» » » Dokter, Puisi Belanda, dan Revolusi Putih

Dokter, Puisi Belanda, dan Revolusi Putih

Penulis By on 03 November 2011 |


Awalnya saya berfikir, Partai Gerindra kuat semata karena figur Pak Prabowo Subianto sebagai ‘top of mind’ partai ini, ternyata tidak juga. Cukup banyak figur layak jual dan punya nama serta ide cemerlang untuk membangun bangsa ini. Ada Prof. Suhardi, seorang pakar pertanian dari UGM yang menjabat sebagai ketua umum, ada Fadli Zon, figur muda yang menjabat sebagai wakil ketua umum partai. Ada Jamal Mirdad artis lawas Indonesia, Pak Permadi (paranormal kenamaan yang hijrah dari PDIP), ada Pak Hashim Djojohadikusumo adik Pak Prabowo sebagai wakil ketua dewan pembina. Yang lebih menarik, kemarin (2 November 2011) di acara ‘Kesira’ saya menyaksikan puluhan para dokter ikut bergabung. Saya bertanya dalam hati, “ada apa para dokter berkumpul di Gerindra, sebab biasanya dokter lebih suka di rumah sakit daripada di partai, mana jumlahnya cukup banyak.?”

Pertanyaan itu amat membenam di benak saya hingga pulang di ‘kos-an’. Apakah karena ada acara bagi-bagi ‘ambulance’ sehingga harus menghadirkan dokter? Tidak juga. Saya hanya terpicu orasi Pak Hashim tentang sugesti para dokter yang terpanggil ke Gerindra. Pak Hashim bilang, menjadi sebuah kebanggaan partai jika secara sukarela banyak orang yang datang karena dorongan ingin bersama-sama memajukan bangsa, dan kehadiran para dokter adalah bentuk nyata kebanggaan itu. Hadirin pun memberikan standing aplause orasi Pak Hashim, apalagi Pak Hashim sangat hafal dengan nama para dokter itu. Saya pikir, para dokter itu pasti dokter hebat dan punya nama, sebab tidak mungkin Pak Hashim menghafalnya jika dokter itu tidak punya reputasi baik di masing-masing profesinya.

Ungkapan Pak Hashim membawa benak saya jauh ke masa silam, ketika negara ini baru dirintis pembentukannya. Ternyata negara kita berawal dari ‘kerja politik’ para dokter. Ingkatkah Anda dengan nama dr. Soetomo, dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Suwardi Suryanigrat, Gunawan, Suraji, Gumberg, dan Saleh? Ya mereka adalah dokter-dokter yang dikenal sebagai mahasiswa STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen) di tahun 1908, yang kemudian bergabung membentuk oraganisasi ‘Boedi Oetomo’. Merekalah yang kemudian berfikir keras untuk mewujudkan suatu organisasi besar yang disebut ‘negara’, yang oleh bangsa ini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Saya ingat cerita buku-buku sejarah, bagaimana para dokter itu ‘hilir mudik’ dipanggil oleh petinggi Belanda, karena mereka sering berkumpul, berbicara dan membahas tentang ‘indoneshc’ (Indonesia). Kata yang paling tidak disukai Belanda kala itu. Untungnya para dokter itu pandai berkelit. ‘Tuan tak usah ragu, kami membahas kesehatan tuan dan para petinggi Belanda di negeri ini” begitu pembelaan para dokter pejuang kita tak kala mereka discreening oleh penguasa kala itu, hingga kerja politik mereka tak dicurigai. Saya lalu berpikir, kehadiran para dokter di Partai Gerindra kemarin adalah sebuah ‘managemen Ilahi’ untuk mengulang sejarah panjang itu.

Aura Pak Hashim dan Puisi Belanda
Ketika Pak Hashim tampil berorasi mengumandangkan pentingnya ‘revolusi putih’ untuk negeri ini, saya baru tersadar bila Pak Hashim tidak sekedar seorang pengusaha, tidak sekedar anak Begawan ekonomi dan adik Pak Prabowo. Tetapi  ia mampu menterjemahkan pikiran-pikiran Pak Prabowo tentang masa depan bangsa Indonesia. Wajarlah kemudian, jika Gerindra ‘mendapuk’ Pak Hashim sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Sebab tanpa kehadiran Pak Prabowo di sebuah acara, maknanya tidak akan hilang jika Pak Hashim ada di sana. Saya pun berspekulasi, jika Pak Prabowo dan Pak Hashim adalah ‘dua tubuh, satu nyawa'. Saya juga berusaha mencari  ‘cerita-cerita’ seputar adik Pak Prabowo itu. Satu literatur menyebutkan, bahwa nama Pak Prabowo dan nama Pak Hashim, awalnya tidak menggunakan nama belakang orang tuanya ‘Djojohadikusumo’. Pak Prabowo cukup mendapatkan tambahan nama ‘Subianto’ sementara Pak Hashim punya tambahan nama ‘Sudjono’. Kok Bisa?

Literatur itu menyebutkan, nama Subianto dan Sudjono adalah paman beliau atau dua nama adik Pak Sumitro Djojohadikusumo (ayah Pak Prabowo dan Pak Hashim), yang gugur pada disebuah medan pertempuran melawan Jepang di Desa Lengkong Wetan, Serpong Tanggerang pada 25 Januari 1946. keduanya gugur sebagai kusuma bangsa dalam usia yang amat belia. Letnan Subianto gugur di usia muda, 22 tahun dan adiknya Sudjono di usia 17 tahun.

Ada cerita heroik dibalik gugurnya Paman Pak Prabowo dan Pak Hashim itu. Sebelum dimakamkan. Di saku celana Letnan Subianto ditemukan secarik kertas bertuliskan puisi karya penyair Belanda, Henriette Roland Holts;
“Kami bukan pembangun Candi,
Kami hanya pengangkut Batu,
Kami angkatan yang mesti musnah,
Agar menjelma angkatan baru di atas pusara kami”

Membaca sepenggal puisi itu, bulu roma saya bergidik. Saya membayangkan, nilai-nilai heroik, nasionalisme, dan semangat membangun kejayaan Indonesia Raya tidaklah diciptakan begitu saja oleh Pak Prabowo dan Pak Hashim. Tapi nama itu memang telah meresap sejak lahir. Pantaslah kemudian jika Pak Prabowo dan Pak Hashim, adalah dua bersaudara yang mengimpikan kejayaan Indonesia itu bangkit seperti kalimat terakhir di puisi paman mereka. “Kami angkatan yang mesti musnah, agar menjelma angkatan baru di atas pusara kami”…
-----------------------------------

Lagi-lagi, pada tulisan ini saya ingin fokus soal Pak Hashim. Beliau pengusaha yang tidak sesulit apa yang kita kira. Saya menyalaminya kemarin diantara ratusan banyak orang. Ia juga tak punya pengawalan ‘berlapis’ seperti pengusaha lainnya. Beliau amat sederhana. Mata saya memandang kalau Pak Hasyim ini bertubuh lebar, terkesan jangkung dan berwajah sedikit Chinese. Bahasanya sederhana. “Yuk Pulang” kata beliau mengajak sambil berjabat tangan dengan sejumlah kader Partai Gerindra yang masih bertahan di DPP menunggu hujan mereda.

Saya juga menyaksikan Pak Hashim tak didampingi ‘body guard’ seperti kebanyakan pengusaha lainnya, hanya bersama supir pribadinya. Sambil melambaikan tangan, dan membuka kaca mobil, di bibirnya berkali-kali keluar pesan-pesan sederhana. “Aku pulang ya? teman-teman yang lain hati-hati di jalan,” kata itu terdengar jelas.

Di poros Buncit Raya, motor yang saya tumpangi bersama Bang Uci (Sanusi) Ketua PAC Menteng-Jakarta Pusat, masih berpapasan dengan kendaraan Pak Hashim. Maklumlah motor masih bisa ‘melejit’ di tengah kemacetan, sehingga mobil pak Hashim masih bisa ‘diburu’  meski berangkat lebih awal 20 menit. Saat berpapasan, saya masih bisa melihat Pak Hashim di mobilnya ‘asyik’ membaca koran, dan disamping terdapat beberapa buku bacaan. Entah dibaca atau tidak, saya hanya berasumsi, jika buku memang penting bagi seseorang, siapapun dia dan apapun kastanya. Saya amat respon dengan orang-orang seperti ini.

Revolusi Putih
Satu hal yang belakangan ini menjadi jargon Pak Prabowo dan petinggi Partai Gerindra lainnya selain jargon ekonomi kerakyatan adalah jargon Revolusi Putih. Sebuah jargon yang mengajak rakyat Indonesia untuk ‘minum susu’ secukupnya setiap hari. Saya pikir, Gerindra akan bagi-bagi susu di masyarakat. Ternyata tidak spragmatis itu. Ya. Apalagi namanya ‘revolusi’ adalah ‘perubahan secara cepat’. Tentu ada ‘Gerakan Cepat’.

Gerakan secara cepat itu, adalah reduksi pemikiran Pak Prabowo dan partainya untuk membangun karakter bangsa yang diawali dengan tubuh sehat, yang salah satu solusinya menjadikan ‘susu’ sebagai komsumsi rakyat Indonesia setiap harinya. Kajian Gerindra, konsumsi susu per kapita di Indonesia tahun 2010 adalah 11,84 liter setahun. Artinya, rata-rata orang Indonesia minum 32,44 mililiter atau 2 sendok makan per hari. Dua sendok?? Sedih dan miris sekali mendengarnya. Apalagi jika membanding komsumsi susu orang Indonesia, dengan bagsa lain di dunia. Di Asia Tenggara saja, Indonesia di posisi “TERBAWAH”. Konsumsi per kapita di Malaysia, Singapura, dan India tahun lalu masing-masing 50,26 liter, 47,35 liter, dan 45,43 liter. Di Vietnam dan Filipina, konsumsinya 14,05 liter dan 12,35 liter.

Rendahnya tingkat konsumsi susu di Indonesia itu disebabkan faktor rendahnya daya beli masyarakat dan berbagai faktor di dalam industri susu Indonesia. Olehnya, Pak Prabowo dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mengajak setiap elemen masyarakat, untuk menyisihkan sebagian rejeki anda untuk membeli susu cair kemasan kecil secara rutin, dan berikan kepada anak-anak kecil yang kurang mampu di komunitas Anda. Saya ingat lagu lawas ‘Iwan Fals’ soal susu ini.

Membaca pikiran-pikiran tentang revolusi ini sebenarnya amat sederhana. Pak Prabowo ingin membangun ‘karakter bangsa’ dimulai dengan membangun raga yang kuat, sehingga nantinya lahir pula jiwa yang kuat. Saya juga ingat cerita sejumlah kader Gerindra ketika mengikuti Diklat di Hambalang Bogor. Katanya setiap pagi dan malam, mereka disuguhi susu segar, hingga mereka bisa menyerap ilmu yang diterima, dan kecintaan mereka terhadap partai begitu kokoh.

Tampaknya, revolusi putih ini perlu di sosialisasikan di media massa.  Hingga bukan kader saja yang mengetahuinya. Sebab rakyat perlu tahu, rakyat perlu menikmatinya, dan rakyat punya hak untuk menjadi rakyat yang sehat dan kuat..

Selamat Bekerja!
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments