» » » Jenderal Prabowo dan Teori Lingkar Kebisuan

Jenderal Prabowo dan Teori Lingkar Kebisuan

Penulis By on 18 November 2011 |

Satu hal yang menjadi ‘PR’ bagi simpatisan Jenderal Prabowo Subianto adalah menjawab sejumlah pertanyaan khalayak tentang persepsi negative yang melekat pada beliau. Seperti; Pak Prabowo di cap sebagai pelanggar HAM, dan tentara yang keras. Suka atau tidak suka, persepsi ini begitu melekat bagi yang mengetahui sepak terjang beliau selama berkarir di militer. Anehnya, persepsi ini seolah menjadi momok yang kemudian dipelihara oleh kalangan tertentu, untuk menjatuhkan citra politik Pak Prabowo. Lebih aneh lagi, tidak ada institusi khusus dari pihak Pak Prabowo yang secara terstruktur membantah persepsi negative ini. Toh, kalau ada biasanya dilakukan oleh person Pak Prabowo sendiri, itupun jika ada pertanyaan dari wartawan.

Inilah yang di dunia politik disebut ‘Lingkaran Kebisuan' (die schweigespirale). Lingkaran Kebisuan ini adalah mayoritas khalayak (public mayority) yang membisu atau diam meskipun pro atau setuju terhadap sebuah kebijakan, namun dikalahkan oleh kelompok minoritas (public minority) yang anti terhadap kebijakan itu, tetapi selalu ditonjolkan oleh media massa. Suara minoritas itu tidak saja membentuk citra yang keliru, tetapi dapat terwujud dalam bentuk keputusan, nilai-nilai dan norma-norma.

Artinya, saya dan kita semua ngin berpendapat bahwa, sebenarnya Pak Prabowo itu bukanlah sosok pelanggar HAM apalagi tentara yang amat keras, dan saya meyakini publik amat mengetahui hal ini, begitu juga para kader dan simpatisan partai Gerindra serta pengagum beliau. Namun ‘kita’ seolah membisu ketika media massa menyampaikan persepsi negative itu. Kata ‘Kita’ disini itulah yang disebut sebagai ‘lingkaran kebisuan’. Tahu menjawabnya, tetapi ‘tidak tahu cara’ menjawabnya.

Memang ini ‘pekerjaan rumah’ di tengah media massa bangsa ini mengalami satu masa yang disebut ‘ubiquity’ atau serba ada, yaitu media massa berada di mana-mana dan sulit dihindari oleh khalayak, sehingga media massa mampu mendominasi lingkungan informasi. Apalagi pesan media massa yang bersifat kumulatif, dapat memperkokoh dampak media massa, melalui pengulangan pesan berkali-kali dan penyatuan pesan ‘yang terpotong’. Dampak media massa itu diperkuat lagi dengan keseragaman para wartawan (consonance of jounalistics). Misalnya penyajian pesan politik yang cenderung sama oleh semua media massa akan menjurus pada pencitraan politik yang sama pada khalayak.

Lalu pertanyaannya, apakah Pak Prabowo dan segenap simpatisannya ‘melawan’ media massa itu sendiri? Jawabannya amat sederhana, semua kader dan simpatisan Pak Prabowo harus melepaskan diri dari ‘lingkaran kebisuan’ serta memanfaatkan ‘ubiquity’ media massa itu sendiri, bukan melawannya dalam arti frontal. Media tidak sekedar di artikan sebagai televise atau surat kabar, tetapi media massa dalam arti yang lebih luas. Dengan kata lain, jika segenap pendukung Pak Prabowo mampu memanfaatkan media-massa di masing-masing ‘wilayahnya’ secara continue, terstruktur, baik TV local, radio-radio local, surat kabar lokal. Yakinlah bahwa dalam waktu yang cukup singkat ‘citra politik’ Pak Prabowo akan semakin melejit di khalayak ramai secara tersebar dan merata di daerah-daerah. Apalagi jika di dukung dengan publikasi melalui TV nasional secara continue pula.

Saya menulis hal ini, setelah terinspirasi dari diskusi saya dengan Walikota Baubau, Pak Amirul Tamim. Beliau seorang kader partai islam, tetapi ia mengagumi sosok Jenderal Prabowo Subianto. Pak Amirul berkata, mungkin kepemimpinan nasional kita mendatang adalah ‘era-nya’ Pak Prabowo, sebab Pak Prabowo terlahir dari keluarga pemimpin, punya karir yang cemerlang, dan dedikasinya sebagai pemimpin republik sudah terlihat sejak sekarang. “Tapi saya melihat pencitraan media Pak Prabowo masih minim, di Jakarta, saya belum melihat baleho-baleho beliau terpampang, begitu juga di daerah-daerah. Ini perlu dipikirkan serius oleh kader-kader beliau,” katanya.

Selamat Malam. Terus Berjuang!
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments