» » » Bupati ‘Sombayya’ Ri Gowa’, Melebur Demokratik dan Autoritarian

Bupati ‘Sombayya’ Ri Gowa’, Melebur Demokratik dan Autoritarian

Penulis By on 12 September 2016 |

“Kalau menjadi Sombayya, mau mabusung?”, begitu kata Raja Gowa versi Andi Maddusila menyikapi penaubatan Bupati Gowa Adnan Purichta IYL sebagai ‘Sombayya ri Gowa” pada 8 seprtember 2016 baru-baru ini di pelataran museum Istana Ballalompoa-warisan Kerajaan Gowa masa lalu.

Peristilahan ‘Sombayya ri Gowa’ memiliki makna dalam bahasa Indonesia sebagai ‘Yang Disembah di Gowa’. Sebuah istilah yang selalu tersemat dalam raja-raja Gowa secara turun temurun, disakralkan dan setiap pelantikan raja Gowa selalu mengundang kerajaan-kerajaan tetangga di zamannya. Karenanya, pelanggaran terhadap kesakralan ini akan bertuah ‘mabusung’ yang berarti ‘terlaknat’. Artinya bupati muda kelahiran 1986 ini seolah diinterpretasikan sebagai seorang yang terlaknat.

Diksi ‘terlaknat’ pada konten ini adalah bentuk kajian yang jauh dari perspektif positivisme, dan hanya bisa didekati dengan  metode teologis. Sebagaimana penjelasan ‘hukum tiga tahap’ dari Auguste Comte, filsuf Prancis kelahiran 1798. Comte mengatakan ide besar teologis bertumpu pada kepercayaan supranatural serta figur religius berwujud manusia, dan lembaga ketuhanan yang menjadi pusat segalanya. (Arisandi, 2015:31).

Memang, kita tidak sedang mempersoalkan apakah  Bupati Adnan akan terlaknat oleh leluhur raja-raja kerajaan Gowa atau tidak, karena sematan gelar ‘sombayya’ atau ‘yang disembah’. Tetapi kita sedang berada dalam tontonan kekuasaan dengan jalur berpikir berbeda, bahwa posisi Adnan sebagai kepala daerah yang terpilih melalui medium demokratis, secara tidak sadar meleburkan dirinya pada konsep-konsep kuasa autoritarian – yang memfilosofi penguasa itu sebagai pusat kebenaran – penguasa wakil dari tuhan.

Memang bupati Adnan  tidak eksplisit menyebut dirinya seorang Raja Gowa, tetapi pengukuhannya sebagai ‘sombayya’ oleh Lembaga Adat Daerah (LAD) Gowa yang dilakukan oleh Ketua DPRD setempat, dan kemudian mengukuhkan seluruh camat di wilayahnya sebagai ketua LAD masing masing wilayah, adalah simbolisasi pengintegrasian kekuasaan adat formal ke dalam kekuasaan pemerintahan pada satu genggaman kuasa, kuasa seorang kepala daerah.

Hal Ini yang menjadi tidak lazim  dalam sejarah peradaban kekuasaan raja-raja di Nusantara, sebab raja-raja umumnya turun temurun dan outoritarian. Pun jika ada konflik, juga berasal dari kalangan mereka, sebagaimana konflik ‘Raja Gowa’ antara Andi Kumala Ijo dan Andi Maddussila, dua sanak saudara yang saling klaim sebagai Raja Gowa ke-37. Demikian pula konflik di Keraton Solo beberapa tahun silam, adalah contoh konflik eksistensi diri yang dapat dipandang sebagai ‘pertaruhan’ komunikasi politik antara ‘dunia penguasa kerajaan’  masa lalu dengan realitas sosial kekininan. Di sini peran pemerintah sebagai fasilitator dibutuhkan, bukan mencebur diri masuk ke dalam kubangan masa lalu itu. Sebab esensi ber-Indonesia sejak menjadi republik salah satunya terbentuk dari kesadaran masing-masing raja-raja untuk ber-Indonesia, bukan sebaliknya.

Jika menjadi alasan Bupati Adnan menjadi ‘Sombayya ri Gowa’ ini adalah merapikan lembaga adat, memelihara peninggalan kerajaan, memelihara adat budaya, atau menengahi konflik yang tak berkesudahan (baca : pembelaan Bupati Gowa: ada yang sesatkan arti pengukuhan saya di LAD – TribunGowa.com, 12 september), maka alasan-alasan tersebut cenderung kurang bijak jika melihat posisi Adnan sebagai seorang kepala daerah, yang menjadi ‘centrum solution’  di wilayahnya.  

Jika diteropong lebih jauh, maka ‘nekat-nya’ Bupati Adnan menjadi ‘Sombayya’ dan menugaskan camat sebagai ketua LAD di masing-masing kecamatan, menyembunyikan ideologi kuasa yang lebih jauh dan dalam. Bisa jadi, Adnan ingin masyarakat Gowa selalu bersatu kuat dalam otorisasi pemerintahannya, sehingga sewaktu-waktu kekuatan itu dapat dimanfaatkan saat waktunya dibutuhkan. Bisa di arena politik atau di arena lainnya. Memang tak haram, tetapi tak lazim. Pun jika dilazimkan, maka konsep ‘mabusung’selalu hadir dalam pikiran massa.

Jika alasan lain yang digunakan, bahwa dulu ketika Kerajaan Gowa melebur ke RI, maka kepemimpinan Giwa diserahkan ke Bupati, pada hakekatnya juga bukan pendapat yang keliru. Namun yang penting dipertimbangkan bahwa mengusung konsep ‘Sombayya ri Gowa’ tentu tidak dapat disepadankan dengan konsep ‘kepala daerah’ di masa kekinian. Sombayya meneguhkan makna hermenutik yang menggiring ingatan bahwa kekuasaan Sombayya ri Gowa masa lalu, dimana kekuasaan meliputi wilayah-wilayah Gowa dan wilayah ekspansinya.

Pada perspektif Ilmu komunikasi, terlihat jelas jika konteks khalayak antara penguasa seorang ‘bupati; dan penguasa seorang ‘sombayya’, menjadi sesuatu yang berbeda. Oleh karena itu penaubatan Adnan Purichta sebagai seorang komunikator politik gagal paham dalam menempatkan etos, phatos dan logos-nya. Maka tak heran pesan-pesannya pun selalu bias dan menuai pro-kontra, sebab ia menggunakan dua medium yang jelas berbeda konteks pada satu waktu bersamaan; medium bupati dan medium sombayya.

Apapun itu, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan tindakan Bupati Adnan, sebab regulasi sebagai seorang kepala daerah cukup luas untuk terlibat di arena seperti itu. Boleh jadi Adna Purichta, setali tiga uang dengan  pikiran semua kepala daerah di Indonesia, otonomi di gemgaman, apapun bisa dilakukan sepanjang secara struktural semua tunduk pada pucuk pimpinan.

Lalu ke mana pewaris Kerajaan Gowa mengadu, jika kekuasaannya telah direbut penguasa formalnya? Refleksi atas tindakan selama ini adalah jawabannya; sama pula dengan Bupati Adnan Purichta, saatnya membasuh muka agar ia bisa melihat utuh, jika kedua tangannya menggemgam dua kuasa, formal dan informal. Berpikirlah!
------------------
Jakarta, 12 September 2016
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
comments