Rasanya sulit mengapresiasi prestasi dari Presiden SBY. 7 tahun kepemimpinan beliau berjalan, sepertinya rumit untuk mengatakan apa ‘visi-misi’ SBY yang sebenarnya. Mau bukti? Cobalah kita bertanya, atau tanyalah para pelajar kita dengan sebuah pertanyaan sederhana, apa yang ingin dicapai Pak Beye hingga 10 tahun kedepan beliau memimpin negeri ini? Saya yakin, jawabannya pasti beragam. Kenapa itu terjadi? Entalah, sulit untuk menjawabnya. Kondisi ini tentu merupakan sesuatu yang paradoks di tengah bangsa ini banyak memiliki cendekiawan dan pemikir.
Bukan bermaksud membanding-bandingkan SBY dengan pemerintahan Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto, tetapi kedua tokoh ini sangat jelas memiliki visi yang kuat dan terarah terhadap republik ini. Wajarlah kemudian bila Bung Karno dan Soeharto, tetap terkenang meski tak sedikit catatan kelam dalam sejarah kepemimpinannya.
Pak Harto misalnya, dalam membangun, maka konsep membangun negara dituangkannya dalam GBHN. Melalui GBHN inilah pada zamannya diaktualisasikan menjadi sebuah memori kolektif anak bangsa. Dari Menteri hingga anak SD sekalipun, yang namanya GBHN ‘wajib’ diketahui bahkan dihafalnya. Apa targetnya? Secara sederhana, agar anak bangsa mengetahui arah pembangunan di negeri ini. Tentu hal yang sangat berbeda dengan kondisi negara di bawah kepemimpinan Pak Beye. Saya sendiri (baca penulis) yang bergelut di pendidikan pascasarjana, kurang memahami visi misi negara ini. Apa targetnya? Apa yang ingin dicapai? Tahun berapa kita makmur? dan beribu pertanyaan lainnya. Maka wajarlah bila banyak anak bangsa beropini negative dan menyebut SBY lupa urus rakyat.
Justru yang mengemuka dan terasa menjadi visi-misi kepemimpinnan beliau justru hal-hal yang bersifat temporer, dan terkesan semu. Kalaupun ada yang mengemuka, justru terjadi bila muncul kasus yang ramai diperbincangkan publik. Semisal, kasus Nazaruddin di Partai Demokrat, maka ramai-ramai pemikir beliau mengatakan, SBY serius memberantas korupsi. Bila media ramai-ramai membahas masalah kemiskinan, maka pemikir SBY ikut ramai-ramai mengatakan bila SBY sangat serius dalam upaya mengurangi angka kemiskinan.
Memang tak elok, bila semua kesalahan itu ditumpahkan pada pribadi Pak Beye selaku kepala negara. Tetapi beliau tentunya punya power kuat untuk memaksakan kabinetnya ‘berpikir dan bekerja keras’ menuntaskan satu persatu masalah krusial di negeri ini. Ingatlah, bagaimana seorang Pak Harto, ketika menginstruksikan sesuatu, maka dari Menteri hingga Kepala Desa begitu serius menterjemahkan instruksi tersebut. Wajarlah jika kemudian lahir anekdot yang menyebut ‘Batuknya Pak Harto adalah perintah’.
Penulis ingin mengajak kita semua membedah apa yang dilakukan Pak Beye saat ini. Kalau sempat membuka link website istana (klik disini) maka kita tentu bisa mengambil kesimpulan sementara, kalau link tersebut lebih pada upaya mempromosikan apa yang telah dilakukan oleh beliau. Saya sedikit tersenyum, ketika membuka website itu, dan focus pada konten ‘pidato’ Presiden hari ini (26 Mei 2011), adalah membahas masalah kemiskinan negeri ini. Namun ketika mencermati satu persatu yang dilakukan sebelumnya, yang tercermin justru menyangkut, bagaimana keseriusan beliau membahas hal-hal terkait bangsa ini dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Semisal masalah keinginan Timor Leste bergabung dengan ASEAN, silaturrahmi dengan Duta Tugas Somalia, peringatan satu tahun wafatnya Ibu Ainu Habibie dan lain sebagainya. Ada kesan, beliau ingin membuat ‘lompatan’ lebih jauh pasca masa bakti beliau sebagai Presiden RI. Jarang sekali dalam situs ini, bagaimana SBY berkutat pada hal-hal substansial di masyarakat. Saya mencoba ‘searching’ bagaimana beliau panen raya sekaligus berpidato di depan petani, bagaimana beliau dengan pedagang, bagaimana beliau petugas medis, bagaimana dengan para guru dan lain-lain. Saya kesulitan menemukannya.
Rapuhnya Komunikasi Politik dengan Rakyat
Bisa jadi, mengapa SBY dipersepsikkan negative dalam memimpin bangsa ini, karena beliau seolah hanya dikelilingi para politisi yang cenderung hanya mempertahankan popularitasnya di masyarakat, dan cenderung mengambil ‘power’ dengan kedekatannya dengan Presiden. Bisa dibayangkan, bagaimana seorang Mahfud MD harus ‘berterus terang’ ke publik, karena telah merasa di pecundangi oleh para politisi yang dekat dengan Cikeas. Lalu siapa yang dirugikan? Tetulah citra seorang Presiden. Sebab SBY terkesan hanya mengurus para politisi yang korup. Padahal pada masalah ini, SBY tinggal membuat perintah dengan satu kalimat pendek. “Proses Hukum Si ini!” selesaikan? Itu bila beliau punya niatan kuat soal pemberatasan korupsi.
Mungkin, sejumlah elemen telah melakukan research bagaimana citra SBY di masyarakat, dan mengatakan ‘masih tinggi’, ‘masih baik’, tapi melupakan bila hasil penelitian itu semata berdasarkan angka-angka kuantitatif yang belum tentu menyentuh pada upaya perbaikan nasib rakyat. Ini berarti komunikasi politik SBY dengan rakyatnya masih sangat rapuh. Di zaman Pak Harto, komunikasi politik dengan rakyatnya terbangun di mana-mana. Pak Harto rajin menemui rakyatnya dalam ‘diskusi rakyat’ bertajuk ‘Kelompencapir’. Pak Harto juga rajin mengikuti acara panen raya dan sebagainya.
Terlepas apa yang dilakukan Pak Harto bagi sebagian kalangan juga dinilai semu, tapi rakyat begitu bergembira bila Presiden turun kelapangan. Rakyat begitu bangga ketika seorang Presiden ‘melambungkan asa’ rakyatnya dengan mengatakan Indonesia tahun ‘sekian’ akan ‘tinggal landas’, Indonesia tahun sekian menjadi negara maju, dan lain sebagainya. Mungkin simbolistik, tapi seorang Pak Harto sebagai kepala negara telah tercitrakan sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyatnya.
Rajinlah Kelapangan
Satu hal yang terkesan terlupakan dalam kepemimpian Pak SBY, adalah beliau lebih banyak tampil di media membahas isu-isu yang oleh rakyat sebenarnya masih sulit di pahami. Sehingga kesannya lebih pada pencitraan. Idealnya, kita berharap SBY rajin turun ke daerah-daerah untuk menangkap apa kehendak rakyat. Bagaimanpun para pembantu Presiden hari ini, lebih berpikir politis, lebih pada keinginan mempertahankan ‘hubungan baik’ dengan Presiden, mempertahankan posisi di partainya, sehingga ‘laporan’ ke Presiden terasa hanya sebagai upaya untuk menyenangkan seorang kepala negara.
Tidak ada yang sulit jika Pak Beye rajin ke lapangan, tak ada yang sulit jika beliau benar-benar ingin dekat dengan rakyatnya. Kita berharap sisa 3 tahun kepemimpinan Pak SBY, masih menyisakan harapan. Sehingga ungkapan SBY lupa urus rakyat hanyalah sebuah ke khawatiran. (**)
Jakarta, 26 Mei 2011.