Semalam
saya bertemu dengan sejumlah kader Partai Gerindra Kecamatan Menteng
Jakarta Pusat. Mereka rapat ‘kecil-kecilan’ di sebuah warteg dekat kosan
saya di Kali Pasir Cikini. Dipimpin ketuanya Pak Sanusi (Bang Uci),
mereka asyik membahas rekruitmen kader, termasuk membahas ekspektasi
besar rakyat Indonesia hasil survey dari sejumlah lembaga independen
yang menempatkan Pak Prabowo sebagai kandidat terkuat Presiden RI 2014.
Dari meja sebelah, saya mengamati dan mengambil kesimpulan sederhana
bila kader-kader Partai Gerindra lagi bergembira dengan hasil survey
itu. Tentu sesuatu yang wajar, jika kerja keras mereka selama ini
membuahkan hasil.
Saya
tak ingin mengganggu aktivitas ‘rapat kecil’ itu meski Bang Uci meminta
saya untuk bergabung sembari memberi saran apa yang terbaik untuk
mereka lakukan. Saya jawab, “Silahkan aja Bang, baiknya abang mengajak
para pedagang kaki lima itu untuk bergabung dan bercanda dengan
kawan-kawan Gerindra, cukup saya di sini aja (meja sebelah),” kataku
setengah berbisik. Bang Uci hanya terseyum dan melanjutkan diskusinya.
Dalam
pertemuan itu, saya banyak mendengar ‘wejangan’ Bang Uci, bagaimana
seorang Pak Prabowo Subianto yang punya cita-cita sederhana yakni, jika
beliau jadi Presiden, maka rakyat Indonesia ‘cukup makan 3 kali sehari,
cukup sandang, punya perumahan yang layak, terciptanya rasa aman dan
nyaman’. Bahkan Bang Uci juga menyebut, Pak Prabowo tidak menyukai
kader-kader yang berwatak pragmatis.
Meski
tidak terlibat langsung dalam diskusi itu, diam-diam saya menelaah dan
meneropong, mengapa Pak Prabowo begitu dekat dihati publiknya. Inilah
yang banyak disebut orang sebagai ‘pendukung fanatik’. Saya pun
membayang dan menerawang jauh ke masa silam dengan
pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana masa-masa ketika Pak Prabowo dilahirkan
di muka bumi ini oleh ibunya?. Apakah ada tanda-tanda ‘kemukjizatan’
yang sejak awal terlihat? Bagaimana masa muda Pak Prabowo? Bagaimana ia
bisa menikahi putri Pak Harto yang saat itu begitu kuat dan berkuasa?
Mencermati
fenemona yang menyelimuti diri Pak Prabowo, saya lalu menyimpulkan
bila, “seorang pemimpin itu ternyata dilahirkan, tidak diciptakan,”
pikirku. Alasannya sederhana, belakangan ini banyak figure-figur public
ketika menginginkan ‘sesuatu’, maka yang dilakukannya adalah
‘menggenjot’ pencitraan agar bisa diterima khalayak. Termasuk
menggelontorkan milyaran rupiah hanya untuk merebut sebuah ‘daya terima’
public.
Makanya
tak heran, media-media TV nasional begitu banyak menerima orderan
‘pariwiara’ dari tokoh hanya untuk menaikkan popularitasnya. Boleh
jadi, ini juga yang menyebabkan, mengapa Pak Prabowo belakangan ini
jarang tampil di media. Mungkin, beliau ingin mengukur daya terimanya di
public, tanpa melakukan sosialisasi yang ‘jor-joran’. Bahkan mungkin
boleh jadi, Pak Prabowo berpikir bahwa menggelontorkan dana yang tak
sedikit melalui ‘pariwara media’ adalah cara-cara yang kerap dipakai
kaum kapitalis. Tentu jika ini alasannya, maka Pak Prabowo cenderung
memakai caranya sendiri, yakni lebih baik dana itu dijadikan ambulance
lalu dibagikan ke daerah-daerah. Lebih baik dana itu untuk diberikan
bantuan bagi pedagang atau kaum petani. Ya, sebuah konsistensi akan
mencapaian visi ekonomi kerakyatannya.
Bagi
saya, kerja-kerja politik ala Pak Prabowo, adalah tipe kerja politik
dari seseorang yang ‘dilahirkan’ untuk menjadi pemimpin. Sementara tipe
kerja politik dari sesorang yang ‘diciptakan’ biasanya cenderung
menggunakan cara-cara ‘instan’. Mungkin keduanya punya sisi keunggulan
dalam merebut simpati rakyat, namun magnet dan ekspektasi daya terima
rakyat amat berbeda. Orang yang dilahirkan sebagai pemimpin, bisanya
memiliki daya kharismatik tinggi, tidak dipertanyakan dari mana ia
berasal, jabatan apa yang pernah ia sandang dan lain sebagainya.
Dalam
kajian fenomenologi, sesorang yang lahir sebagai pemimimpin, ketika
tampil di depan public, maka aura kepemimpinannya begitu memancar,
sehingga apapun yang ia gunakan saat itu menjadi perbincangan. Sebut
saja ketika Pak Prabowo menggunakan Peci, kemeja batik, dan tersenyum
kepada publiknya, maka yang ada di benak publik, bahwa Pak Prabowo
adalah sosok yang Indonesianis, sederhana, berbudaya, dan kharismatik.
Dukungan dan empati begitu mudah diraihnya. Menariknya, public akan
melakukan respon atas apa yang dinilainya menjadi kekurangan seorang
Prabowo Subianto. seperti, siapa yang akan menjadi ‘ibu negara’ Pak
Prabowo pasca berpisah dengan Ibu Titik Soeharto. Mengapa Pak Prabowo
sering menggunakan kemeja khas ala Soekarno, apakah bajunya yang
dimilikinya hanya itu? Benarkah Pak Prabowo seorang pelanggar HAM, dan
lain sebagainya. Ini semua terjadi, karena public menginginkan tokoh
yang perfect (sempurna) di tengah ‘suasana’ dan ‘aroma’ kemunduran yang dirasakan Bangsa Indonesia saat ini.
Saya yang berdarah Bugis-Makassar, tentu tak banyak tahu apa makna dibalik pengistilahan dan sinkritisme
Jawa yakni ‘Satria Piningit’. Tapi saya seolah mengartikannya, bahwa
Satria Piningit itu adalah ‘telah dilahirkannya seorang pemimpin’. Bukan
diciptakan oleh hasil survey, hasil pengiklanan dan kampanye media
massa. Lalu akankah Satria Piningit itu adalah Jenderal Prabowo
Subianto??
Selamat Siang Jenderal!