Awalnya
saya berfikir, Partai Gerindra kuat semata karena figur Pak Prabowo
Subianto sebagai ‘top of mind’ partai ini, ternyata tidak juga. Cukup
banyak figur layak jual dan punya nama serta ide cemerlang untuk
membangun bangsa ini. Ada Prof. Suhardi, seorang pakar pertanian dari
UGM yang menjabat sebagai ketua umum, ada Fadli Zon, figur muda yang
menjabat sebagai wakil ketua umum partai. Ada Jamal Mirdad artis lawas
Indonesia, Pak Permadi (paranormal kenamaan yang hijrah dari PDIP), ada
Pak Hashim Djojohadikusumo adik Pak Prabowo sebagai wakil ketua dewan
pembina. Yang lebih menarik, kemarin (2 November 2011) di acara ‘Kesira’
saya menyaksikan puluhan para dokter ikut bergabung. Saya bertanya
dalam hati, “ada apa para dokter berkumpul di Gerindra, sebab biasanya
dokter lebih suka di rumah sakit daripada di partai, mana jumlahnya
cukup banyak.?”
Pertanyaan
itu amat membenam di benak saya hingga pulang di ‘kos-an’. Apakah
karena ada acara bagi-bagi ‘ambulance’ sehingga harus menghadirkan
dokter? Tidak juga. Saya hanya terpicu orasi Pak Hashim tentang sugesti
para dokter yang terpanggil ke Gerindra. Pak Hashim bilang, menjadi
sebuah kebanggaan partai jika secara sukarela banyak orang yang datang
karena dorongan ingin bersama-sama memajukan bangsa, dan kehadiran para
dokter adalah bentuk nyata kebanggaan itu. Hadirin pun memberikan standing aplause
orasi Pak Hashim, apalagi Pak Hashim sangat hafal dengan nama para
dokter itu. Saya pikir, para dokter itu pasti dokter hebat dan punya
nama, sebab tidak mungkin Pak Hashim menghafalnya jika dokter itu tidak
punya reputasi baik di masing-masing profesinya.
Ungkapan
Pak Hashim membawa benak saya jauh ke masa silam, ketika negara ini
baru dirintis pembentukannya. Ternyata negara kita berawal dari ‘kerja
politik’ para dokter. Ingkatkah Anda dengan nama dr. Soetomo, dr.
Wahidin Sudirohusodo, dr. Suwardi Suryanigrat, Gunawan, Suraji, Gumberg,
dan Saleh? Ya mereka adalah dokter-dokter yang dikenal sebagai
mahasiswa STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen) di
tahun 1908, yang kemudian bergabung membentuk oraganisasi ‘Boedi
Oetomo’. Merekalah yang kemudian berfikir keras untuk mewujudkan suatu
organisasi besar yang disebut ‘negara’, yang oleh bangsa ini diperingati
sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Saya
ingat cerita buku-buku sejarah, bagaimana para dokter itu ‘hilir mudik’
dipanggil oleh petinggi Belanda, karena mereka sering berkumpul,
berbicara dan membahas tentang ‘indoneshc’ (Indonesia). Kata yang paling tidak disukai Belanda kala itu. Untungnya para dokter itu pandai berkelit. ‘Tuan tak usah ragu, kami membahas kesehatan tuan dan para petinggi Belanda di negeri ini” begitu pembelaan para dokter pejuang kita tak kala mereka discreening
oleh penguasa kala itu, hingga kerja politik mereka tak dicurigai. Saya
lalu berpikir, kehadiran para dokter di Partai Gerindra kemarin adalah
sebuah ‘managemen Ilahi’ untuk mengulang sejarah panjang itu.
Aura Pak Hashim dan Puisi Belanda
Ketika Pak Hashim tampil berorasi mengumandangkan pentingnya ‘revolusi
putih’ untuk negeri ini, saya baru tersadar bila Pak Hashim tidak
sekedar seorang pengusaha, tidak sekedar anak Begawan ekonomi dan adik
Pak Prabowo. Tetapi ia mampu menterjemahkan pikiran-pikiran Pak Prabowo
tentang masa depan bangsa Indonesia. Wajarlah kemudian, jika Gerindra
‘mendapuk’ Pak Hashim sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.
Sebab tanpa kehadiran Pak Prabowo di sebuah acara, maknanya tidak akan
hilang jika Pak Hashim ada di sana. Saya pun berspekulasi, jika Pak
Prabowo dan Pak Hashim adalah ‘dua tubuh, satu nyawa'. Saya juga
berusaha mencari ‘cerita-cerita’ seputar adik Pak Prabowo itu. Satu
literatur menyebutkan, bahwa nama Pak Prabowo dan nama Pak Hashim,
awalnya tidak menggunakan nama belakang orang tuanya ‘Djojohadikusumo’.
Pak Prabowo cukup mendapatkan tambahan nama ‘Subianto’ sementara Pak
Hashim punya tambahan nama ‘Sudjono’. Kok Bisa?
Literatur
itu menyebutkan, nama Subianto dan Sudjono adalah paman beliau atau dua
nama adik Pak Sumitro Djojohadikusumo (ayah Pak Prabowo dan Pak
Hashim), yang gugur pada disebuah medan pertempuran melawan Jepang di
Desa Lengkong Wetan, Serpong Tanggerang pada 25 Januari 1946. keduanya
gugur sebagai kusuma bangsa dalam usia yang amat belia. Letnan Subianto
gugur di usia muda, 22 tahun dan adiknya Sudjono di usia 17 tahun.
Ada
cerita heroik dibalik gugurnya Paman Pak Prabowo dan Pak Hashim itu.
Sebelum dimakamkan. Di saku celana Letnan Subianto ditemukan secarik
kertas bertuliskan puisi karya penyair Belanda, Henriette Roland Holts;
“Kami bukan pembangun Candi,
Kami hanya pengangkut Batu,
Kami angkatan yang mesti musnah,
Agar menjelma angkatan baru di atas pusara kami”
Kami hanya pengangkut Batu,
Kami angkatan yang mesti musnah,
Agar menjelma angkatan baru di atas pusara kami”
Membaca
sepenggal puisi itu, bulu roma saya bergidik. Saya membayangkan,
nilai-nilai heroik, nasionalisme, dan semangat membangun kejayaan
Indonesia Raya tidaklah diciptakan begitu saja oleh Pak Prabowo dan Pak
Hashim. Tapi nama itu memang telah meresap sejak lahir. Pantaslah
kemudian jika Pak Prabowo dan Pak Hashim, adalah dua bersaudara yang
mengimpikan kejayaan Indonesia itu bangkit seperti kalimat terakhir di
puisi paman mereka. “Kami angkatan yang mesti musnah, agar menjelma angkatan baru di atas pusara kami”…
-----------------------------------
-----------------------------------
Lagi-lagi,
pada tulisan ini saya ingin fokus soal Pak Hashim. Beliau pengusaha
yang tidak sesulit apa yang kita kira. Saya menyalaminya kemarin
diantara ratusan banyak orang. Ia juga tak punya pengawalan ‘berlapis’
seperti pengusaha lainnya. Beliau amat sederhana. Mata saya memandang
kalau Pak Hasyim ini bertubuh lebar, terkesan jangkung dan berwajah
sedikit Chinese. Bahasanya sederhana. “Yuk Pulang” kata beliau mengajak
sambil berjabat tangan dengan sejumlah kader Partai Gerindra yang masih
bertahan di DPP menunggu hujan mereda.
Saya juga menyaksikan Pak Hashim tak didampingi ‘body guard’
seperti kebanyakan pengusaha lainnya, hanya bersama supir pribadinya.
Sambil melambaikan tangan, dan membuka kaca mobil, di bibirnya
berkali-kali keluar pesan-pesan sederhana. “Aku pulang ya? teman-teman
yang lain hati-hati di jalan,” kata itu terdengar jelas.
Di
poros Buncit Raya, motor yang saya tumpangi bersama Bang Uci (Sanusi)
Ketua PAC Menteng-Jakarta Pusat, masih berpapasan dengan kendaraan Pak
Hashim. Maklumlah motor masih bisa ‘melejit’ di tengah kemacetan,
sehingga mobil pak Hashim masih bisa ‘diburu’ meski berangkat lebih
awal 20 menit. Saat berpapasan, saya masih bisa melihat Pak Hashim di
mobilnya ‘asyik’ membaca koran, dan disamping terdapat beberapa buku
bacaan. Entah dibaca atau tidak, saya hanya berasumsi, jika buku memang
penting bagi seseorang, siapapun dia dan apapun kastanya. Saya amat
respon dengan orang-orang seperti ini.
Revolusi Putih
Satu hal yang belakangan ini menjadi jargon Pak Prabowo dan petinggi
Partai Gerindra lainnya selain jargon ekonomi kerakyatan adalah jargon
Revolusi Putih. Sebuah jargon yang mengajak rakyat Indonesia untuk
‘minum susu’ secukupnya setiap hari. Saya pikir, Gerindra akan bagi-bagi
susu di masyarakat. Ternyata tidak spragmatis itu. Ya. Apalagi namanya
‘revolusi’ adalah ‘perubahan secara cepat’. Tentu ada ‘Gerakan Cepat’.
Gerakan
secara cepat itu, adalah reduksi pemikiran Pak Prabowo dan partainya
untuk membangun karakter bangsa yang diawali dengan tubuh sehat, yang
salah satu solusinya menjadikan ‘susu’ sebagai komsumsi rakyat Indonesia
setiap harinya. Kajian Gerindra, konsumsi susu per kapita di Indonesia
tahun 2010 adalah 11,84 liter setahun. Artinya, rata-rata orang
Indonesia minum 32,44 mililiter atau 2 sendok makan per hari. Dua
sendok?? Sedih dan miris sekali mendengarnya. Apalagi jika membanding
komsumsi susu orang Indonesia, dengan bagsa lain di dunia. Di Asia
Tenggara saja, Indonesia di posisi “TERBAWAH”. Konsumsi per kapita di
Malaysia, Singapura, dan India tahun lalu masing-masing 50,26 liter,
47,35 liter, dan 45,43 liter. Di Vietnam dan Filipina, konsumsinya 14,05
liter dan 12,35 liter.
Rendahnya
tingkat konsumsi susu di Indonesia itu disebabkan faktor rendahnya daya
beli masyarakat dan berbagai faktor di dalam industri susu Indonesia.
Olehnya, Pak Prabowo dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
mengajak setiap elemen masyarakat, untuk menyisihkan sebagian rejeki
anda untuk membeli susu cair kemasan kecil secara rutin, dan berikan
kepada anak-anak kecil yang kurang mampu di komunitas Anda. Saya ingat
lagu lawas ‘Iwan Fals’ soal susu ini.
Membaca
pikiran-pikiran tentang revolusi ini sebenarnya amat sederhana. Pak
Prabowo ingin membangun ‘karakter bangsa’ dimulai dengan membangun raga
yang kuat, sehingga nantinya lahir pula jiwa yang kuat. Saya juga ingat
cerita sejumlah kader Gerindra ketika mengikuti Diklat di Hambalang
Bogor. Katanya setiap pagi dan malam, mereka disuguhi susu segar, hingga
mereka bisa menyerap ilmu yang diterima, dan kecintaan mereka terhadap
partai begitu kokoh.
Tampaknya,
revolusi putih ini perlu di sosialisasikan di media massa. Hingga
bukan kader saja yang mengetahuinya. Sebab rakyat perlu tahu, rakyat
perlu menikmatinya, dan rakyat punya hak untuk menjadi rakyat yang sehat
dan kuat..
Selamat Bekerja!