“Saat
ini, yang paling tepat jadi Presiden adalah Pak Prabowo Subianto”.
inilah kalimat yang kerap diungkap Pak Lani, seorang Bos Warung Tegal
(Warteg) sekaligus distributor aneka minuman mineral depan kos-an saya
di bilangan Kalipasir, Cikini-Jakarta Pusat. Entah apa yang
melatarbelakangi pikiran Pak Lani, hingga beliau berkata seperti itu.
Saya hanya bertanya-tanya dalam hati, apakah karena obrolan setiap malam
di warungnya berbicara tentang sosok Pak Prabowo, sehingga Pak Lani
terbawa arus?
Mungkin
jawabannya Iya, tetapi bisa juga tidak. Sebab Pak Lani tiap harinya
sibuk dengan urusan bisnisnya dan tak suka berpolitik. Saya hanya
menduga, Pak Lani belajar dari pengalaman perjalanan ‘kepemimpinan
nasional’ yang dirasakannya dari masa ke masa, ketika ia memulai hidup
sebagai ‘penjual gendongan’ di seputaran Taman Ismail Marzuki (TIM)
belasan tahun silam. Saya juga menduga, jika sebenarnya sosok seperti
Pak Lani inilah yang bisa disebut pelaku ‘ekonomi kerakyatan’, yang
diimpikan Pak Prabowo melalui visi besarnya membangun negeri ini ketika
ia dipercaya Rakyat Indonesia sebagai Presiden.
Mengapa
saya sebut sebagai sosok pelaku ekonomi kerakyatan? Jawabannya
sederhana. Meski Pak Lani terbilang sukses, tetapi nilai-nilai sosial
kemasyarakatannya tetap terjaga. Meski ia sibuk, tetapi ada saja waktu
untuk bersilaturrahim dengan tetangganya. Sesuatu yang berbeda dengan
sebagian besar konglomerat Jakarta yang lebih sibuk dengan
‘ketidakpeduliannya’ pada lingkungan sekitarnya. Pak Lani, masih bisa
mengajak kami berempat ke Gelora Bung Karno-Senayan secara gratis untuk
menyaksikan pertandingan Timnas versus Thailand, tadi malam.
Di
mobilnya, diam-diam saya berdoa, semoga Pak Lani tidak berubah sikap di
tengah kesuksesannya. Semoga Pak Lani tetaplah Pak Lani yang sekarang,
yang sosial, yang merakyat, yang ‘pusing’ karena keinginannya agar
anak-anaknya bisa sekolah setinggi-tingginya, dan yang terpenting,
peduli dengan lingkungan sekitarnya. Tapi maaf! Jangan Anda datang ke
Pak Lani menawarkan Partai politik, sebab sama sekali ia tak suka
berpolitik. Datanglah padanya berbicara tentang kedamaian, atau
berbicara tentang sosok. Pemimpin yang bisa memberi keamanan dan
kenyamanan. Maka Pak Lani akan menjawab; “Pak Prabowo!”
Sebagai
pengagum Pak Prabowo, saya terkadang berfikir panjang bahwa belakangan
ini Pak Prabowo telah ‘membumi’, bukan hanya dikalangan elit bangsa ini.
Tetapi juga kalangan masyarakat lapis bawah. Dari pengojek, pengusaha
warteg, sopir taxi, hingga kawan-kawan kampus saya yang kerap membahas
fenomena politik Pak Prabowo. Tentu dalam kajian-kajian ilmiah. Bahkan
seorang dosen saya, yang mengajarkan studi ‘Pemasaran Politik’ dengan
lantang berkata “Elektabilitas Pak Prabowo akan terus bergerak naik,
sepanjang ia mampu memaksimalkan pencitraannya melalui iklan above the line dan below the line. Ketika seorang mahasiswa menanyakan tentang posisi Pak Prabowo yang masih terus ‘membujang’, dosen saya bilang “ Soal itu mah
gampang. Andai saja Pak Prabowo pasang iklan mencari istri, maka jutaan
wanita akan datang padanya, saya pikir ini bukan masalah pada tokoh
sekelas Pak Prabowo, bahkan bisa jadi ini juga strategi politik beliau,”
katanya menduga.
Gardu Prabowo, dan Imaginer 08
Sebelum di ajak nonton oleh Pak Lani, siangnya saya bertandang ke
kantor ‘Gardu Prabowo” yang terletak di Jalan Kendal No. 5 Menteng,
Jakarta Pusat setelah dijemput rekan Joe Wiston Rumangit, pemuda asal
Manado, yang juga aktivis Gardu Prabowo. Kedatangan saya ke sana
memenuhi ‘undangan’ Bang Andy Ahmad Yusuf, Sekjen Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Gerakan Rakyat Pendukung Prabowo Subianto
atau disingkat ‘Gardu Prabowo”. Awalnya saya menulis ‘Gardu’ itu
singkatan dari ‘Garuda Muda’ padahal bukan. Saya sedikit malu, karena ke
sok tahuan saya.
Undangan
Bang Andy, menjadi ‘litsus’ bagi saya yang menulis blog ‘Pena untuk
Jenderal’. Bang Andy ingin mengetahui siapa dan bagaimana latar belakang
saya. Maklum, ternyata saya (alhamdulillah) dijadikan sebagai salah
satu pemateri di HUT Gardu Prabowo 30 November 2011 mendatang. Tentu ini
menjadi kehormatan besar bagi saya yang sebenarnya lebih cocok disebut
‘penulis kampung’ atau bahkan ‘kampungan’, jika disandingkan dengan
pemateri ilmiah lainnya yang diundang, yakni Bapak Hashim
Djoyohadikusumo (adik Pak Prabowo), Bapak Prof. Dr. Ir. Suhardi, M.Sc
(Ketua Umum DPP Partai Gerindra), Bapak Prof. Dr. Koeswara (Dosen
LEMHANAS), apalagi menjadi pemateri di tengah kehadiran ‘Sang Presiden
2014’ bersama ratusan kader Partai Gerindra dari berbagai penjuru di
Indonesia.
Selama
hampir 4 jam lamanya di kantor Gardu Prabowo, saya banyak mencermati
sikap orang-orang dekat Pak Prabowo itu, begitu fanatiknya, begitu
cintanya pada sosok Prabowo Subianto, dan yang lebih penting dari semua
itu, bahwa kader-kader Pak Prabowo, nasionalisme-nya di mata saya luar
biasa. Mereka tidak sekedar mencintai Pak Prabowo, tetapi mereka ‘hidup
mati’ demi Indonesia Raya. Setiap bertemu, salam ‘merah putih’ menggema
di setiap ruangan.
Satu
hal yang saya cermati bahwa sebutan ‘08’ adalah bahasa keseharian
mereka ketika mereka menyebut nama Pak Prabowo. Saya tak bertanya lagi
dengan imaginer 08 ini, sebab Bang Andy telah membisiki saya bahwa
sebutan ‘08’ adalah ‘nama sandi radio’ Pak Prabowo ketika aktif menjadi
Kopassus, dan nama itu begitu melekat pada mereka, karena banyak
pengurus dari Gardu Prabowo adalah purnawirawan TNI, bahkan beberapa
diantara mereka lebih memilih ‘pensiun dini’ dari pekerjaannya untuk
mengabdikan pemikirannya semata untuk sosok Prabowo Subianto. Saya
berkata dalam hati “betapa hebat kepemimpinan Pak Prabowo, sehingga ada
yang rela mencurahkan hidupnya untuk selalu bersama Pak Prabowo, di
manapunn dan kapanpun”.
“Bapak
(baca : Prabowo Subianto) itu orangnya sangat disiplin, pembersih, dan
amat peduli dengan kesehatan orang banyak. Jangan sekali-kali merokok
jika bersama beliau. Bahkan kantor juga harus bersih dari rokok. Bapak
bilang, mending uang kamu itu di sumbangkan ke Panti Asuhan, ketimbang
harus dibakar sia-sia” tegas Bang Andy juga Joe dan kawan-kawan lainnya.
Dari
cerita kader-kader unggulan Pak Prabowo inilah, saya menangkap
imaginasi kehidupan seorang Jenderal Prabowo Subianto, bila ia begitu
meng-impikan rakyat Indonesia yang punya kedisiplinan hidup, yang
terjamin kesehatan jiwa dan raganya. Mungkin inilah, mengapa kemudian
Pak Prabowo menggaungkan revolusi putih, sebuah gerakan dan ajakan
‘minum susu’ bagi anak-anak Indonesia. Sebuah pikiran sederhana tapi
sangat tepat untuk mewujudkan manusia Indonesia yang tangguh. Sekaligus
sindiran bagi penikmat rokok agar mengubah kehidupannya dari ‘merokok’
menjadi ‘peminum susu’. (kalau kalimat ini, hanya imaginasi saya
belaka).
Banyak
hal yang saya ingin ceritakan dari pengalaman hari ini. Namun saya
kesulitan merangkainya menjadi sebait kata-kata, karena kekaguman yang
berlebihan dan tak bisa lagi saya ungkapkan. Saya seolah dipaksa oleh
otak saya untuk ‘membuat satu keputusan’ untuk terus menulis dan
menulis. Tapi saya teringat pesan dari Pak Amirul Tamim, Walikota
Baubau, Sulawesi Tenggara. “Janganlah membuat keputusan di saat Anda
terlalu merasa senang, dan jangan pula membuat keputusan di saat Anda
bersedih, sebab hasilnya tidak akan pernah maksimal”. Saya pun cukup
menulis sampai di sini dulu, sampai emosional saya kembali ‘normal’.
Selamat Pagi Indonesia Raya!