Cerita
itu bermula ketika Ayah bertanya tentang Pak Prabowo ‘masa kini’, sosok
tentara yang dikenalnya dulu sebagai komandan pasukan yang selalu
sukses dalam tugasnya. (padahal ayah saya bukan tentara). Saya jawab,
“Pak Prabowo kini menjadi petani, menjadi nelayan, menjadi pedagang, dan
kini mendirikan sebuah partai bernama Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), sepertinya akan jadi Presiden,” kataku.
Jawaban-jawaban
saya pada Ayah, adalah sebuah jawaban yang bagi saya hanyalah hasil
‘diskusi imaginer’ dengan Pak Prabowo. Sebuah jawaban yang lahir setelah
merasakan sensitivitas Pak Prabowo akan masa depan bangsa ini. Sebuah
jawaban yang saya petik dari hasil pergumulan akademik dan perbandingan
kepemimpinan dari sekian banyak elit negeri ini yang memiliki ambisi
untuk tampil sebagai pemimpin 270 juta jiwa warga Indonesia.
Ayah
saya tentu tak mengerti semua itu. Maklum ia seorang petani serabutan
yang pendapatannya sekedar mencukupi kebutuhan keluarga saya. Tapi Ayah
punya harapan dan asa ketika bercerita tentang sosok Pak Prabowo yang
hanya dikenalnya hanya lewat tv tetangga. Ayah ingin sosok Pak
Prabowo-lah yang menjadi Presiden Indonesia berikutnya.
------------------------
.
Cerita di atas hanya alur kecil untuk mengungkap bagaimana sosok Pak Prabowo di mata publik kelas bawah. Satu hal yang saya ‘tangkap’ dalam alur diskusi saya dengan ayah, bahwa Pak Prabowo telah menjadi magnet bagi rakyat Indonesia. Padahal bila dihitung-hitung, belakangan ini Pak Prabowo jarang ‘bersosialisasi’ di media massa. Satu-satunya yang ingat, hanyalah ketika Metro TV menampilkan sosok Pak Prabowo dalam ‘drama’ Operasi Mapenduma Papua, yang dikisahkan seorang jurnalis senior di negara ini.
------------------------
.
Cerita di atas hanya alur kecil untuk mengungkap bagaimana sosok Pak Prabowo di mata publik kelas bawah. Satu hal yang saya ‘tangkap’ dalam alur diskusi saya dengan ayah, bahwa Pak Prabowo telah menjadi magnet bagi rakyat Indonesia. Padahal bila dihitung-hitung, belakangan ini Pak Prabowo jarang ‘bersosialisasi’ di media massa. Satu-satunya yang ingat, hanyalah ketika Metro TV menampilkan sosok Pak Prabowo dalam ‘drama’ Operasi Mapenduma Papua, yang dikisahkan seorang jurnalis senior di negara ini.
Magnet-magnet
Pak Prabowo, lahir karena sensitivitasnya melihat kondisi negara dewasa
ini. Beliau mampu menterjemahkan alur pikir orang Indonesia, yang butuh
kepastian, butuh rasa aman, butuh kedamaian, dan butuh janji besar
untuk mengembalikan Indonesia sebagai ‘macan Asia’. Tentu ini terjadi
setelah kita merasakan betapa ‘babak belurnya’ Indonesia di mata public
internasional. Babak belur karena TKI telah dipandang sebagai budak,
babak belur karena barang impor begitu menggurita, babak belur karena
fasilitas Hankam kita yang menyedihkan, babak belur karena tatanan
ketatanegaraan kita yang tak lagi ada etika menghargai antara satu elit
dengan elit lainnya.
Hari
ini ada pesan sederhana, namun sangat bermakna dari Pak Prabowo yang
saya kutip dari facebook beliau. "Untuk dapat memberikan yang terbaik
bagi Indonesia, coba pastikan: apakah kita sudah berikan yang terbaik
untuk mereka yang berada di dekat kita? Keluarga kita? Tetangga kita?
Komunitas kita? Sesungguhnya, 'akar' yang baik adalah kunci agar pohon
dapat tumbuh tinggi, kuat dan bermanfaat" begitu pesannya.
Pesan
Pak Prabowo inilah yang seolah menjawab kegundahan kita. Saya menangkap
satu makna di sana, bahwa Pak Prabowo paham benar, apa yang sebenarnya
dirindukan bangsa ini. Beliau menyebutnya sebagai ‘akar’. Lalu siapa
akar yang dimaksud? Entalah. Yang pasti, ada nilai sensitivitas hadir di
sana. Sensivitas seorang jenderal berhati petani bernama Prabowo
Subianto.
Teruslah menjadi inspirasi Pak!