FENOMENOLOGI
oleh : Hamzah Palalloi
a. Asal-usul
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomai, yang berarti ‘menampak’ dan phainomenon merujuk ‘pada yang menampak’1. Phenomenom juga dapat diartikan sebagai Kemunculan suatu objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi seorang individu.2
Istilah feomenologi diperkenalkan oleh Johann Heinrickh Lambert. Meskipun pelopor fenomenologi adalah Edmund Husserl, namun dalam buku Fenomenologi: Metode Penelitian Kualitatif oleh Prof. Dr. Engkus Kuswarno; M.S, lebih banyak mengupas ide-ide Schutz (yang tetap berdasar pada pemikiran sang pelopor, Husserl).
Terdapat dua alasan utama mengapa Schutz dijadikan centre dalam penerapan metodologi penelitian kualitatif menggunakan studi fenomenologi ini.
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomai, yang berarti ‘menampak’ dan phainomenon merujuk ‘pada yang menampak’1. Phenomenom juga dapat diartikan sebagai Kemunculan suatu objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi seorang individu.2
Istilah feomenologi diperkenalkan oleh Johann Heinrickh Lambert. Meskipun pelopor fenomenologi adalah Edmund Husserl, namun dalam buku Fenomenologi: Metode Penelitian Kualitatif oleh Prof. Dr. Engkus Kuswarno; M.S, lebih banyak mengupas ide-ide Schutz (yang tetap berdasar pada pemikiran sang pelopor, Husserl).
Terdapat dua alasan utama mengapa Schutz dijadikan centre dalam penerapan metodologi penelitian kualitatif menggunakan studi fenomenologi ini.
- Pertama, karena melalui Schutz-lah pemikiran dan ide Husserl yang dirasa abstrak dapat dijelaskan dengan lebih gamblang dan mudah dipahami.
- Kedua, Schutz merupakan orang pertama yang menerapkan fenomenologi dalam penelitian ilmu sosial.
b. Fenomenologi sebagai Bagian Perspektif Interpretif dan Tradisi Teori Komunikasi
Kajian tentang Fenomenologi, adalah salah satu bagian kajian perspektif Interpretif, bersama-sama dengan Heurmenetika dan Interaksionis Simbolik.. Perbedaan mendasarnya, Fenomenologi focus pada kajian pemaknaan pada kehidupan sehari-hari (pengalaman), sementara Heurmenetika memfokuskan diri pada kajian teks dan interaksionis simbolik focus pada bagaimana merespon makna (symbol-simbol) pada setiap individu.
Fenomenolgi merupakan tradisi kedua dari 7 (tujuh) tradisi pemikiran teori komunikasi menurut Robert T. Craig3. Masing-masing;
1. Semiotika
2. Fenomenologi
3. Sibernetika
4. Sosiopsikologi
5. Sosiokultural
6. Kritis
7. Retorika
Tujuan pembagian ini menurut Little John hanyalah untuk memudahkan kita meninjau berbagai teori. “ As a group, these traditions provide sufficient coherence to allow us to look at theories side by side and to understand their essential commonalities and devisions”. (sebagai suatu group, berbagai tradisi ini cukup memudahkan kita untuk meninjau berbagai teori satu persatu dan untuk memahami kesamaan dan pembagian teori yang penting)
c. Fenomenologi dan Pengalaman
Fenomenologi menggunakan pengalaman langsung sebagai cara untuk memahami dunia. Orang mengetahui pengalaman atau peristiwa dengan cara mengujinya secara sadar melalui perasaan dan persepsi yang dimiliki orang bersangkutan.
Maurice Marley-Ponty, salah seorang pendukung tradisi ini menulis; all my knowledge on the word, event my scientific knowledge, is gained from own particular point of view, or from some experience on the world. (Seluruh pengetahuan saya mengenai dunia, bahkan pengetahuan ilmiah saya, diperoleh dengan pandangan saya sendiri, atau dari pengalaman dunia..)4
Fenomenologi menjadikan pengalaman sebenarnya sebagai ‘data utama’ dalam memahami realitas. Apa yang dapat diketahui seseorang adalah apa yang dialaminya. Jika ingin mengetahui apakah itu ‘cinta’, maka Anda tidak akan bertanya pada orag lain, tetapi Anda langsung memahami cinta dari pengalaman langsung dari diri Anda sendiri.
Stanley Deetz, mengemukakan 3 (tiga) prinsip dasar Fenomenologi5, yakni :
- Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman, namun ditemukan secara langsung dari pengalaman sadar.
- Makna dari sesuatu terdiri atas potensi sesuatu pada hidup seseorang. Dengan kata lain, bagaimana Anda memandang suatu objek, bergantung pada makna objek itu bagi Anda. Mislanya, Anda belajar bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Anda belajar dengan serius sebagai pengalaman pendidikan, karena Anda meyakini bahwa kemampuan Bahasa Inggris akan memberikan manfaat atau efek positif bagi Anda.
- Bahasa adalah ‘kesadaran makna’ (vehicle meaning). Kita mendapatkan pengalaman melalui bahasa yang digunakan untuk mendefenisikan dan menjelaskan dunia kita. Kita mengetahui suatu objek, misalnya kuda, melalui berbagai label yang dimiikinya; hewan, larinya kencang, kuat, gagah, cepat dan seterusnya.
d. Sentral Fenomenologi
Proses interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral dalam Fenomenologi. Interpretasi adalah proses aktif pemberian makna dari suatu pengalaman. Pada tradisi semiotika, intrerpretasi merupakan hal yang terpisah dengan realitas, namun dalam fenomenologi, interpretasi merupakan realitas bagi setiap individu. Menurut pemikiran fenomenologi, orang yang melakukan interpretasi (interpreter) mengalami suatu peristiwa atau situasi, dan ia akan memberikan makna kepada setiap peristiwa atau situasi yang dialaminya.
Kondisi demikian akan berlangsung terus menerus (bolak-balik) antara pengalaman dan pemberian makna. Setiap pengalaman baru, akan memberikan makna baru bagi dirinya, begitu seterusnya.
Contoh : Seorang wanita yang ditinggal ayahnya sejak kecil karena orangtuanya bercerai. Pengalaman buruk dengan ayahnya memberikan makna atau pengetahuan kepadanya mengenai pria, bahwa setiap pria itu jahat. Namun interpretasinya, mungkin akan berubah, ketia wanita itu menemukan pria yang sangat baik hati dan sangat memperhatikannya.
Dengan kata lain, interpretasinya akan berubah terus menerus sepanjang hidupnya, seiring dengan setiap pengalaman yang ditemuinya dengan setiap pria yang hadir dalam hidupnya.
e. Ciri fenomenologi ;
- Cenderung mempertanyakannya dengan naturalisme atau objektivisme dan positivisme yang telah berkembang sejak renaisans dalam pengetahuan modern dan teknologi.
- Memastikan kognisi yang mengacu pada yang dinamakan ‘Evidenz’ = kesadaran akan suatu benda.
- Percaya bahwa tidak hanya satu benda yang ada dalam dunia alam dan budaya.
f. Tujuan Fenomenologi
- Fenomenologi bertujuan mengetahui bagaimana kita menginterpretasikan tindakan sosial kita dan orang lain sebagai sebuah yang bermakna (dimaknai) dan untuk merekonstruksi kembali turunan makna (makna yang digunakan saat berikutnya) dari tindakan yang bermakna pada komunikasi intersubjektif individu dalam dunia kehidupan sosial. (Rini Sudarmanti, 2005)
- Menurut TD. Wilson dari Sheffield University London, dengan menggunakan pendekatan Schutz, secara lebih rinci menjelaskan, tujuan fenomenologi yaitu: …is to study how human phenomena are experienced in consciousness, in cognitive and perceptual acts, as well as how they may be valued or appreciated aesthetically. Phenomenology seeks to understand how persons construct meaning and a key concept is intersubjectivity. Our experience of the world, upon which our thoughts about the world are based, is intersubjective because we experience the world with and through others. (adalah untuk mempelajari bagaimana fenomena manusia yang berpengalaman dalam kesadaran, dalam tindakan kognitif dan persepsi, serta bagaimana mereka dapat memberi nilai atau dan bagaimana memberi penghargaan. Fenomenologi berusaha untuk memahami bagaimana orang membangun makna dan konsep kunci inter-subjektivitas. Pengalaman di dunia berdasarkan pemikiran, adalah intersubjektif karena kita mengalami dunia dan juga melalui orang lain.
g. Bagian Fenomenologi
Tradisi Fenomenologi terbagi dalam tiga bagian utama, yakni;
1. Fenomenologi Klasik;
2. Fenomenologi Persepsi
3. Fenomenologi Hermeneutik.
Fenomenologi Klasik;
Edmund Husserl, tokoh pendiri fenomenologi modern, adalah salah satu pemikir fenomenologi klasik.6 Melalui buku-bukunya yang ditulis pada periode pertengahan abad ke 20 beruapaya mengembangkan suatu metode untuk menemukan kebenaran melalui pengalaman langsung. Menurutnya, orang harus berdisiplin dalam menerima pengalaman itu. Dengan kata lain, pengalaman secara individu adalah jalan yang tepat untuk menemukan realitas.
Hanya melalui ‘perhatian sadar’ (conscious attention), kebenaran dapat diketahui. Untuk dapat melakukan hal itu, kita harus menyingkirkan bias yang ada pada diri kita. Kita harus meninggalkan berbagai kategori berpikir atau kebiasaan kita melihat sesuatu agar dapat merasakan pengalaman sebagaimana apa adanya. Melalui cara ini, berbagai objek di dunia dapat hadir dalam kesadaran kita.
Pandangan Husserl demikian dinilai sangat objektif karena; the world can be experienced without the knower bringing his or her categories to bear on the process.7 Pandangan ini menyatakan bahwa dunia dapat dirasakan atau dialami tanpa harus membawa serta berbagai kategori yang dimiliki orang yang ingin mengetahui pengalaman itu (knower). Karena hal itu mempengaruhi proses merasakan pengalaman itu.
Fenomenologi Persepsi;
Kebanyakan pendukung tradisi fenomenologi dewasa ini menolak pandangan Husserl tersebut. Mereka justru mendukung gagasan bahwa pengalaman adalah subjektif, tidak objektif, sebagaimana pandangan Husserl. Mereka percaya bahwa subjektifitas justru sebagai pengetahuan yang penting. Tokoh penting dalam tradisi ini adalah Mairice Marleau-Ponty, yang pandangannya dianggap mewakili gagasan mengenai fenomenologi persepsi. (phenomenology of perception) yang dianggap sebagai penolakan terhadap pandangan objektif namun sempit dari Husserl.8
Menurut Ponty, manusia adalah mahluk yang memiliki kesatuan fisik dan mental yang menciptakan makna terhadap dunianya. Kita mengetahui sesuatu hanya melalui hubungan pribadi kita dengan sesuatu itu. Sebagai manusia, kita dipengaruhi oleh dunia luar atau lingkungan kita dan sebaliknya, kita juga memenuhi dunia di sekitar kita, melalui bagaimana kita mengalami dunia. Dengan demikian, suatu objek atau peristiwa itu ada dalam suatu proses yang timbale balik (give and take), yaitu hubungan dialogis di mana suatu objek atau peristiwa memengaruhi objek atau peristiwa lainnya.
Fenomenologi Hermeneutik;
Cabang ketiga dalam tradisi ini disebut dengan fenomenologi hermeneutic (hermeneutic phenomenology), yang mirip dengan fenomenologi persepsi, namun dikembangkan secara luas, dengan menerapkannya secara lebih konferehensif dalam komunikasi. Tokoh dalam tradisi ini adalah Martin Heidegger, yang dikenal dalam karyanya philosofhical hermeneutic. Hal penting bagi Heidegger adalah ‘pengalaman alami’ (natural experience) yang terjadi begitu saja ketika orang hidup di dunia. Bagi Heidegger, realitas terhadap sesuatu tidak dapat diketahui hanya melalui analisis yang hati-hati, tetapi melalui pengalaman alami yang terbentuk melalui penggunaan bahasa dalam kehidupan setiap hari. Yang dialami adalah sesuatu yang dialami melalui penggunaan alami bahasa dalam konteks: it is in word and language that things first come into being and are (dalam kata-kata dan bahasalah sesuatu itu terwujud pertama kali dan ada).
Bagi kebanyakan sarjana, tradisi fenomenologi adalah naïf, khususnya mereka yang berada diluar tradisi ini. Menurut mereka, hidup dibentuk oleh berbagai kompleks dan berhubungan dan hanya sebagian kekuatan itu saja yang dapat diketahui secara sadar pada suatu saat. Anda tidak dapat menginterpretasikan sesuatu hanya dengan melihatnya secara sadar dan memikirkannya. Pengertian sebenarnya dating dari analisis cermat dari suatu system yang terdiri atas sejumlah efek. (inilah yang kemudian menjadi dasar sibernetika).
Bedahan Husserl tentang Fenomenologi Transedental (klasik)
Setelah Schutz berhasil mengintegrasikan fenomenologi dalam ilmu sosial, para cendekiawan sosial mulai melirik pemikiran fenomenologi yang paling awal, yakni fenomenologi transendental Husserl. Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real dan yang tidak.
Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transendental Husserl:
a. Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap bola akam menentukan kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.
b. Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide. Terdapat kaitan yang erat antara noema dan noesis meskipun keduanya sangat berbeda makna. Noema akan membawa pemikiran kita kepada noesis. Tidak akan ada noesis jika kita tidak mengawalinya dengan noema. Begini mudahnya. Kita tidak akan tau tentang bagaimana rasanya menikmati buah durian (noesis karena ada aspek merasakan, sebagai sesuatu atau objek yang abstrak) jika kita sendiri belum mengetahui seperti apa wujud durian (noema karena berkaitan dengan wujud, sebagai sesuatu atau objek yang nyata).
c. Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni kemampuan membedaka “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan.
Bagi Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental (transenden).
d. Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan
individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).
Tradisi Fenomenologi terbagi dalam tiga bagian utama, yakni;
1. Fenomenologi Klasik;
2. Fenomenologi Persepsi
3. Fenomenologi Hermeneutik.
Fenomenologi Klasik;
Edmund Husserl, tokoh pendiri fenomenologi modern, adalah salah satu pemikir fenomenologi klasik.6 Melalui buku-bukunya yang ditulis pada periode pertengahan abad ke 20 beruapaya mengembangkan suatu metode untuk menemukan kebenaran melalui pengalaman langsung. Menurutnya, orang harus berdisiplin dalam menerima pengalaman itu. Dengan kata lain, pengalaman secara individu adalah jalan yang tepat untuk menemukan realitas.
Hanya melalui ‘perhatian sadar’ (conscious attention), kebenaran dapat diketahui. Untuk dapat melakukan hal itu, kita harus menyingkirkan bias yang ada pada diri kita. Kita harus meninggalkan berbagai kategori berpikir atau kebiasaan kita melihat sesuatu agar dapat merasakan pengalaman sebagaimana apa adanya. Melalui cara ini, berbagai objek di dunia dapat hadir dalam kesadaran kita.
Pandangan Husserl demikian dinilai sangat objektif karena; the world can be experienced without the knower bringing his or her categories to bear on the process.7 Pandangan ini menyatakan bahwa dunia dapat dirasakan atau dialami tanpa harus membawa serta berbagai kategori yang dimiliki orang yang ingin mengetahui pengalaman itu (knower). Karena hal itu mempengaruhi proses merasakan pengalaman itu.
Fenomenologi Persepsi;
Kebanyakan pendukung tradisi fenomenologi dewasa ini menolak pandangan Husserl tersebut. Mereka justru mendukung gagasan bahwa pengalaman adalah subjektif, tidak objektif, sebagaimana pandangan Husserl. Mereka percaya bahwa subjektifitas justru sebagai pengetahuan yang penting. Tokoh penting dalam tradisi ini adalah Mairice Marleau-Ponty, yang pandangannya dianggap mewakili gagasan mengenai fenomenologi persepsi. (phenomenology of perception) yang dianggap sebagai penolakan terhadap pandangan objektif namun sempit dari Husserl.8
Menurut Ponty, manusia adalah mahluk yang memiliki kesatuan fisik dan mental yang menciptakan makna terhadap dunianya. Kita mengetahui sesuatu hanya melalui hubungan pribadi kita dengan sesuatu itu. Sebagai manusia, kita dipengaruhi oleh dunia luar atau lingkungan kita dan sebaliknya, kita juga memenuhi dunia di sekitar kita, melalui bagaimana kita mengalami dunia. Dengan demikian, suatu objek atau peristiwa itu ada dalam suatu proses yang timbale balik (give and take), yaitu hubungan dialogis di mana suatu objek atau peristiwa memengaruhi objek atau peristiwa lainnya.
Fenomenologi Hermeneutik;
Cabang ketiga dalam tradisi ini disebut dengan fenomenologi hermeneutic (hermeneutic phenomenology), yang mirip dengan fenomenologi persepsi, namun dikembangkan secara luas, dengan menerapkannya secara lebih konferehensif dalam komunikasi. Tokoh dalam tradisi ini adalah Martin Heidegger, yang dikenal dalam karyanya philosofhical hermeneutic. Hal penting bagi Heidegger adalah ‘pengalaman alami’ (natural experience) yang terjadi begitu saja ketika orang hidup di dunia. Bagi Heidegger, realitas terhadap sesuatu tidak dapat diketahui hanya melalui analisis yang hati-hati, tetapi melalui pengalaman alami yang terbentuk melalui penggunaan bahasa dalam kehidupan setiap hari. Yang dialami adalah sesuatu yang dialami melalui penggunaan alami bahasa dalam konteks: it is in word and language that things first come into being and are (dalam kata-kata dan bahasalah sesuatu itu terwujud pertama kali dan ada).
Bagi kebanyakan sarjana, tradisi fenomenologi adalah naïf, khususnya mereka yang berada diluar tradisi ini. Menurut mereka, hidup dibentuk oleh berbagai kompleks dan berhubungan dan hanya sebagian kekuatan itu saja yang dapat diketahui secara sadar pada suatu saat. Anda tidak dapat menginterpretasikan sesuatu hanya dengan melihatnya secara sadar dan memikirkannya. Pengertian sebenarnya dating dari analisis cermat dari suatu system yang terdiri atas sejumlah efek. (inilah yang kemudian menjadi dasar sibernetika).
Bedahan Husserl tentang Fenomenologi Transedental (klasik)
Setelah Schutz berhasil mengintegrasikan fenomenologi dalam ilmu sosial, para cendekiawan sosial mulai melirik pemikiran fenomenologi yang paling awal, yakni fenomenologi transendental Husserl. Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Dia berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang real dan yang tidak.
Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transendental Husserl:
a. Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan kursi. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap bola akam menentukan kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.
b. Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionality. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide. Terdapat kaitan yang erat antara noema dan noesis meskipun keduanya sangat berbeda makna. Noema akan membawa pemikiran kita kepada noesis. Tidak akan ada noesis jika kita tidak mengawalinya dengan noema. Begini mudahnya. Kita tidak akan tau tentang bagaimana rasanya menikmati buah durian (noesis karena ada aspek merasakan, sebagai sesuatu atau objek yang abstrak) jika kita sendiri belum mengetahui seperti apa wujud durian (noema karena berkaitan dengan wujud, sebagai sesuatu atau objek yang nyata).
c. Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni kemampuan membedaka “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan.
Bagi Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental (transenden).
d. Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan
individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).
Fenomenologi sebagai Tradisi Penelitian Kualitatif
“People actively interpret their experience and come to unnderstand the world by personal experience with it……the process of knowing through direct ecperience is the province of phenomenology.” (Littlejohn and Foss, 2009) ("Orang-orang aktif menafsirkan pengalaman mereka dan datang untuk memahami dunia dengan pengalaman pribadi dengan itu ... ... proses mengetahui melalui pengalaman langsung adalah wilayah fenomenologi.")
Jika dilanjutkan dengan fenomenologi sebagai sebuah metodologi penelitian, walaupun ada juga yang lebih senang menyebut sebagi tradisi penelitian, maka kita dapat menelusuri beberapa pengertian yang sederhana. Metode Fenomenologi, menurut Polkinghorne (Creswell,1998: 51-52) adalah, “a phenomenological study describes the meaning of the lived experiences for several individuals about a concept or the phenomenon. Phenomenologist explore the structure of cosciousness in human experiences“. (sebuah studi fenomenologis menjelaskan arti dari pengalaman hidup untuk beberapa orang tentang suatu konsep atau fenomena. Fenomenolog mengeksplorasi struktur kesadaran dalam pengalaman manusia)
Sedangkan menurut Husserl (Creswell, 1998: 52).peneliti fenomenologis berusaha mencari tentang, “The essential, invariant structure (or essence) or the central underlying meaning of the experience and emphasize the intentionality of consciousness where experience contain both the outward appearance and inward consciousness based on memory, image, and meaning”. (invarian struktur (atau esensi) atau arti yang mendasari pusat pengalaman dan menekankan intensionalitas kesadaran di mana pengalaman mengandung kedua penampilan luar dan kesadaran batin berdasarkan memori, gambar, dan makna)
Alasuutari (1995: 35) menyatakan bahwa, “…..phenomenology is to look at how the individual tries to interpret the world and to make sense of it”. ("... .. fenomenologi adalah untuk melihat bagaimana individu mencoba untuk menafsirkan dunia dan masuk akal itu".)
Selanjutnya Husserl (Cuff and Payne, 1981: 122) menyatakan bahwa, “Phenomenology referred to his atempt to described the ultimate foundations of human experience by ‘seeing beyond ‘ the particulars of everyday experiences in order to describe the ‘essences’ which underpin them.” ("Fenomenologi berusaha menggambarkan dasar utama pengalaman manusia dengan 'melihat luar' fakta-fakta dari pengalaman sehari-hari dalam rangka untuk menggambarkan 'esensi' yang mendukung mereka.")
Logos Fenomenologi
Melakukan pemahaman terhadap fenomena melalui fenomenologi, mempertimbangkan mengetahui dua aspek penting yang biasa disebut dengan “logos”nya fenomenologi, yakni ‘intentionality’ dan ‘bracketing’. Intentionality adalah maksud memahami sesuatu, di mana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan.
Sisi obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
Aspek kedua ‘bracketing’ atau juga disebut reduksi phenomenology, dimana seorang “pengamat” berupaya menyisihkan semua asumsi umum yang dibuat mengenai sesuatu fenomena. Seorang pengamat akan berusaha untuk menyisihkan dirinya dari prasangka, teori, filsafat, agama, bahkan ‘common sense’ sehingga dirinya mampu menerima gejala yang dihadapi sebagai mana adanya.
Studi fenomenologi dalam pelaksanaannya memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapi peneliti. Creswell (1998: 55) menjelaskan tantangan tersebut yaitu:
The researcher requires a solid grounding in the philosophical precepts of phenomenology. The participants in the study need to be carefully chosen to be individuals who have experienced the phenomenon. Bracketing personal experiences by the researcher may be difficult. The researcher needs to decide how and in what way his or her personal experiences will introduced into the study. (Peneliti membutuhkan landasan yang solid dalam ajaran filosofis fenomenologi. Para peserta dalam penelitian ini perlu hati-hati dipilih untuk menjadi individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Mengurung pengalaman pribadi oleh peneliti mungkin sulit. Peneliti perlu menentukan bagaimana dan dalam hal apa nya atau pengalaman pribadinya akan diperkenalkan ke ruang kerja.)
Hakekatnya tantangan itu harus mampu duhadapi oleh seorang fenomenolog, penguasaan pada landasan filosofis dalam cara fikir fenomenologi, kemampuan memilih individu sebagai subyek yang mengalami yang akan dieksplorasi, kemampuan memelihara dan meningkatkan kemampuan logos fenomenologi, dan memilih serta memilah pengalaman bermakna yang dikonstruksi oleh subyek penelitian.
Lain-Lain
Fenomenologi = digunakan sebagai perspektif filosofis digunakan juga sebagai pendekatan dalam metodologi kualitatif.
Fenomenologi = mempunyai riwayat yang panjang dalam penelitian social termasuk psikologi, sosiologi dan pekerjaan social.
Fenomenologi = merupakan pandangan berfikir yang menekankan pada focus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia, fenomenologi berusaha memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain. (**)
1 Metode Penelitian Kualitatif oleh Prof. Dr. Engkus Kuswarno; M.S
2 Teori Komunikasi, Morrisan dan Andy Corry Wardani, 2009
3 Teori of Human Communication, Litle Jhon dan Foss, 2009
4 Teori Komunikasi, Morrisan dan Andy Corry Wardani, 2009
5 Words Without Things: Toward a Social Phenomenology of Language. Quarterly Journal of Speech 59, 1973. Stanley Deetz
6 Edmund Husserl. Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, 1962 dalam Littlejohn dan Foss hal. 39
7 Litlejohn, hal.39
8 Op.cit hal.39