Satu
hal yang menjadi ‘PR’ bagi simpatisan Jenderal Prabowo Subianto adalah
menjawab sejumlah pertanyaan khalayak tentang persepsi negative yang
melekat pada beliau. Seperti; Pak Prabowo di cap sebagai pelanggar HAM,
dan tentara yang keras. Suka atau tidak suka, persepsi ini begitu
melekat bagi yang mengetahui sepak terjang beliau selama berkarir di
militer. Anehnya, persepsi ini seolah menjadi momok yang kemudian
dipelihara oleh kalangan tertentu, untuk menjatuhkan citra politik Pak
Prabowo. Lebih aneh lagi, tidak ada institusi khusus dari pihak Pak
Prabowo yang secara terstruktur membantah persepsi negative ini. Toh,
kalau ada biasanya dilakukan oleh person Pak Prabowo sendiri, itupun
jika ada pertanyaan dari wartawan.
Inilah yang di dunia politik disebut ‘Lingkaran Kebisuan' (die schweigespirale). Lingkaran Kebisuan ini adalah mayoritas khalayak (public mayority) yang membisu atau diam meskipun pro atau setuju terhadap sebuah kebijakan, namun dikalahkan oleh kelompok minoritas (public minority)
yang anti terhadap kebijakan itu, tetapi selalu ditonjolkan oleh media
massa. Suara minoritas itu tidak saja membentuk citra yang keliru,
tetapi dapat terwujud dalam bentuk keputusan, nilai-nilai dan
norma-norma.
Artinya,
saya dan kita semua ngin berpendapat bahwa, sebenarnya Pak Prabowo itu
bukanlah sosok pelanggar HAM apalagi tentara yang amat keras, dan saya
meyakini publik amat mengetahui hal ini, begitu juga para kader dan
simpatisan partai Gerindra serta pengagum beliau. Namun ‘kita’ seolah
membisu ketika media massa menyampaikan persepsi negative itu. Kata
‘Kita’ disini itulah yang disebut sebagai ‘lingkaran kebisuan’. Tahu
menjawabnya, tetapi ‘tidak tahu cara’ menjawabnya.
Memang
ini ‘pekerjaan rumah’ di tengah media massa bangsa ini mengalami satu
masa yang disebut ‘ubiquity’ atau serba ada, yaitu media massa berada di
mana-mana dan sulit dihindari oleh khalayak, sehingga media massa mampu
mendominasi lingkungan informasi. Apalagi pesan media massa yang
bersifat kumulatif, dapat memperkokoh dampak media massa, melalui
pengulangan pesan berkali-kali dan penyatuan pesan ‘yang terpotong’.
Dampak media massa itu diperkuat lagi dengan keseragaman para wartawan (consonance of jounalistics).
Misalnya penyajian pesan politik yang cenderung sama oleh semua media
massa akan menjurus pada pencitraan politik yang sama pada khalayak.
Lalu
pertanyaannya, apakah Pak Prabowo dan segenap simpatisannya ‘melawan’
media massa itu sendiri? Jawabannya amat sederhana, semua kader dan
simpatisan Pak Prabowo harus melepaskan diri dari ‘lingkaran kebisuan’
serta memanfaatkan ‘ubiquity’ media massa itu sendiri, bukan melawannya
dalam arti frontal. Media tidak sekedar di artikan sebagai televise atau
surat kabar, tetapi media massa dalam arti yang lebih luas. Dengan kata
lain, jika segenap pendukung Pak Prabowo mampu memanfaatkan media-massa
di masing-masing ‘wilayahnya’ secara continue, terstruktur, baik TV
local, radio-radio local, surat kabar lokal. Yakinlah bahwa dalam waktu
yang cukup singkat ‘citra politik’ Pak Prabowo akan semakin melejit di
khalayak ramai secara tersebar dan merata di daerah-daerah. Apalagi jika
di dukung dengan publikasi melalui TV nasional secara continue pula.
Saya
menulis hal ini, setelah terinspirasi dari diskusi saya dengan Walikota
Baubau, Pak Amirul Tamim. Beliau seorang kader partai islam, tetapi ia
mengagumi sosok Jenderal Prabowo Subianto. Pak Amirul berkata, mungkin
kepemimpinan nasional kita mendatang adalah ‘era-nya’ Pak Prabowo, sebab
Pak Prabowo terlahir dari keluarga pemimpin, punya karir yang
cemerlang, dan dedikasinya sebagai pemimpin republik sudah terlihat
sejak sekarang. “Tapi saya melihat pencitraan media Pak Prabowo masih
minim, di Jakarta, saya belum melihat baleho-baleho beliau terpampang,
begitu juga di daerah-daerah. Ini perlu dipikirkan serius oleh
kader-kader beliau,” katanya.
Selamat Malam. Terus Berjuang!