Mengevaluasi
tulisan-tulisan yang terpublis sebelumnya, dan membaca deretan sejumlah
pernyataan Pak Prabowo saat menyapa fans via facebooknya. Saya mulai
menemukan satu makna penting yang dijalani Pak Prabowo saat ini, yakni
beliau tidak sekedar mempersiapkan diri menjadi ‘RI 1’, tetapi lebih
dari itu, sang Jenderal telah masuk dalam pertarungan yang lebih
dahsyat, yakni pertarungan ideologi. Sebuah pertarungan yang akan
menyedot dua kutub raksasa dunia. Kutub liberal dan kutub sosialis. Ini
juga berarti Pak
Prabowo tidak sekedar berhadapan dengan elit-elit politik di tanah
air, tetapi juga elit-elit dunia, yang pertarungannya mahadahsyat, jauh
melebihi perkiraan pikiran awam rakyat Indonesia.
Pendapat
saya, akan ada efek besar yang akan timbul dari pertarungan ideologi
itu; bila Pak Prabowo tampil sebagai Presiden RI dengan jargon
penciptaan kemakmuran melalui konsep ekonomi kerakyatannya, maka secara
otomatis Indonesia dipastikan ‘kembali’ masuk sebagai negara
‘penyeimbang’ antara kaum liberal dan kaum sosialis dunia. Indonesia pun
akan kembali terhitung sebagai salah satu negara yang menjadi ‘kiblat’
sebagian negara-negara di dunia yang tidak memiliki ‘ketegasan’
ideologi. Utamanya negara-negara berkembang yang ada saat ini.. Ini juga
mungkin menjawab sebuah pernyataan, mengapa ketika mendiskusikan
tentang sosok Prabowo Subianto, maka asumsi publik mengatakan di tangan
Prabowo-lah, kejayaan Indonesia sebagai bangsa besar di dunia itu akan
kembali. Atau setidaknya menguatkan slogan sebagai ‘macan Asia’.
Pertanyaan
selanjutnya? Konsep ekonomi kerakyatan ala Pak Prabowo itu berkiblat
dimana? Apakah liberal atau sosialis? Saya tak akan menjawabnya secara
gamblang di sini. Sebab saya berharap publiklah yang akan
menyimpulkannya. Namun setidaknya, saya bisa melakukan pendekatan
subjektif bila konsep ekonomi kerakyatan, adalah sebuah konsep ekonomi
dimana Pak Prabowo akan lebih dekat pada ‘permusuhan’ kaum kapitalis.
Sebab konsep kerakyatan lebih mengarah pada pemberdayaan ekonomi
masyarakat (jika sukses dalam penerapannya) secara perlahan akan
‘meruntuhkan’ dominasi para pemegang modal (kapitalis) yang kini tumbuh
subur di Indonesia. Itulah kemudian, mengapa saat ini, Indonesia begitu
‘disayang’ oleh Amerika Serikat.
Tetapi
kemudian, apakah bisa ‘di cap’ konsep ekonomi kerakyatan Pak Prabowo
lebih dekat dengan ideology sosialis? Yang lebih mengutamakan sistem
komunal dan kolektivisme? Mungkin saja jawabannya adalah ‘benar’. Meski
demikian, tentu Pak Prabowo punya ‘senjata’ agar konsep-konsep ekonomi
kerakyatannya tidak disebut berideologi sosialis yang banyak dipakai di
negara-negara Eropa Timur, Cina dan Amerika Latin, dimana belakangan ini
ideologi sepertinya dalam trend ‘naik daun’.
-----------------------------
-----------------------------
Terlepas
dari pembahasan alot dan berat bagi kalangan awam seperti yang diurai
di atas, hal sederhana yang bisa dicerna secara sederhana, adalah; Pak
Prabowo menghadapi Pemilu 2014 mendatang akan melewati masa-masa
genting, dimana Pak Prabowo akan berhadapan dengan kaum konglomerat
Indonesia, yang hidupnya menggantung pada kekuatan dunia asing. Ini
berarti kaum kapitalis adalah lawan nyata Pak Prabowo. Tentu tak elok,
menyebut nama-nama siapa kapitalis berkulit Indonesia itu.
Ini
juga berarti, Pak Prabowo tentu akan menggantungkan kekuatannya pada
segenap Rakyat Indonesia yang masih hidup kekurangan di atas limpahan
kekayaan alam Indonesia itu. Maka pilihan terbaiknya, jika saja rakyat
Indonesia ingin ‘bertahta’ di atas negeri sendiri, maka Prabowo-lah
salah satu pilihan itu. Sebab hampir semua elit yang punya keinginan
besar tampil menjadi Calon Presiden RI, punya catatan kedekatan dengan
ekonomi liberal yang melahirkan system kapitalistik itu.
Lalu
apakah, bisa dipastikan jika Pak Prabowo menjadi Presiden RI rakyat
Indonesia bisa lebih sejahtera dari sekarang? Maka jawaban yang paling
tepat saat ini, adalah bagaimana mesin politik Pak Prabowo, dalam hal
ini Partai Gerindra dan Pak Prabowo sendiri ekstra kerja keras untuk
mensosialisasikan dan melakukan kerja nyata, seperti apa model
penciptaan kesejahteraan itu. Sebab sebagian rakyat Indonesia saat ini
telah dirasuki jiwa pragmatis, menyukai budaya instant, lebih percaya
dengan ‘tindakan’ ketimbang proses, lebih percaya dengan politikus
‘hambur-hambur’ harta. Inilah buah dari pendidikan politik yang kurang
baik yang banyak di praktekkan elit di negara ini pascareformasi.
Sungguh sebuah pekerjaan berat. Sungguh sebuah realitas yang harus di
jalani.
Sebelum menutup, saya ingin menyampaikan satu anekdot hasil ‘teka-teki’ saya semalam dengan teman-teman. Pertanyaannya begini?
“500 anggota DPR-RI kita melakukan perjalanan ke luar negeri menggunakan pesawat, dan mengalami kecelakaan. Siapa yang akan selamat?...
teman saya menjawab sigap. “Yang selamat, seluruh rakyat Indonesia, hahahaha…”
Satu kawan saya menjawab, “Sory bos. masih ada yang selamat karena ketinggalan pesawat, katanya dari Gerindra..hahahah”
------------------------
Teruslah Bergerak!