengagum fanatik Prabowo Subianto.
“Apapun rayuannya, saya akan memilih Pak Prabowo, jadi kenapa harus
takut,” kata Babe.
Babe banyak tahu dan pandai merangkai cerita tentang Pak Prabowo juga partai Gerindra-nya. “Saya tak pernah percaya dengan cerita kalau Pak Prabowo itu pelanggar HAM, namanya juga tentara, pasti menjaga keamanan. Gak usah diceritain Bang, saya tahu bagaimana kisah awal reformasi ini, pokoknya Pak Prabowo dan Gerindra harus menang (di pemilu)” kata Babe tegas.
Saya
lalu merefleksi sekaligus mengkaji makna cerita Babe. Bila rakyat
Indonesia sekelas Babe pada dasarnya amat merindukan kejayaan masa lalu
pada saat kepemimpinan Presiden Soeharto, dan kerinduan itu di
representasikan pada sosok Prabowo Subianto. Ini juga yang pernah ada di
benak masyarakat Indonesia tatkala Pak SBY tampil pertama kali sebagai
Presiden menggantikan Ibu Megawati Soekarno Putri, bahwa Pak SBY sosok
yang mampu mengatasi masalah bangsa ini, karena ia jenderal yang
dianggap banyak tahu dengan upaya mengembalikan kejayaan negeri. Meski
kemudian belakangan ini dinilai tidak memuaskan dalam kepemimpinannya.
Pak
Prabowo dinilai sebagai reinkarnasi pencipta keamanan dari buah sistem
liberalisme yang telah melahirkan sikap individualistic dan kebebasan
berpendapat tanpa batas, dimana setiap orang bebas dan semaunya
berekspresi, dan terkadang melebihi batas yang bagi rakyat kecil
dinilainya sebagai sesuatu yang tidak aman, berlebihan, tidak tenteram,
terlalu banyak komentator, munculnya terorisme hingga keinginan
melepaskan diri dari NKRI.
Bagi
rakyat kecil sekelas Babe, berpangkat Jenderal, menggunakan baret merah
Kopassus, kekar, cerdas, berasal dari keluarga bermartabat, peduli
rakyat, lalu kemudian tampil ‘apa adanya’ adalah dambaan sekaligus
pujaan sebagai sosok yang dianggap mumpuni mampu menyelesaikan
permasalahan bangsa. “Tentara memang harus seperti itu, harus tegas,
kalo loyo gimana bangsa ini” kata Babe.
Saya
amat tertarik dengan kalimat-kalimat Babe. Tak sekalipun terpancar di
wajahnya ketakutan akan sikap represif yang kerap dipraktekkan oknum
aparat tertentu. Saya lalu membayang pelajaran tentang wawasan
nusantara, dimana peran TNI amat kuat dalam menjaga keutuhan NKRI. Tentu
kita tahu bersama, bila Indonesia adalah negara kepulauan yang amat
sulit menjaga keutuhannya bila tidak dipimpin oleh seseorang yang
memiliki ketegasan, kecerdasan dan sikap nasionalisme yang kuat.
Sikap
yang ditunjukkan Babe, tentu ini sesuatu yang amat berbeda dengan apa
yang dirasakan pencari keadilan yang berlindung dibalik tirai HAM.
Memang amat sedih kehilangan orang yang dicintai, memang sesuatu yang
tak kita inginkan adanya sikap represif? Tapi pertanyaannya kemudian,
apakah adil jika kekesalan itu ditumpahkan pada satu sosok saja? Kata
Babe, “Jangan karena pengojek melanggar lalu lintas, lalu saya juga
dianggap ikut melanggar, saya memang pengojek, tapi saya patuh karena
saya juga memikirkan diri dan keluarga saya,”katanya.
Hari
ini Babe telah menjadi ‘guru besar’ saya. Apologinya memberikan
semangat pada saya untuk terus menulis dan menulis tentang Pak Prabowo.
Pembaca yang budiman. Percayalah, meski saya menulis secara subjektif
tentang Pak Prabowo, saya berupaya untuk tidak merusak reputasi orang
lain, termasuk para elit-elit negeri ini. Saya masih percaya, bahwa
membangun negeri harus dengan sikap positif, menghilangkan prasangka
buruk, dan tetap mengedepankan sikap saling menghargai, memperkokoh
kebersamaan. Kritik yang saya bangun tentu akan diikuti dengan upaya
solutif, meski hanya melalui rangkaian sebuah tulisan. (**)
Jayalah Indonesiaku!