Awalnya,
saya sendiri bertanya, mengapa Pak Prabowo Subianto harus ‘menjual’
Joko Widodo (Jokowi) Walikota Solo (Jateng) sebagai Cagub DKI Jakarta
dan Bambang Cahaya Purnama (Ahok) mantan Bupati Belitung Timur (Babel)
sebagai Cawagub-nya. Padahal keduanya bukanlah kader Partai Gerindra,
sebab Jokowi adalah kader PDIP sementara Ahok adalah kader Partai
Golkar. Keduanya pun bukan penduduk DKI Jakarta. Tentu hitungan
kalkulasi sederhana, tak mudah pasangan ini menjadi pemenang Pilkada di
belantara politik ibukota, apalagi incumbent begitu merajalela
menyampaikan pesan-pesan politiknya dengan berbagai cara. Belum lagi
kandidat lainnya dengan segudang nama besar.
Saya
tak ingin membahas jauh pasangan ini. Saya justru melihat adanya pesan
interaksi simbolik yang disampaikan Pak Prabowo, bahwa siapapun anak
bangsa ini, tanpa pandang bulu, selama punya prestasi, bersih selama
memimpin, dan berkomitmen kuat pada negara dan peduli pada rakyat kecil,
adalah ‘kriteria’ seorang Haji Prabowo Subianto dalam memilih dan
memilah pemimpin. Cara pandang seperti ini, tentu tak mudah dipahami
oleh pengagum pak Prabowo, sebab politik sangat dipengaruhi oleh
beberapa factor, tetapi mau tak mau, jika memahami realitas politik Pak
Prabowo, maka pengagum Pak Prabowo di Jakarta sejogjanya menjatuhkan
pilihannya buat pasangan Jokowi-Ahok di Pilkada Jakarta, Juni mendatang.
Maaf
saya tak mengkampanyekan pasangan Jokowi-Ahok, saya justru kepikiran
pada satu pernyataan subjektif saya sendiri, jika apa yang dilakukan Pak
Prabowo kepada figur Jokowi-Ahok, adalah cerminan dan upaya kerja Pak
Prabowo ‘untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya’. Atau dengan kata
lain, Pak Prabowo ingin menempatkan figur-figur terbaik di negeri ini
saatnya tampil ke public nasional. Setidaknya politik Jakarta yang
menjadi barometer iklim demokrasi di Tanah Air.
Sebab
jika ditilik secara pragmatis, Partai Gerindra akan jauh lebih ‘untung’
secara financial jika menyerahkan 6 kursi Gerindra di DPRD DKI pada
incumbent. Tentu hitung-hitungnya adalah uang, sebab bisa saja 1 kursi
dihargai (misalnya ) Rp 1 Milyar. Artinya, sangat kayalah partai jika
kursi partai dihargai seperti itu. Tetapi kenyataannya, pintu diserahkan
pada pasangan Jokowi-Ahok. Saya tak tahu berapa nilainya. Tetapi sangat
terlihat jika metode ini adalah cara dan pesan Pak Prabowo menyampaikan
kepada khalayak Indonesia, jika saatnya, Indonesia kini harus dipimpin
figure yang benar-benar amanah, tanpa melihat latar belakang figure itu.
seperti Jokowi yang sukses dengan kesederhanaannya dan figure Ahok yang
berlatar belakang etnis Thionghoa. Ini berarti pula, nasionalisme Pak
Prabowo dalam memandang setiap etnis, begitu universal dan lepas dari
sekat-sekat perbedaan.
Jokowi
boleh saja hanya berlevel Walikota, tetapi terobosannya dalam
memberikan keteladanan berbentuk ide kreatif, pandai mengangkat isu
lokal menjadi isu nasional, cinta produk dalam negeri ala ESEMKA, telah
menjadikan prilakuknya sendiri menjadi ‘juru bicara’ atas kemampuan yang
dimilikinya. Saya teringat seorang Ahmadinejad, yang hanya Walikota
Teheran, tetapi kemudian mampu menjadi Presiden Iran, juga karena
kemampuan dan keteladanan pribadinya.
Begitu
pula Ahok. Ia seorang Tionghoa, pernah menjadi bupati yang sukses di
Belitung Timur, tidak harus dua periode memimpin seperti kebanyakan
kepala daerah lainnya, tetapi setelah satu periode selesai ia memilih
menjadi anggota DPR RI. Ia sukses melenggang ke Senayan, karena ia
begitu dipercaya rakyatnya sebagai kepala daerah yang tak hanya sukses,
tetapi bersih dalam memerintah. Etnis tak membatasinya untuk merenggang
system politik di Tanah Air. Figure Ahok mengingatkan saya pada seorang
Barrack Obama, yang di negerinya adalah minoritas karena berasal dari
keluarga Negro Kenya, yang sukses menjadi senator di Illionis USA, lalu
kemudian berkibar menjadi Presiden di negara yang paling berkuasa di
dunia ini. Amerika.
Cara
Pak Prabowo dengan mengusung Jokowi-Ahok bersama PDIP, adalah bentuk
ketidak egoisan berpolitik seorang Prabowo Subianto. Bahwa Ahok
sebelumnya adalah kader Golkar, bukanlah penghalang Pak Prabowo untuk
menata negeri ini. Orang boleh saja beranggapan, bahwa pilkada Jakarta
adalah ‘pemanasan’ menuju Pemilu 2014, tetapi saya memandangnya lain.
pasangan Jokowi-Ahok adalah simbol kepedulian Pak Prabowo pada rakyat
kecil di Indonesia, dan Pak Prabowo menampilkan itu di Kota Jakarta,
simbol pergumulan politik Tanah Air.
Maka
Andai saja saya berpenduduk Jakarta, dan pengagum seorang Prabowo
Subianto, maka saat ini saya berikrar, jika pilihan aakan saya berikan
pada pasangan Jokowi-Ahok. Apapun hasilnya nanti. Lalu bagaimana dengan
Anda??
(**)