Sepulang
dari Jumatan di Masjid Cut Mutiah Menteng, saya menyempatkan diri
membaca buku untuk kepentingan kuliah sabtu besok. Materinya amat
menarik, “pencitraan politik” yang dibawakan seorang guru besar yang
cukup kesohor namanya di Indonesia. Prof. Dr. Anwar Arifin. Beliau pakar
komunikasi politik, mantan anggota DPR-RI dua periode asal Makassar.
Yang saya ingat betul dari perkuliahan beliau, adalah pernyataannya yang
cukup ‘nyeleneh’, bahwa jangan pernah terbawa-bawa emosi ‘melihat’
sikap anggota DPR yang saling tuding di panggung politik. “Biasalah, itu
semua dramaturgi, namanya juga orang politik. Di TV kita lihat alot
berdebat, tapi di panggung yang sebenarnya mereka makan se meja. Anda
harus cerdas melihat kondisi politik yang sebenarnya” kata Prof. Anwar.
Inspirasi
materi perkuliahan Prof. Anwar sangat mewarnai pikiran saya dalam
membangun tesis-tesis yang berparadigma konstruktivisme. Saya juga
mencoba melihat bagaimana realitas social politik sesorang yang kemudian
di konstruksi menjadi sebuah fakta social. Saya ingin menghubungkannya
dengan realitas politik seorang Prabowo Subianto, menjadi fakta social
dengan sebuah pertanyaan. Apakah memang Pak Prabowo Subianto itu punya
kans besar untuk tampil menjadi Presiden RI? Apakah kendaraan politik
Pak Prabowo cukup kuat mengantarkannya ke posisi itu? Saya ingin menoleh
jauh kebelakang, ada sebuah jawaban sederhana yang menjadi kesimpulan
saya, yakni “kepopuleran seseorang tidak selamanya berbanding lurus
dengan keterpilihannya”, ini yang pernah mendera Pak Prabowo di Pemilu
Presiden-Wakil Presiden 2009 lalu.
Artinya,
benak saya seolah ingin mengeluarkan sebuah pertanyaan dengan sepotong
kalimat. “Muluskah langkah Prabowo menjadi Presiden?” Kok bisa? Ya.
sejarah Pilpres 2009 telah membuktikannya, bahwa kepopuleran seorang
jenderal cerdas, tangguh, berdedikasi dan visioner bernama Prabowo
Subianto, tidak cukup mengantarkannya menjadi Presiden RI. Penyebabnya
sederhana, kendaraan politiknya yakni Partai Gerindra belum mampu
memberi posisi ‘aman’ untuk menjadi Capres kala itu. Ini sesuatu yang
berbeda dengan apa yang dialami Pak SBY ketika mendirikan Partai
Demokrat di awal tahun 1999. Begitu ikut Pemilu, Demokrat langsung
menduduki posisi kedua dibawah Golkar, sehingga tanpa membangun koalisi
sekalipun, SBY sudah memiliki pintu utama sebagai Capres. Sementara
Gerindra saat tampil pertama sebagai peserta Pemilu, hanya masuk di
posisi 10 besar saja. Ini dapat diartikan atau menjadi kesimpulan
sementara, bahwa cara menggerakkan mesin politik kedua partai ini
berbeda.
Memang
konteks Pak SBY dan Demokrat-nya berbeda ruang waktu dengan Pak Prabowo
dan Gerindra-nya di awal kelahirannya. Pak SBY dan Demokrat
diuntungkan, oleh iklim ‘pengucilan’ di era kepemimpinan Presiden
Megawati. Sehingga membuat nama Pak SBY yang menggandeng Jusuf Kalla
begitu melejit. Sementara Pak Prabowo dan partainya di awal
kelahirannya, sudah berhadapan dengan Pak SBY dan Demokrat yang lagi
‘naik daun’. Inilah yang kemudian membuat Prabowo dalam posisi
‘terjepit’ dan sepertinya legowo menerima posisi Cawapres dari Ibu
Megawati. “Pak Prabowo boleh popular, tapi partai Anda belum bisa
menjadikan Anda Capres,” begitu logika saya. Dan mungkin logika berpikir
para politisi negeri ini. Lalu apa yang harus diperbuat?
Citra dan Input buat Partai Gerindra
Sebenarnya
saya risih membahas soal ini. Apalagi memberi solusi dalam setiap
tulisan-tulisan saya. Maklum, saya tidak kapabel berbicara tentang
‘komunikasi politik’, saya amat dangkal dalam membaca fenomena politik
saat ini, apalagi saya juga seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan
rendahan yang ‘dipenjara’ sebuah aturan bila seorang PNS harus netral
dan tak telibat dalam aktivitas berbau kepartaian. Tapi sensitivitas
menulis mengajak saya untuk ikut ‘bercanda’ dengan kepak-kepak sayap
Garuda milik Partai Gerinda yang belum bisa ‘terbang tinggi’. Bagi saya
dan mungkin kita semua menganggap bahwa ‘citra’ itu sangat penting,
karenanya diperebutkan oleh siapa saja untuk dimilikinya, bahkan hampir
semua partai politik dan sejumlah elit menggelontorkan banyak biaya
hanya untuk merebut sebuah. citra. Termasuk Partai Gerindra dan Pak
Prabowo sebagai ikonnya.
Saya
juga ingin berpendapat, bahwa Partai Gerindra harus belajar dari sebuah
pengalaman awal. Setidaknya belajar dari partai ‘tetangga’ yang sukses
lebih dahulu. Jujur, saya ingin mengatakan ‘logo partai’ sudah cukup
menjadi ‘top of mind’ benak orang Indonesia. Begitu menyebut logo
Gerindra, maka yang diingat adalah ‘kepala Garuda’ dalam bingkai warna
keemasan, tapi yang paling diingat adalah Pak Prabowo. Pertanyaannya,
apakah Gerindra hanya dihuni oleh Pak Prabowo? Tentu tidak, sebab banyak
nama yang duduk didalamnya. Sebagai orang kampung, saya jujur
mengatakan kalau saya tidak banyak mengenal nama-nama petinggi Partai
Gerindra. Kalaupun ada, berkisar pada nama Permadi dan Fadli Son. Itu
juga kalau tidak salah tulis. Padahal menurut saya, kepopuleran sejumlah
nama tokoh Partai Gerindra di tingkat pusat, sangat berpengaruh pada
pemilih di tingkat daerah. Bagi saya, ini adalah ‘PR’ besar bagi jajaran
Partai Gerindra di tingkat pusat untuk merekrut pemilih
sebanyak-banyaknya.
Bagi
saya, membentuk dan membangun citra tidak cukup hanya memperkenalkan
diri melalui jejaring social sekelas facebook dan twitter. Tetapi perlu
ada sebuah langkah kongkrit berbentuk ‘gerakan’ mempopulerkan diri
secara ‘manual’ hingga pada khalayak daerah. Mungkin lewat media massa
yang dibarengi dengan perjalanan ke daerah-daerah melakukan ‘roadshow
image’, tentunya dengan membawa sejumlah visi partai yang sudah ada.
Sebab membangun citra juga tidak cukup dengan sekedar menjual nama
Prabowo Subianto. Mengapa?, sebab sistem Pemilu kita terlebih dahulu
memilih partai, lalu kemudian memilih siapa Presidennya.
Untuk
sementara, subjektif saya berpendapat langkah sederhana yang perlu
diperankan adalah; para politisi Partai Gerindra di DPR-RI harus
‘rajin-rajin’ membuat terobosan, memperkenalkan diri, memperkenalkan
partai dan terobosan yang sudah dibuat. Mungkin mahal jika membeli
‘spot’ di media massa. Tapi demikianlah resiko politik jika Anda ingin
tampil sebagai pemenang di Pemilu nantinya.
Selamat Bekerja Gerindra!!