» » » Muluskah Langkah Prabowo jadi Presiden?

Muluskah Langkah Prabowo jadi Presiden?

Penulis By on 21 October 2011 |

Sepulang dari Jumatan di Masjid Cut Mutiah Menteng, saya menyempatkan diri membaca buku untuk kepentingan kuliah sabtu besok. Materinya amat menarik, “pencitraan politik” yang dibawakan seorang guru besar yang cukup kesohor namanya di Indonesia. Prof. Dr. Anwar Arifin. Beliau pakar komunikasi politik, mantan anggota DPR-RI dua periode asal Makassar. Yang saya ingat betul dari perkuliahan beliau, adalah pernyataannya yang cukup ‘nyeleneh’, bahwa jangan pernah terbawa-bawa emosi ‘melihat’ sikap anggota DPR yang saling tuding di panggung politik. “Biasalah, itu semua dramaturgi, namanya juga orang politik. Di TV kita lihat alot berdebat, tapi di panggung yang sebenarnya mereka makan se meja. Anda harus cerdas melihat kondisi politik yang sebenarnya” kata Prof. Anwar.

Inspirasi materi perkuliahan Prof. Anwar sangat mewarnai pikiran saya dalam membangun tesis-tesis yang berparadigma konstruktivisme. Saya juga mencoba melihat bagaimana realitas social politik sesorang yang kemudian di konstruksi menjadi sebuah fakta social. Saya ingin menghubungkannya dengan realitas politik seorang Prabowo Subianto, menjadi fakta social dengan sebuah pertanyaan. Apakah memang Pak Prabowo Subianto itu punya kans besar untuk tampil menjadi Presiden RI? Apakah kendaraan politik Pak Prabowo cukup kuat mengantarkannya ke posisi itu? Saya ingin menoleh jauh kebelakang, ada sebuah jawaban sederhana yang menjadi kesimpulan saya, yakni “kepopuleran seseorang tidak selamanya berbanding lurus dengan keterpilihannya”, ini yang pernah mendera Pak Prabowo di Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2009 lalu.

Artinya, benak saya seolah ingin mengeluarkan sebuah pertanyaan dengan sepotong kalimat. “Muluskah langkah Prabowo menjadi Presiden?” Kok bisa? Ya. sejarah Pilpres 2009 telah membuktikannya, bahwa kepopuleran seorang jenderal cerdas, tangguh, berdedikasi  dan visioner bernama Prabowo Subianto, tidak cukup mengantarkannya menjadi Presiden RI. Penyebabnya sederhana, kendaraan politiknya yakni Partai Gerindra belum mampu memberi posisi ‘aman’ untuk menjadi Capres kala itu. Ini sesuatu yang berbeda dengan apa yang dialami Pak SBY ketika mendirikan Partai Demokrat di awal tahun 1999. Begitu ikut Pemilu, Demokrat langsung menduduki posisi kedua dibawah Golkar, sehingga tanpa membangun koalisi sekalipun, SBY sudah memiliki pintu utama sebagai Capres. Sementara Gerindra saat tampil pertama sebagai peserta Pemilu, hanya masuk di posisi 10 besar saja. Ini dapat diartikan atau menjadi kesimpulan sementara, bahwa cara menggerakkan mesin politik kedua partai ini berbeda.

Memang konteks Pak SBY dan Demokrat-nya berbeda ruang waktu dengan Pak Prabowo dan Gerindra-nya di awal kelahirannya. Pak SBY dan Demokrat diuntungkan, oleh iklim ‘pengucilan’ di era  kepemimpinan Presiden Megawati. Sehingga membuat nama Pak SBY yang menggandeng Jusuf Kalla begitu melejit. Sementara Pak Prabowo dan partainya di awal kelahirannya, sudah berhadapan dengan Pak SBY dan Demokrat yang lagi ‘naik daun’. Inilah yang kemudian membuat Prabowo dalam posisi ‘terjepit’ dan sepertinya legowo menerima posisi Cawapres dari Ibu Megawati. “Pak Prabowo boleh popular, tapi partai Anda belum bisa menjadikan Anda Capres,” begitu logika saya. Dan mungkin logika berpikir para politisi negeri ini. Lalu apa yang harus diperbuat?

Citra dan Input buat Partai Gerindra

Sebenarnya saya risih membahas soal ini. Apalagi memberi solusi dalam setiap tulisan-tulisan saya. Maklum, saya tidak kapabel berbicara tentang ‘komunikasi politik’, saya amat dangkal dalam membaca fenomena politik saat ini, apalagi saya juga seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan rendahan yang ‘dipenjara’ sebuah aturan bila seorang PNS harus netral dan tak telibat dalam aktivitas berbau kepartaian. Tapi sensitivitas menulis mengajak saya untuk ikut ‘bercanda’ dengan kepak-kepak sayap Garuda milik Partai Gerinda yang belum bisa ‘terbang tinggi’.  Bagi saya dan mungkin kita semua menganggap bahwa ‘citra’ itu sangat penting, karenanya diperebutkan oleh siapa saja untuk dimilikinya, bahkan hampir semua partai politik dan sejumlah elit menggelontorkan banyak biaya hanya untuk merebut sebuah.  citra. Termasuk Partai Gerindra dan Pak Prabowo sebagai ikonnya.

Saya juga ingin berpendapat, bahwa Partai Gerindra harus belajar dari sebuah pengalaman awal. Setidaknya belajar dari partai ‘tetangga’ yang sukses lebih dahulu. Jujur, saya ingin mengatakan ‘logo partai’ sudah cukup menjadi ‘top of mind’ benak orang Indonesia. Begitu menyebut logo Gerindra, maka yang diingat adalah ‘kepala Garuda’ dalam bingkai warna keemasan, tapi yang paling diingat adalah Pak Prabowo. Pertanyaannya, apakah Gerindra hanya dihuni oleh Pak Prabowo? Tentu tidak, sebab banyak nama yang duduk didalamnya. Sebagai orang kampung, saya jujur mengatakan kalau saya tidak banyak mengenal nama-nama petinggi Partai Gerindra. Kalaupun ada, berkisar pada nama Permadi dan Fadli Son. Itu juga kalau tidak salah tulis. Padahal menurut saya, kepopuleran sejumlah nama tokoh Partai Gerindra di tingkat pusat, sangat berpengaruh pada pemilih di tingkat daerah. Bagi saya, ini adalah ‘PR’ besar bagi jajaran Partai Gerindra di tingkat pusat untuk merekrut pemilih sebanyak-banyaknya.

Bagi saya, membentuk dan membangun citra tidak cukup hanya memperkenalkan diri melalui jejaring social sekelas facebook dan twitter. Tetapi perlu ada sebuah langkah kongkrit berbentuk ‘gerakan’ mempopulerkan diri secara ‘manual’ hingga pada khalayak daerah.  Mungkin lewat media massa yang dibarengi dengan perjalanan ke daerah-daerah melakukan ‘roadshow image’, tentunya dengan membawa sejumlah visi partai yang sudah ada. Sebab membangun citra juga tidak cukup dengan sekedar menjual nama Prabowo Subianto. Mengapa?, sebab sistem Pemilu kita terlebih dahulu memilih partai, lalu kemudian memilih siapa Presidennya.

Untuk sementara, subjektif saya berpendapat langkah sederhana yang perlu diperankan adalah; para politisi Partai Gerindra di DPR-RI harus ‘rajin-rajin’ membuat terobosan, memperkenalkan diri, memperkenalkan partai dan terobosan yang sudah dibuat. Mungkin mahal jika membeli ‘spot’ di media massa. Tapi demikianlah resiko politik jika Anda ingin tampil sebagai pemenang di Pemilu nantinya.

Selamat Bekerja Gerindra!!
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments